Catatan Antroposen #10

Technofossil Stratigraphy

Jan Zalasiewicz et al., (2019: 144-147)

Pendekatan stratigrafi tradisional telah membantu mendefinisikan suatu skala waktu geologi tertentu selama ini. Zalasiewicz dkk  (2014, 2017) memberikan satu contoh kemungkinkan munculnya tekno-stratigrafi yang dapat digunakan guna menjelaskan bukti stratigrafi pada artefak teknofosil. Teknofosil berbeda dengan jejak fosil pada umumnya di mana sebagai materialnya tidak muncul atau diproduksi secara alamiah seperti halnya alumunium atau plastik. Teknofosil sering ditemukan dari material yang memiliki durabilitas jangka-panjang secara geologis. Alasan inilah yang membawa pertimbangan pengembangan tekno-stratigrafi lebih memungkinkan daripada hanya menjelaskan ‘tekno-fosil’ dari sudut pandang biostratigrafi.

Jejak-jejak teknofosil dapat dilacak berdasarkan perkembangan peradaban Homo spp., di mana temuan penanda awal biostratigrafi mengarah pada tubuh fosil Pliosen akhir di Ethiophia (antara 2.8 dan 2.75 juta tahun) (Villmoare et al., 2015). Selain itu, perkembangan penggunaan batu dan kayu yang masuk dalam peradaban purba telah berkembang dalam konteks arkeologi yang menjadi bagian dari material kebudayaan. Pada kasus karakteristik tekno-fossil kita tidak dapat terlepas dari beragam istilah kultural seperti: Paleolitik, Oldowan, Acheulean, Mousterian, Aurignacean, atau Zaman Perunggu dan Besi. Uniknya, beragam artefak tersebut memiliki signifikansi-waktu untuk menggambarkan secara lugas bagaimana tekno-fosil terbentuk.  Jejak tekno-fosil juga dapat dilacak pada kemampuan manusia pra-sejarah dalam mengelola api sebagai sumber bagian dari kerja domestiknya (Karkanas et al., 2007).

Keberagaman tekno-fosil semakin meningkat di selama tahap Ionian di Epos Pleistosen (sekitar 126.000 sampai 11.700 tahun lalu) yang sudah menyaratkan artefak berkualitas abstrak-estetik sebagaimana adanya potongan, pola ukiran dan manik-manik yang ditemukan di Gua Blombos di selatan Afrika sekitar 75.000 tahun yang lalu (d’Errico et al., 2005; Henshilwood, d’Errico and Watts, 2009), ukiran telur burung unta Diepkloof sekitar 55.000 tahun yang lalu (Rigaud et al., 2006), Lukisan pra-sejarah di Eropa dan Indonesia sekitar 40.000 tahun yang lalu (Aubert et al., 2014), serta beragam seni batung dari gading mammoth di Eropa sebelum 30.000 tahun yang lalu (Conard, 2009).

Perkembangan penanda stratigrafi tekno-fosil juga tersebar di akhir Pleistosen ketika munculnya penggunaan bahan baku keramik yang umurnya sekitar 30.000 tahun lalu di Eropa (Farbstein et al., 2012). Perkembangan penggunaan keramik juga tersebar di sekitaran Asia Timur sebagai bagian dari tembikar alat masak 20.000 tahun yang lalu di Cina (Wu et al., 2012), sementara di Jepang, tembikar dari Periode Jōmon sekitar 15.000 tahun yang lalu (Craig et al., 2013). Perubahan fase penggunaan gerabah keramik sebagai bahan penyimpanan dan pengolahan bahan baku makanan berkembang secara mandiri di hampir seluruh wilayah gografis dunia selama fase Pleistosen akhir dan Holosen. Perkembangan ini menunjukkan morfologi teknofosil yang meningkat secara dramatis yang sebelumnya tidak pernah ada secara alamiah. Prosesi temuan morfologi teknofosil juga didukung dengan temuan campuran logam langka, bebatuan antropogenik (batu bata dan beton), kaca, dan beragam material plastik awal. Beragam jenis teknofosil ini menujukkan adanya transgresif waktu yang mampu menjelaskan pola interval waktu tertentu meskipun tidak secara formal dapat diterima terutama secara stratigrafis. Hal ini mungkin akan sangat berbeda ketika kita melihat tekno-fosil sekitaran abad ke-20 di mana telah terjadinya produksi massal terkait teknologi tertentu. Ambil contoh satu mengenai komersialisasi plastik pasca perang dunia yang mulai menyebar di seluruh belahan dunia dan mulai mengendam menjadi sedimentasi-sedimentasi permukaan baru.

Figure 1. Stratigrafi Teknosfer dari akhir budaya paleolitik sampai saat ini (Williams et al., 2016).

Sebagaimana pada Figure 1., diperlihatkan bahwa tekno-fossil sangat mungkin memiliki ‘taksonomi’nya sendiri sebagaimana pembagian diversitas biologi (Zalasiewicz et al., 2017).  Hal ini digunakan untuk memudahkan para ahli geologi dalam meneliti kembali sejauh mana pengaruh tekno-fosil terhadap perubahan tingkat strata sedimentasi mulai dari yang paling termuda sampai tertua atau dari lapisan terluas sampai lapisan terdalam. Pada akhirnya, contoh paling sederhana ialah melihat bagaimana produksi massal Iphone pertama kali yang muncul pada tahun 2017 sangat mungkin memiliki tekno-fossilnya sendiri meskipun kita tahu bahwa perusahan Apple memiliki kaidah pengelolaan akhir yang ketat, akan tetapi ada hal yang tidak bisa dihapus yakni titik situs tempat pengeloaan akhir. Artinya, sangat mungkin apabila Iphone menjadi bukti sinkronik global untuk tekno-fossil meskipun kita harus menunggu berapa ribu tahun lagi, atau pilihan lainnya kita melacak kembali pada tekno-fossil yang telah ada di epos sebelumnya.

Referensi

Aubert, M. et al. (2014) ‘Pleistocene cave art from Sulawesi, Indonesia’, Nature. Nature Publishing Group, 514(7521), pp. 223–227.

Conard, N. J. (2009) ‘A female figurine from the basal Aurignacian of Hohle Fels Cave in southwestern Germany’, Nature. Nature Publishing Group, 459(7244), pp. 248–252.

Craig, O. E. et al. (2013) ‘Earliest evidence for the use of pottery’, Nature. Nature Publishing Group, 496(7445), pp. 351–354.

d’Errico, F. et al. (2005) ‘Nassarius kraussianus shell beads from Blombos Cave: evidence for symbolic behaviour in the Middle Stone Age’, Journal of human evolution. Elsevier, 48(1), pp. 3–24.

Farbstein, R. et al. (2012) ‘First Epigravettian Ceramic Figurines from Europe (Vela Spila, Croatia)’, PloS one. Public Library of Science, 7(7), p. e41437.

Henshilwood, C. S., d’Errico, F. and Watts, I. (2009) ‘Engraved ochres from the middle stone age levels at Blombos Cave, South Africa’, Journal of human evolution. Elsevier, 57(1), pp. 27–47.

Karkanas, P. et al. (2007) ‘Evidence for habitual use of fire at the end of the Lower Paleolithic: Site-formation processes at Qesem Cave, Israel’, Journal of human evolution. Elsevier, 53(2), pp. 197–212.

Rigaud, J.-P. et al. (2006) ‘Stillbay and Howiesons Poort stone tool techno-complexes. South African Middle Stone Age chronology and its implications’, Comptes Rendus Palevol. ELSEVIER FRANCE-EDITIONS SCIENTIFIQUES MEDICALES ELSEVIER 23 RUE LINOIS …, 5(6), pp. 839–849.

Villmoare, B. et al. (2015) ‘Early Homo at 2.8 Ma from Ledi-Geraru, Afar, Ethiopia’, Science. American Association for the Advancement of Science, 347(6228), pp. 1352–1355.

Williams, M. et al. (2016) ‘The Anthropocene: a conspicuous stratigraphical signal of anthropogenic changes in production and consumption across the biosphere’, Earth’s Future. Wiley Online Library, 4(3), pp. 34–53.

Wu, X. et al. (2012) ‘Early pottery at 20,000 years ago in Xianrendong Cave, China’, Science. American Association for the Advancement of Science, 336(6089), pp. 1696–1700.

Zalasiewicz, J. et al. (2014) ‘The technofossil record of humans’, The Anthropocene Review. SAGE Publications Sage UK: London, England, 1(1), pp. 34–43.

Zalasiewicz, J. et al. (2017) ‘Scale and diversity of the physical technosphere: A geological perspective’, The Anthropocene Review. SAGE Publications Sage UK: London, England, 4(1), pp. 9–22.

Catatan Antroposen #9

The Technosphere and Its Relation to the Anthropocene

Peter Haff et al., (2019: 138-144)

Konsep Teknosfer dianggap memiliki relasi yang inheren dengan Antroposen. Relasi ini terjalin karena munculnya suatu entitas baru yang sebelumnya tidak ada atau diciptakan dari alam, misalnya material plastik. Plastik sebagai artefak manusia meninggalkan jejak fisik yang dapat diinvestigasi melalui teknosfer. Teknosfer sendiri menjadi bagian ‘geosfer’baru dengan otonomi sistemnya secara global. Sistem strukturnya berkelindan dengan manusia, sistem sosial, dan gerak teknologis. Sebagaimana dicontohkan dua skenario yang telah ditemukan terkait persoalan global percepatan teknologi (technological acceleration) dan respons sosial terhadap pemanasan global. Adapun penanda ‘sinyal stratigrafi’ dapat ditelusuri sekitar 2 juta tahun lalu dengan pembuktian artefak manusia atau teknofosil modern sebagaimana objek material terbuat dari plastik yang disinyalir dapat menjadi high-resolution penanda stratigrafi Antroposen.

Sekilas tentang Teknosfer

Teknosfer merupakan suatu sistem global yang mungkin setara dengan geosfer lainnya karena memiliki sistem, struktur, dan siklusnya sendiri. Teknosfer selalu terkait dengan sistem teknologis yang tidak hanya berwujud material tetapi juga dapat berwujud semacam institusional yang selama ini berkelindan dengan aktivitas sosial manusia, mulai dari sistem transportasi sampai sistem birokrasi politik. Sebagai sebuah sistem geologi baru, teknosfer tidak dapat terlepas dari peran keempat ‘geosfer’ lainnya yaitu atmosfer, hidrosfer, litosfer, dan biosfer bekerja. Berpijak pada investigasi ilmiah, teknosfer tidak dapat disamakan dengan aktivitas total antroposentris. Teknosfer sebagai sebuah sistem yang dinamis dapat bekerja tanpa adanya campur tangan manusia, meskipun di satu sisi keterkaitan manusia tidak dapat terlepas dari aspek intensionalitas.

Dua Perspektif: Antroposen Sosial dan Antroposen Geologi

Ada beragam perspektif tentang Antroposen di lingkaran akademisi. Secara umum, terbagi menjadi dua perspektif yakni sosial dan geologi. Geologi Antroposen menginvestigasi struktur fenomena skala waktu geologis berdasarkan potensi penanda stratigrafi, distribusi, komposisi, tekstur, struktur, preservasi, keunikan, dan penanggalan suatu peristiwa tertentu (Steffen et al., 2016). Bukti dari geologi Antroposen berpijak pada temuan fisik geologis tertentu misalnya hirarki bebatuan yang membentuk epos Antroposen. Sedangkan, dunia sosial Antroposen berkebalikan, melihat Antroposen sebagai sebuah intensi dan determinasi manusia terhadap dunia yang membentuk suatu percepatan perubahan sistem bumi dan juga membentuk rekonseptualisasi posisi manusia di dunia (Emmett and Lekan, 2016). Respons kritis yang menolak interpretasi bebas antroposentrisme di Antroposen merujuk pada status manusia sebagai bagian dari produk bumi itu sendiri (Garrett, 2014; Haff, 2014a; Haff, 2014b; Zalasiewicz et al., 2014). Interpretasi ini membawa konsekuensi bahwa manusia tidak berbeda dengan konsepsi fisik yang ada di Sistem Ilmu Bumi di mana efek yang dihasilkan oleh manusia pada akhirnya sama dengan spesies lainnya atau peristiwa fisik geologi sebelumnya. Oleh karenanya, jika manusia diasumsikan sebagai bagian dari produk bumi, maka perubahan struktur bumi sendiri menjadi self-evident bahwa Antroposen ialah suatu sistem waktu geologi yang indepeden dan tidak terjebak pada interpretasi spekulatif bebas yang mengarah pada antroposentrisme.

Teknosfer dapat menjadi contoh bahwa manusia tidak dapat langsung mengontrolnya secara penuh. Seluruh fenomena global yang terjadi termasuk siklus energi teknosfer yang berkembang tidak dapat ditahan laju perubahannya oleh manusia. Kondisi Teknosfer saat ini memberikan perspektif masa depan yang tidak pasti bagi geosfer yang lain, yang berada di dua ambang batas: antara mendominasi sirkulasi siklus geosfer lainnya dan ketergantungan teknosfer pada aktivitas manusia. Hampir seperempat populasi di dunia saat ini telah menempatkan prioritas teknologi secara penuh.

Karakteristik perilaku Teknosfer bersifat mandiri secara intrinsik karena kemunculannya sebagai sebuah sistem mekanisntik tidak bergantu pada intervensi manusia secara penuh. Manusia mungkin menjadi bagiannya dalam konteks ‘bertujuan untuk perkembangan mekanisme’ tetapi tidak bersifat teleologis. Artinya, bukti efisiensi penjelasan ‘sebab-akibat’ yang secara umum dipahami tidak dapat diterapkan pada konstruksi fisikal (gambaran non-antroposentris) dari suatu sistem Teknosfer yang terbentuk. Ada aktivitas yang bertujuan dan aktivitas yang memiliki peristiwa konstitutif di mana keduanya tidak dapat diletakan hanya pada satu entitas yakni manusia sebagai agen intrinsik-bertujuan nya. Secara kesuluruhan aktivitas kolektif manusia membantu mendukung sistem intrinsik-bertujuan yang ada pada Teknosfer. Tidakan kolektif manusia hanya mengubah posisi dirinya sebagai subjek atas objek teknologis menjadi subjek sebagai bagian dari agensi teknosfer. Oleh karena itu, muncul dua trajektori Teknosfer yang membentuk percepatan teknologi maka hanya akan memberikan ruang adaptasi bagi manusia untuk memproyeksikan bagaimana teknosfer di masa depan akan bekerja.

Teknosfer sudah selayaknya komoditas yang termanifestasikan pada perangkat, metode, dan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia untuk mempercepat atau mengefisiensikan suatu kerja tertentu. Akibat dari efektivitas teknosfer ini, mengakibatkan siklus energi yang bekerja pada teknosfer tidak dapat dihindari. Persoalan manusia dikemudian hari ialah bagaimana strategi yang dilakukan untuk mengantisipasi kejadian yang tak-disadari terhadap lingkungan dan disrupsi sosial. Teknosfer juga menjadi semacam termostat sosial yang mengukur skala tindakan kolektif manusia yang berpengaruh terhadap kejadian global termasuk juga pemanasan global dan kerusakan ekologis lainnya. Perspektif non-antroposentris di sini menempatkan teknosfer sebagai sebuah sistem yang independen di mana juga memiliki nilai metabolismenya, nilai disipasi energi. Teknosfer juga tidak peduli dengan lingkungan yang tidak ramah dengan kehidupan manusia. Sebagaimana siklus geosfer yang lainnya, Teknosfer memiliki sistem metabolismenya sendiri termasuk sistem pengelolaan limbah yang secara langsung akan mempengaruhi status makanan, air, dan transportasi masyarakat secara luas.

Penutup

Teknosfer memperkuat bukti bahwa teknologi dengan sendiri menjadi bagian dari evolusi geologi yang mengendap dan bahkan membangun sistem-agensinya sendiri. Pandangan umum atas sebab-akibat pada kerangka Antroposen tidak dapat dipertahankan secara penuh karena bagaimanapun juga banyak sekali aspek / entitas yang membangunnya. Jika hanya meletakan manusia sebagai penyebab dari Antroposen maka simpulan tersebut sangatlah terburu-buru. Antroposen sosial tidak dapat dijadikan acuan untuk ratifikasi Antroposen sebab kerangka sebab-akibat Antroposen tidak sekedar berpijak pada prinsip teleologis tetapi juga dibutuhkan penedekatan analitik dan kapabilitas operatif. Kedua pendekatan ini untuk menjelaskan bahwa tidak ada teknologi yang sangat murni dapat menjadi jawaban atas keragaman wajah Antroosen. Hal yang perlu dilakukan manusia saat ini ialah merekognisi teknologi sebagai agensi yang berbeda dari agensi yang kita miliki.

Referensi

Emmett, R. and Lekan, T. (2016) ‘Whose Anthropocene’, Revisiting Dipesh Chakrabarty’s “Four Theses.” RCC Perspectives Transformations in Environment and Society.

Garrett, T. J. (2014) ‘Long‐run evolution of the global economy: 1. Physical basis’, Earth’s Future. Wiley Online Library, 2(3), pp. 127–151.

Haff, P. K. (2014a) ‘Humans and technology in the Anthropocene: Six rules’, The Anthropocene Review. SAGE Publications Sage UK: London, England, 1(2), pp. 126–136.

Haff, P. K. (2014b) ‘Technology as a geological phenomenon: Implications for human well-being’, Geological Society, London, Special Publications. Geological Society of London, 395(1), pp. 301–309.

Steffen, W. et al. (2016) ‘Stratigraphic and Earth System approaches to defining the Anthropocene’, Earth’s Future. Wiley Online Library, 4(8), pp. 324–345.

Zalasiewicz, J. et al. (2014) ‘The technofossil record of humans’, The Anthropocene Review. SAGE Publications Sage UK: London, England, 1(1), pp. 34–43.

Catatan Antroposen #8

The Utility of Formalisation of the Anthropocene for Science

Davor Vidas et al., (2019: 31-40)

Antroposen tidak hanya menjadi topik pembahasan hangat di kalangan komunitas ilmiah geologi tetapi juga melintasi beragam disiplin lain. Ilmu sosial dan humaniora melihat Antroposen sebagai titik tolak kemewaktuan manusia yang mengawali pengaruhnya terhadap keadaan, dinamika, dan masa depan sistem Bumi. Perspektif non-geologi menyadari adanya pergeseran trajektori geologi yang lebih mengarah akan potensi dominasi aktivitas manusia terhadap alam. Ada dua tugas AWG yakni menganalisis dan menjustifikasi bukti geologi Antroposen, serta menjelaskan kegunaan formalisasi Antroposen bagi komunitas ilmiah geologi maupun lintas disiplin lainnya. Pada artikel ini, Davor lebih melihat AWG sebagai ruang ilmiah yang dapat memperluas aspek penelitian Antroposen tidak hanya secara geologi tetapi melampauinya atau lebih tepatnya pendekatan alternatif lainnya.

Pertama, sebagai ‘scientific utility’ Antroposen membuka potensi penelitian Antroposen di luar geologi. Kedua, dengan adanya kegunaan ilmiah ini, Antroposen telah dijustifikasi secara tidak langsung dari sudut pandang non-geologi. Tantangan dan penolakan muncul dari sejumlah pihak (Autin and Holbrook, 2012; Gibbard and Walker, 2014; Klein, 2015; Finney and Edwards, 2016) yang menganggap Antroposen tidak secara penuh valid dan dapat dipertanggung jawabkan pada konteks geologi akan tetapi pada akhirnya direspons oleh (Zalasiewicz et al., 2017). Sedangkan pada sudut pandang lain, Antroposen diyakini dapat diteliti sebagaimana realitas geologi lainnya melalui multi-stratigrafi termasuk memperkuat adanya bukti atas temuan unit stratigrafi baru (contohnya: anomali isotop karbon, radionuklida artifisial, plastik, fly-ash, dan partikel non-natural lainnya). Pendukung gagasan Antroposen mengarahkan pada permulaan waktu pasca revolusi industri yang berpuncak pada the great acceleration di pertengahan abad ke-20, yang juga ditandai dengan munculnya perturbasi karbon, nitrogen, fosfor, dan siklus lainnya yang telah mempengaruhi lingkungan.

Pendekatan diakronik yang melihat suatu kejadian dari suatu wilayah tertentu ke wilayah lain telah membuktikan bahwa kenaikan CO2 di Atmosfer telah berlangsung sekitar 7000 tahun yang lalu sejak dimulainya revolusi agrikultur secara massif. Penanda kondisi interglasial Holosen juga memberikan inspirasi tersendiri bagi geologi Antroposen dalam mempertimbangkan beberapa potensinya antara lain: i) dampak fisik (artificial ground / urban strata) yang telah mengendap di lapisan tanah akibat adanya pembangunan fisik oleh manusia; ii) perubahan iklim yang menyebabkan asidifikasi (pengasaman) air laut karena perubahan siklus karbon di mana perubahannya setara dengan kejadian PETM (awal epos Eosen); iii) dampak biologis atas kepunahan massal, invansi, dan redistribusi spesies. Pemetaan potensi jangka-panjang Antroposen akan sangat berguna untuk memperkuat bukti-bukti empiris-geologis yang ada termasuk bagaimana peran aktivitas antropogenik dalam membangun endapan strata baru yang berbeda dengan aktivitas natural geologi sebelumnya. Sehingga mampu memperlihatkan bagaimana jejaring pembeda antara endapan Holosen dan endapan antropogenik Antroposen terbukt (Zalasiewicz, Williams and Waters, 2014)

Wacana Antroposen ikut berkontribusi atas munculnya pendekatan baru di geologi yang dikenal dengan istilah Ilmu Sistem Bumiatau Earth System science (ESS) (Crutzen and Stoermer, 2000). Komunitas ESS sendiri bekerja untuk membuktikan bahwa Antroposen tidak dapat dibantah secara perspektif melainkan hanya perlu dibuktikan secara ilmiah seiring kemunculan bukti-bukti baru. Komunitas ilmiah ini bergerak untuk menyelidiki adanya dampak pergeseran paradigma Antroposen melalui beragam temuan transdisiplin. Pemahaman yang terbentuk berdasarkan konsep stratigrafi untuk mencari base/awal mula sikronisasi global Antroposen. Pendekatan ESS kurang lebih mirip dengan pendekatan waktu antropologis yang meletakan konsep ‘arkeosfer’/ archaeospher (Edgeworth, 2014; Edgeworth et al., 2015). Konsep ini yang secara inheren diakronik dan inter-regional dengan melibatkan hasil dari litostratigrafi dan biostratigrafi. Pendekatan ESS ini dianggap bermasalah karena membangun waktu kalendar bumi yang sulit untuk dibuktikan bahkan melalui penanggalan radiometrik. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan Antropologi justru lebih menemukan adanya ‘Anthropocene deposite’ yang tersebar secara regional-global diakornik, seperti halnya penelitian tipologi terkait temuan bukti artefak/teknofossil.

Hipotesis Antroposen juga telah melampaui kajian umum ilmu alam di mana melahirkan semacam pemahaman baru mengenai relasi antara manusia dan perubahan alam. Relevansi Antroposen semakin menguat ketika munculnya kesadaran atas perubahan ekstrim yang terjadi di bumi akibat aktivitas besar-besaran manusia. Perubahan planet bumi yang paling mendasar dapat diketahui mulai dari hilangnya sebagian besar biodiversitas, kerusakan landskap, polusi, dan perubahan iklim. Penerimaan Antroposen juga akan berdampak pada bagaimana analisis politik bekerja. Pada artikel ini terdapat dua contoh utama yakni dari sudut pandang ilmu kesehatan dan ilmu hukum.

Sudut pandang ilmu hukum membawa persoalan Antroposen tentang bagaimana kemudian para ahli dan akademisi berpegang teguh pada tesis ‘kestabilan’ Antroposen. Perkembangan tujuan utama hukum dan hubungan internasional tidak hanya sekedar mengacu pada indikator stabilitas keamanan tetapi juga mulai memperhatikan pentingnya kajian kelingkungan (Vidas, 2011; Vinuales, 2016; Biber, 2017). Antroposen memiliki potensi jangka pendek-panjang tentang perumusan undang-undang internasional yang tidak hanya mengatasi konflik geopolitik tetapi juga perumusan aturan untuk mengawal kelestarian ekosistem laut (DeConto and Pollard, 2016). Itu artinya, Antroposen berperan juga sebagai aturan normatif dan narasi kultural.

Contoh lain dari ilmu kesehatan utamanya kebijakan kesehatan publik yang melihat relasi antara kondisi lingkungan manusia berbanding lurus dengan tingkat kesehatannya. Richard Horton (2013) merumuskan konsep planetary health yang menggabungkan unsur pendekatan planetary boundaries dengan ide Antroposen dan diwujudkan dengan membentuk Komisi Kesehatan Keplanetan beserta laporan ilmiah berjudul ‘Safeguarding Human Health in the Anthropocene’. Laporan Lancet tentang kesehatan dan Antroposen membuktikan setidaknya terdapat pengaruh besar atas besaran perturbasi karbon, perubahan siklus nitrogen, kerusakan lahan, polusi udara, dan perubahan iklim global yang berkorelasi dengan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat dunia (Whitmee et al., 2015). Hasil penelitian (Landrigan et al., 2018) juga membuktikan bahwa polusi global membawa korelasi negatif terhadap ketahanan tubuh manusia yang disebabkan karena adanya karbon hitam dan polutan organik persisten yang mencemari lingkungan secara langsung.

Penutup-Catatan

Beragam catatan di atas menunjukan bahwa potensi formalisasi Antroposen memiliki kebergunaan bagi masyarakat luas atau sebagai pisau-analisis illmiah non-geologi (sosial-humaniora). Kedua potensi tersebut mendapatkan kritik sebagaimana Antroposen hanya jatuh pada konsepsi agenda politik atau ideologi tertentu di dalam geologi (Baskin, 2015). Menurut saya, tidak menjadi masalah apabila konsep Antroposen sangat relevan untuk merespons kondisi masyarakat tertentu atau bahkan menjadi semacam paradigm-shift bagi komunitas ilmiah tertentu. Potensi pertama nyatanya lebih terlihat sebab dapat membantu meningkatkan kepekaan masyarakat atas perubahan yang terhadap di bumi saat ini. Lagipula, kita semua tahu bahwa proses formalisasi atau ratifikasi Antroposen juga tidak dapat terlepas dari campur tangan politis. Bagi kebijakan kesehatan publik Antroposen sangat menyakinkan untuk melihat pentingnya manajeman kesehatan. Artinya, relevansi Antroposen dengan kehidupan masyarakat tidak hanya sebagai respons politik tetapi juga membangun kesadaran sosial. Putusan-putusan politik akan sangat berpengaruh terkait bagaimana wacana Antroposen kemudian terbentuk. Saat ini, pilihan implikasi kebijakan politik di antara ‘Holocene preserving’ atau ‘Anthropocene introducting’. Keduanya sama-sama memiliki implikasi politis dan normatif tertentu. Kembali pada aturan formal geologi, Antroposen mau tidak mau tetap wajib mengikuti prosedur ‘aturan stratigrafi’ untuk segera membangun komponen hirarki ‘golden spike’ yang komprehensif. Proses ini harus dilakukan secara ketat dan ilmiah jika ingin segera diratifikasi atau pilihannya ‘setidaknya’ Antroposen menjadi bagian dari kosa kata ilmiah informal atau mungkin menjadi semacam ‘narasi kebudayaan’.

Referensi

   Autin, W. J. and Holbrook, J. M. (2012) ‘Is the Anthropocene an issue of stratigraphy or pop culture’, GSA Today, 22(7), pp. 60–61.

Baskin, J. (2015) ‘Paradigm dressed as epoch: the ideology of the Anthropocene’, Environmental Values. White Horse Press, 24(1), pp. 9–29.

Biber, E. (2017) ‘Law in the Anthropocene epoch’, Geo. LJ. HeinOnline, 106, p. 1.

Crutzen, P. J. and Stoermer, E. F. (2000) ‘Global change newsletter’, The Anthropocene, 41, pp. 17–18.

DeConto, R. M. and Pollard, D. (2016) ‘Contribution of Antarctica to past and future sea-level rise’, Nature. Nature Publishing Group, 531(7596), pp. 591–597.

Edgeworth, M. (2014) ‘The relationship between archaeological stratigraphy and artificial ground and its significance in the Anthropocene’, Geological Society, London, Special Publications. Geological Society of London, 395(1), pp. 91–108.

Edgeworth, M. et al. (2015) ‘Diachronous beginnings of the Anthropocene: The lower bounding surface of anthropogenic deposits’, The Anthropocene Review. SAGE Publications Sage UK: London, England, 2(1), pp. 33–58.

Finney, S. C. and Edwards, L. E. (2016) ‘The “Anthropocene” epoch: Scientific decision or political statement’, Gsa Today, 26(3), pp. 4–10.

Gibbard, P. L. and Walker, M. J. C. (2014) ‘The term ‘Anthropocene’in the context of formal geological classification’, Geological Society, London, Special Publications. Geological Society of London, 395(1), pp. 29–37.

Klein, G. D. (2015) ‘The ANTHROPOCENE: what is its geological utility?(Answer: It has none!)’, in Episodes Forum, p. 218.

Landrigan, P. J. et al. (2018) ‘The Lancet Commission on pollution and health’, The lancet. Elsevier, 391(10119), pp. 462–512.

Vidas, D. (2011) ‘The Anthropocene and the international law of the sea’, Philosophical Transactions of the Royal Society A: Mathematical, Physical and Engineering Sciences. The Royal Society Publishing, 369(1938), pp. 909–925.

Vinuales, J. E. (2016) ‘Law and the Anthropocene’, Jorge E. Vinuales,’Law and the Anthropocene’, C-EENRG Working Paper, 4.

Whitmee, S. et al. (2015) ‘Safeguarding human health in the Anthropocene epoch: report of The Rockefeller Foundation–Lancet Commission on planetary health’, The Lancet. Elsevier, 386(10007), pp. 1973–2028.

Zalasiewicz, J. et al. (2017) ‘Making the case for a formal Anthropocene Epoch: an analysis of ongoing critiques’, Newsletters on Stratigraphy. E. Schweizerbart’sche Verlagsbuchhandlung, 50(2), pp. 205–226.

Zalasiewicz, J., Williams, M. and Waters, C. N. (2014) ‘Can an Anthropocene Series be defined and recognized?’, Geological Society, London, Special Publications. Geological Society of London, 395(1), pp. 39–53.

Catatan Antroposen #7

Stratigraphy and the Geological Time Scale

Jan Zalasiewicz et al., (2019: 11-31)

Skala Waktu Geologi dibentuk berdasarkan bukti biologi, kimia atau fisik yang ada di batu dengan strata tertentu. Penentuan skala waktu geologi tidak dapat terlepas dari pendekatan stratigrafi tertentu. Stratigrafi digunakan untuk menyimpulkan sejarah geologi melalui jejak bebatuan yang ada. Bukti strata berdasarkan dua klasifikasi yaitu melalui geokronologi (penentuan interval waktu dengan melihat peristiwa tertentu) dan kronostratigrafi (klasifikasi material yang terekam membentuk strata tertentu). Contoh geokronologi: Periode Kuarter muncul sebab adanya peristiwa glasial yang muncul di belahan bumi selatan dan utara. Contoh kronostratigrafi: menyimpulkan Sistem Kuarter dibentuk karena strata-strata geologi selama Periode Kuarter. 

Perubahan unit waktu juga dapat berubah ketika adanya temuan bukti-bukti yang mendukung, misalnya perubahan waktu permulaan Pleistosen yang terjadi sekitar 2.6 juta tahun lalu menggantikan waktu lama sekitar 1.8 juta tahun lalu secara formal (Gibbard et al., 2010). Perubahan ini lantas secara simultan akan menggeser waktu Epos Pleistosen dan Seri Pleistosen. Artinya, penandaan waktu geologi dapat berubahan kapanpun sering temuan bukti material baru yang mendukung. Hal ini juga berlaku bagi Antroposen yang memerlukan bukti material untuk membentuk epos dan serinya secara baik.

Untuk saat ini, Antroposen mungkin ditempatkan pada skala waktu yang lain, meskipun kita memahami bahwa Skala Waktu Geologis selalu bersifat hierarkis yang tersusun dari unit skala waktu terkecil yang lalu dikelompokkan secara bersamaan menjadi unit yang terbesar lihat Figure 1. Unit geokronologi terbesar adalah eons dengan eonothems sebagai pasangan kronostratigrafi materialnya. Saat ini kita hidup di Eon Fanerozoikum (~ 541 juta tahun lamanya) yang awalnya terkait dengan kemunculan diversitas organisme metazoa. Eon dibagi lagi menjadi era sehingga eonothems menjadi erathems. Era Kenozoikum adalah era yang bermula ketika meteorit besar mengakhiri dunia Mesozoikum di mana dinosaurus non-unggas  di daratan dan ammonit di lautan sekitar 66 juta tahun lalu mengalami kepunahan. Setalah itu, lebih kecil lagi kita hidup di periode Kuarter di mana interval waktu sistem Bumi yang lebih dinamis dari fase glasial (Epos Pleistosen) menuju ke Epos Holosen. Seri Holosen tidak banyak tolak oleh ahli geologi karena bukti-buktinya sebagian besar dapat ditemukan di sedimentasi bebatuan, delta, dan es yang mengendap dan dapat dibedakan selama proses interglasial yang terbentuk. Alhasil, catatan Holosen lebih kaya secara arkeologis dan geologis. .

Figure 1. Bagan Kronostratigrafi Internasional (versi update: 2020) https://stratigraphy.org/icschart/ChronostratChart2020-03.pdf


Skala Waktu Geologi membutuhkan beragam klasifikasi melalui pendekatan stratigrafi tertentu antara lain unit litostratigrafi, biostratigrafi, kemostratigrafi, dan magnetostratigrafi. Litostratigrafi mencari basis unit karakteristik fisik misalnya tubuh batuan yang sifatnya sinkronik (misalnya berdasarkan lapisan abu vulkanik) atau sifatnya diakronik (pengendapan yang progresif). Biostratigrafi lebih mengarah pada korelasi suatu strata berdasarkan kemunculan atau kepunahan suatu spesies tertentu yang berpijak pada temuan fosil tertentu. Kemostratigrafi menekankan perbedaan pola kimiawi pada strata dengan cara membandingkan stabiltas isotop misalnya isotop karbon atau isotop oksigen. Terakhir, magnetostatigrafi melihat pola pembalikan medan magnetik bumi. Beberapa pendekatan di atas digunakan untuk membangun analisis yang saling berkorelasi untuk menentukan suatu titik waktu secara valid.

Strategi yang paling menentukan untuk menentukan skala waktu geologi Antroposen ialah dengan cara membandingkan suatu pola kejadian di waktu masa lalu dengan masa kini. Artinya, Antroposen mungkin untuk dapat meminjam pola kejadian yang ada misalnya penanda kimia, temuan fosil tertentu, perubahan isotop global, dan pemanasan global. Secara umum, unit kronostratigrafi di Antroposen lebih melihat effect daripada cause, yang menjadikan tantangan tersendiri di mana pola Antroposen harus lebih memperlihatkan segi ‘dampak’ daripada penyebab yang ada. Sayangnya, kita selalu menempatkan manusia sebagai penyebaban.

Semisal kita mencari dampak yang terjadi maka yang sangat mungkin ialah melihat kembali bagaimana batasan antara Pleistosen-Holosen itu terjadi. Sedangkan untuk penamaan, Antroposen tidak menjadi masalah secara esensial karena beberapa nama skala waktu geologi juga terinspirasi dari suatu dominasi peristiwa atau spesies tertentu, misalnya unit waktu Kuarter yang terbagi menjadi Pleistosen yang artinya ‘still more new’ dan Holosen ‘fully new’ sudah menandakan bahwa penanda nama tidak menjadikan masalah bagi investigasi ilmiah geologi. Artinya, Antroposen sangat mungkin untuk diratifikasi asalkan memiliki bukti-bukti geologi yang kuat walaupun faktanya ada banyak ragam nama yang menunjukan potensi aktivitas antropogenik misalnya Antrosen (Revkin, 1992), Homogenosen (Samways, 1999), Myxosen (Pauly, 2010), Plastisen, Pyrosen, Plantationosen, Kapitalosen, Chthulusen (Haraway, 2015), dan lain sebagainya.

Perumusan Antroposen sudah sejatinya mengikuti kaidah geologi yang ada di mana berdasarkan ciri unit kronostratigrafi kapan awal mula Antroposen berlangsung  (secara waktu fromal geokronologi) dan basis (secara paralel atas unit waktu-batu formal kronostratigrafi) serta harus selaras atau sinkronik dengan suatu peristiwa global yang dapat dibuktikan menurut ‘holy-trinity’: batu, fosil, dan waktu. Dengan demikian, Antroposen tidak lagi bergantung pada kerja aktivitas manusia tetapi lebih harus melihat pada aspek bukti geologinya misal melihat suatu perubahan global yang signifikan dari sudut pandang disrupsi atau perturbasi karbon dan siklus nitrogen.

Figure 2. Batas Peristiwa Kambrium dengan persitiwa kemungkinan batas Antroposen (Williams et al. 2014 dalam Zalasiewicz et al., 2019).

Adapun beberapa contoh pendefinisian unit skala waktu geologi dan perbandingannya untuk melihat sejauh mana potensi geologi Antroposen. Pertama, transisi dari Prakambrium (secara teknis dari Eon Proterozoik) ke Eon Phanerozoik yang disebabkan karena kemunculan bioturbasi atau pelapukan sedimen secara biologi di dasar laut sedangkan bila dibandingkan dengan transisi Holosen ke Antroposen maka yang sangat dimungkinkan adanya ‘antroturbasi’ karena aktivitas antroponik di permukaan atau bawah tanah. Kedua, transisi Ordovisium-Silurian sebagaimana teerjadinya perubahan secara drastis yang mengarah pada interglasial, kenaikan air laut, dan kepunahan massal di lautan. Apabila merujuk pada transisi terebut, Antroposen juga memiliki ciri khas yang kurang lebih sama di mana terjadinya peningkatan isotop karbon sebagai hasil pembakaran bahan bakar fosil sejak Revolusi Industrial serta berlanjut ditemukkannya material baru yang tidak pernah ada sebelumnya seperti plasik dan novel chemical—artificial radionuclides. Ketiga, transisi batas Mesozoik-Kenozoik memperlihat bagaimana pengaruh kepunahan kelima terjadi yang meninggalkan jejak level maksimal iridium yang meninggalkan jejaknya pada beberapa temuan fosil dan bebatuan. Artinya, jejak percobaan nuklir di pertengahan abad ke-20 sangat memungkinkan sebagai bentuk penanda waktu geologi baru. Keempat, transisi Paleosen-Eosen terkait teori Paleocene-Eocene Thermal Maximun (PETM) yang mempengaruhi proses perturbasi global dan pengasaman air laut di mana peristiwa tersebut juga sedang berlangsung di epos Antroposen. Terakhir, batasan Pleistosen-Holosen sebagai waktu geologis terdekat sehingga sangat memungkinkan untuk melihat lebih mendalam bagaimana proses aktivitas antropogenik ikut berperan aktif meskipun tidak secara dominan mempengaruhi transisi tersebut. Pada batasan yang terakhir, mulai terlihat peran manusia misalnya sejak masa berburu dan meramu: manusia ikut bertanggung jawab atas ‘kepunahan sebagian spesies purba’.

Penutup-Catatan

Hal yang dapat kita pelajari bersama yakni proses ratifikasi bukanlah perkara sederhana. Diperlukan banyak bukti tidak hanya secara konseptual tetapi juga secara ilmiah-geologis untuk menunjukkan di mana letak ‘golden spike’ Antroposen. Untuk saat ini, Antroposen dapat diterima sebagai konsep, wacana, atau bahkan pegangan bagi siapapun yang telah menyadari bahwa waktu saat kita membaca artikel ini akan berbeda dengan waktu 11.700 tahun lalu. Antroposen nyata sebagai realitas ‘keberadaan relasi manusia dan geologi’ tetapi tidak sebagai realitas unit waktu geologi yang utuh.

Referensi

Gibbard, P. L., Head, M. J., & Walker, M. J. C. (2010). Formal ratification of the Quaternary System/Period and the Pleistocene Series/Epoch with a base at 2.58 Ma. Journal of Quaternary Science, 25(2), 96–102.

Haraway, D. (2015). Anthropocene, capitalocene, plantationocene, chthulucene: Making kin. Environmental Humanities, 6(1), 159–165.

Pauly, D. (2010). 5 easy pieces: the impact of fisheries on marine ecosystems. Island press.

Revkin, A. (1992). Global warming: understanding the forecast. Abbeville Press New York.

Samways, M. (1999). Translocating fauna to foreign lands: here comes the Homogenocene. Journal of Insect Conservation, 3(2), 65–66.

Catatan Antroposen #6

Arguments for a formal Global Boundary Stratotype Section and Point for the Anthropocene

J Zalasiewicz dan CN Waters (2018) https://doi.org/10.1016/B978-0-12-809665-9.10011-4

Sejak Crutzen dan Stroermer (2002) mempromosikan Antroposen sebagai wacana informal geologi, atensi sejumlah pemikir geologi semakin meingkat tentang keberpihakannya pada tesis dampak aktivitas manusia dengan perubahan sistem Bumi (Waters et al., 2014; Zalasiewicz, 2011; Zalasiewicz et al., 2008). Faktanya, proses ratifikasi Antroposen tidak mudah untuk diterima begitu dan harus mengikuti persyaratan formal perumusan Skala Waktu Geologi baru yang memasukan perspektif dua waktu hirarki paralel, secara teknis melalui geokronologi dan/atau kronostratigrafi. Sedangkan untuk mendefinisikan Antroposen diperlukan verifikasi temuan geologi yang berpijak pada persyaratan GSSP. AWG selaku komunitas ilmiah yang bekerja untuk riset analisis status epos Antroposen telah menemukan setidaknya beberapa bukti antara lain:

  1. Mempertimbangkan Antroposen sebagai ‘realitas’ geologi yang bukti subtansialnya telah terbentuk (Zalasiewicz, 2011; Zalasiewicz et al., 2008).
  2. Pertimbangan dari segi determinasi titik awal yang menyarankan rentang waktu dari ‘Antroposen awal’ yang dimulai dari tingkatan waktu sekitar ribuan tahun lalu (Ruddiman, et al., 2015; Smith & Zeder, 2013); lantas berkembang sejak awal abad ke-17 dan disusul dengan masa penjelajahan (Lewis & Maslin, 2015); akhir abad ke-18 dan mulainya Revolusi Industri (Crutzen, 2016; Zalasiewicz et al., 2008); serta terakhir, pertengahan abad ke-20 dan ‘Great Acceleration’ atas percepatan aktivitas manusia dalam segala aspek kehidupan terutama sosial-ekonomi (Lewis & Maslin, 2015; Steffen et al., 2015; Steffen et al., 2016; Zalasiewicz et al., 2015).
  3. Pertimbangan level potensial unit Antroposen melalui hirarki straigrafik, misalnya sebagai age / stage atau subdivisi lain dari Holosen, atau epoch / series baru yang harus menggantikan Holosen sebagaimana tesis awal Crutzen (2002).
  4. Pertimbangan strategi bagaimana awal/base Antroposen dapat didefinisikan, entah melalui GSSP (golden spike): contoh batasan kronostratigrafi dalam Phanerozoik, atau dengan penaggalan numerik (numerical age) atau GSSA: contoh kasus batasan Prekambrian.

Fokus utama tesis Antroposen umumnya mengarahkan pada pembuktian level yang paling optimal untuk titik waktu sekitar pertengahan abad ke-20. Pada artikel ini, Zalasiewicz dan Waters (2018) tidak banyak mengungkapkan bagaimana Antroposen dapat diratifikasi melalui GSSP atau pencarian akan golden spike yang ada karena kesulitan pembuktian adanya kunci situs yang sinkronik dan global. Termasuk level penanda primer dan sekunder yang dapat diakses secara berkelanjutan. Pendekatan GSSP sangat cocok untuk meneliti ‘masa lalu’ yang telah membentuk stabilitas fosil dan sedimentasi batuan. Meskipun terdengar sulit tetapi AWG tetap berusaha keras untuk pembuktian GSSP dan GSSA yang secara ilmiah geologis dapat dipertanggung jawabkan.

Penandaan numerik GSSA dapat menjadi alternatif meskipun akan sangat rumit dan ambigu untuk mengarahkan potensi permulaan Antroposen berrlangsung. Zalasiewicz et al. (2014) mengajukan tesis sejak pertama kali bom atom diledakan pada 16 Juli 1945 di Alamogordo, Meksiko. Momen ini dianggap penting karena menandai diseminasi wujud radioaktif baru serta melahirkan awal the Great Acceleration (Steffen et al., 2015) yang akan mempengaruhi sistem Bumi selanjutnya. GSSA mungkin tidak secara normal stabil untuk memperlihatkan formalitas titik waktu Antroposen, namun akan sangat mudah untuk menandainya bahwa fase Antroposen telah ada. Oleh karena itu, untuk merespons ketidakstabilan GSSA maka diperlukan pendekatan khusus untuk membuktikan adanya potensi titik GSSP untuk geologi Antroposen.

Beberapa riset telah dilakukan untuk menspesifikasikan GSSP Antroposen. Pertama, tesis ‘awal’ mula Antroposen yang mengarah pada persebarasan lapisan tanah Antroposen oleh Certini and Scalenghe  (2011). Tesis ini cukup bermasalah karena hilangnya potensi bukti yang stabil meskipun secara historis sangat memungkinkan mencari jejak-jejak persebaran peradaban prahistoris (Certini & Scalenghe, 2011). Kedua, tesis persitiwa Orbis oleh Lewis dan Maslin (2015) yang diasosiasikan dengan waktu kolonialisasi abad ke-17 yang secara signifikan memunculkan perubahan fase skilus CO2 di atmosfer. Tesis ini dianggap kurang ideal dan proposional karena kisaran variabilitasnya tidak begitu jauh dengan potensi yang ada di Holosen. Begitupun demikian dengan riset dari Wolfe et al (2013) tentang temuan 28 bagian danau utara yang ada di Zona Arktik dan pegunungan Amerika Utara untuk menunjukan transisi Holosen-Antroposen melalui perubahan sistematis antropogenik dalam isotop nitrogen dan mikrofosil yang dimulai ~1850 tetapi penanda ini semakin meningkat sejak ~1950 dan ~1980 (Wolfe et al., 2013). Rose (2015) menemukan distribusi fly-ash atau SCPs yang berpotensi sebagai penanda utama Antroposen, meskipun secara temuan kemunculan SCPs dapat dilacak sekitar tahun 1830an sebagai respons atas permulaan Revolusi Industrial akan tetapi peingkatan secara signifikan muncul sekitar tahun 1950an (Rose, 2015). Suksesi lain muncul terkait temuan distribusi radionuklida buatan yang tersebar secara global akibat uji coba bom nuklir dari 1950an (Waters et al., 2015) yang tercatat dalam sedimen lakustrin, sedimen pesisir, termasuk di salju kutub dan lapisan es (Wolff, 2014), bahkan adanya peningkatan produksi 14C (Karbon-14), yang mendendap di lingkaran pohon ‘tree rings’ (Lewis dan Maslin, 2015). Distribusi polutan organik yang baru juga memperkuat adanya sinyal Antroposen.

Catatan: Penutup Diskusi

Posisi yang paling rasional ialah menunda ratifikasi Antroposen atau mencari bukti yang ‘terlalu’ banyak tersebar. Alhasil, hanya menilik pertengahan abad ke-20 pada fase Great Accelaration akan sangat mungkin dipertimbangkan sebagai titik permulaan Antroposen. Hampir mayoritas kandidat stratotip Antroposen tersebar di wilayah daratan maupun sedimentasi lautan. Penanda lain juga dapat ditemukan dari sinyal antropogenik, seperti radionuklida buatan, SCPs, pestisida, plastik dan lain sebagainya.

Ratifikasi Antroposen akan terhambat apabila harus mengikuti aturan-aturan formal sebagaimana penulisan skala waktu geologi sebelumnya, tetapi akan sangat mungkin apabila seleksi GSSA dapat diprioritaskan terlebih dahulu daripada GSSP (Zalasiewicz et al., 2014). Fungsinya untuk mencari titik pewaktuan terlebih dahulu untuk kemudian mengumpulkan bukti-bukti yang mendukung formalisasi Antroposen. Atau secara lebih radikal, GSSA dan GSSP dapat menjadi bagian komplementer atau pendukung data setelah eksplorasi jejak material yang dapat direkam melalui observasi dan pendokumentasian atas batas kalender tahun temporal (age atau subdivisi) untuk menghasilkan stratigrafi Antroposen yang efektif dalam konteks pengarsipan sejarah geologi manusia.

Referensi

Certini, G., & Scalenghe, R. (2011). Anthropogenic soils are the golden spikes for the Anthropocene. The Holocene, 21(8), 1269–1274.

Crutzen, P. J. (2016). Geology of mankind. In Paul J. Crutzen: A Pioneer on Atmospheric Chemistry and Climate Change in the Anthropocene (pp. 211–215). Springer.

Lewis, S. L., & Maslin, M. A. (2015). Defining the anthropocene. Nature, 519(7542), 171–180.

Rose, N. L. (2015). Spheroidal carbonaceous fly ash particles provide a globally synchronous stratigraphic marker for the Anthropocene. Environmental Science & Technology, 49(7), 4155–4162.

Ruddiman, W. F., Ellis, E. C., Kaplan, J. O., & Fuller, D. Q. (2015). Defining the epoch we live in. Science, 348(6230), 38–39.

Smith, B. D., & Zeder, M. A. (2013). The onset of the Anthropocene. Anthropocene, 4, 8–13.

Steffen, W., Broadgate, W., Deutsch, L., Gaffney, O., & Ludwig, C. (2015). The trajectory of the Anthropocene: the great acceleration. The Anthropocene Review, 2(1), 81–98.

Steffen, W., Leinfelder, R., Zalasiewicz, J., Waters, C. N., Williams, M., Summerhayes, C., … Edgeworth, M. (2016). Stratigraphic and Earth System approaches to defining the Anthropocene. Earth’s Future, 4(8), 324–345.

Waters, C. N., Zalasiewicz, J. A., Williams, M., Ellis, M. A., & Snelling, A. M. (2014). A stratigraphical basis for the Anthropocene? Geological Society, London, Special Publications, 395(1), 1–21.

Wolfe, A. P., Hobbs, W. O., Birks, H. H., Briner, J. P., Holmgren, S. U., Ingólfsson, Ó., … Saros, J. E. (2013). Stratigraphic expressions of the Holocene–Anthropocene transition revealed in sediments from remote lakes. Earth-Science Reviews, 116, 17–34.

Wolff, E. W. (2014). Ice sheets and the Anthropocene. Geological Society, London, Special Publications, 395(1), 255–263.

Zalasiewicz, J., Waters, C. N., Williams, M., Barnosky, A. D., Cearreta, A., Crutzen, P., … Grinevald, J. (2015). When did the Anthropocene begin? A mid-twentieth century boundary level is stratigraphically optimal. Quaternary International, 383, 196–203.

Zalasiewicz, J., Williams, M., Haywood, A., & Ellis, M. (2011). The Anthropocene: a new epoch of geological time? The Royal Society Publishing.

Zalasiewicz, J., Williams, M., Smith, A., Barry, T. L., Coe, A. L., Bown, P. R., … Gibbard, P. (2008). Are we now living in the Anthropocene? Gsa Today, 18(2), 4.

Catatan Antroposen #5

Finding a “Golden Spike” to Mark the Anthropocene

SA Elia (2018: 19-28) https://doi.org/10.1016/B978-0-12-809665-9.09935-3

Untuk mengakhiri perdebatan Antroposen maka diperlukan suatu legitimasi pendekatan geologi. Salah satunya melalui pencarian golden spike atau titik paku emas yang dapat didefinisikan melalui Global Stratotype Sections and Points (GSSPs). GSSP membangun batas bawah (lower boundaries) semua tahap geologi berdasarkan fosil diskrit serta peristiwa fisik yang saling berkorelasi dan terekam pada jejak bebatuan (Gradstein and Ogg, 2005). Setiap GSSP menjelaskan pembagian waktu geologi. Misalnya, lebih dari 25 tahun lalu telah ditemukan golden spike pertama yang membatasi Devonian dan Silurian yang berlokasi di Ceko. Mengapa GSSP diterima para ahli geolog? Karena GSSP dapat dijelaskan dengan multi kriteria yang sifatnya sinkronik secara global. Adapun beberapa kriterianya antara lain: pembalikan geomagnetik, perubahan nilai isotop global, dan kemunculan taksa fosil yang menggambarkan persebaran makhluk hidup tertentu secara luas. Sedangkan pada kasus Antroposen, tidak semua kriteria dapat dipenuhi, namun ada satu kriteria paling menonjol yang muncul pada sejak tahun 1950an. Perubahan global dalam nilai isotop stabil (dan radioaktif), sangat jelas menandai perubahan dramatis dalam sistem bumi. Tetapi, perlu menjadi catatan bahwa fenomena yang baru ini tidak dapat didukung dengan sejumlah catatan sisa-sisa fosil makhluk hidup tertentu terlebih pada aspek kriteria perubahan medan magnetik yang menandai perlintasan Holosen-Antroposen. Lantas, apakah epos Antroposen dapat diterima begitu saja?

Perlu bukti GSSP formal?

Menurut Remane et al., (1996) The International Commission on Stratigraphy telah memberikan perincian kriteria terkait standar kronostratigrafi global sebagai berikut:

  1. GSSP harus menjelaskan batas terbawah (the lower boundary) dari suatu tahap geologi tertentu.
  2. The lower boundary dapat dijelaskan dengan penanda utama atau primary marker, tetapi juga dapat dengan pendanda sekunder (secondary markers) yang mendukung seperti misalnya: fosil, kimia, atau penanda geofisik lainnya.
  3. Horizon penanda batas seharusnya dapat ditandai secara radiometrik.
  4. Penanda harus secara regional dan secara global cosynchronous
  5. Sedimentasi harus berkelanjutan
  6. Urutan (sequence) tidak dipengaruhi oleh tektonik dan gerak sedimentasi serta metamorfosisme.
  7. Dapat diakses secara terbuka, berlokasi secara jelas, dan dalam kondisi baik untuk secara ekstensif cukup untuk penelitian berkelanjutan (Remane et al., 1996).

Berpijak pada standar kriteria GSSP, untuk kasus Antroposen, Ellias (2018) hanya menegaskan tidak semua (tujuh standar kriteria) ada pada tesis Antoposen. Pertama, titik golden spike Antroposen masih diperdebatakan, hal itu dikarenakan keunikan epos Antroposen yang masih berproses dan belum dapat diprediksi kapan berakhirnya. Kedua, penanda utama batas Antroposen belum dapat dipastikan secara jelas, termasuk penanda sekunder seperti fosil yang hanya dapat diaplikasikan pada epos sebelumnya, sedangkan Antroposen masih berproses. Salah satu aspek ini yang memaksa para ahli geologi untuk ‘think outside the box’ di mana harus mampu menggali kembali aspek yang baru atau di luar standar kriteria yang ada, misalnya dengan menyilangkan temuan non-geologis lainnya. Ketiga, penanggalan radiometrik secara formal harus dimiliki oleh Antroposen agar tidak jatuh hanya pada penjelasan diskriptif. Penanda ini dapat ditemui dari jejak-jejak pasca perang dunia kedua terlebih saat uji-coba nuklir.

Keempat, penanda Antroposen lebih cenderung pada temuan-temuan yang sifatnya sedimentasi lingkungan tertentu yang secara regional lebih terlihat namun secara global belum dapat disimpulkan saling bertalian atau sinkronik. Artinya, bukti Antroposen sangatlah beragam dan banyak maka perlu adanya pendekatan khusus untuk memilah milih kembali. Kelima, keberpanjutan sedimentasi menjadi kesulitan tersendiri bagi epos Antroposen sendiri, karena secara umum semua epos geologi ialah prehistoris. Investigasi jejak rekam geologi akan sulit jika belum menemukan kapan Antroposen dimulai. Keenam, karena Antroposen baru dimulai maka jejak-jejak sedimentasinya masih belum terganggu karena proses tektonik atau metamorfosis. Simpulan yang muncul terhadap GSSP epos Antroposen ialah bahwa Antroposen tidak secara penuh dapat cocok dengan model klasik yang selalu mengarah pada peristiwa masa lalu. Antroposen mungkin akan tepat jika representasikan dengan perubahan iklim global saat ini, sebagaimana masa transisi Pleistosen akhir ke Holosen, atau mencari bukti-bukti kepunahan massal yang sedang terjadi saat ini, meskipun secara geologis bukti kepunahan massal tidak dapat diterima begitu saja.

Pencarian Bukti Geologi

Geologi Antroposen secara intuitif memiliki ‘sinyal’ kuat tetapi tidak secara penuh dapat direkoginisi melalui pendekatan geologi. Adapun beberapa temuan ‘sinyal’ akan bukti-bukti geologi Antroposen. Pertama, bukti Antroposen dimulai merujuk pada keunculan polutan kimiawi yang memberikan dampak negatif pada lingkungan sejak tahun 1950an. Tesis ‘1950’ dipertahankan karena telah ditemukan beragam isotop baru termasuk dua isotop plutonium 239Pu dan 240Pu. Selain itu, juga meningkatnya penggunaan nitrogen dalam pupuk kimia sejak tahun 1950an yang mengarahkan pada perubahan siklus nitrogen, Persistent organic Polutants (POPs), polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs), serta  polychlorinated Biphenyls (PCBs) juga mempengaruhi bentukan sedimentasi baru yang semuanya berasal dari limbah pestisida atau penggunaan perlengkapan rumah tangga elektrik. Bukti kedua, ialah perubahan struktur lahan yang disebabkan karena aktivitas antropogenik, mulai dari alih fungsi lahan untuk limbah, reklamasi lahan, dan termasuk pertanian. Hal ini juga disebabkan karena meningkatnya jumlah populasi manusia sehingga perubahan fungsi lahan semakin signifikan. Contoh paling menarik yakni mega-proyek The London Crossrail Project yang mengubah struktur dasar tahan tidak hanya permukaan tetapi masuk hingga sejauh 40 meter di bawah tanah.

Figure 1. Cross-section tanah dan sekuensi lapisan tanah yang disebabkan oleh aktivitas manusia.

Ketiga, adanya tanda isotopik khas yang muncul selama perkembangan peradaban manusia mulai dari penggunaan timah dan belerang sampai temuan tambang batu bara. Isotop belerang misalnya dapat digunakan untuk melacak polusi karena alam berasal dari letusan gunung berapi atau kebakaran hutan, namun aktivitas antropogenik muncul dari adanya pembakaran batubara di pembangkit listrik yang meningkatkan jumlah fly-ash. Meningkatnya isotop karbon dan nitrogen sejak Revolusi Industri terlebih sejak tahun 1950an yang bersumber dari konsumsi bahan bakar fosil serta produksi pupuk yang meningkat. Tingkat keasaam air laut ikut berubah seiring meningkatnya siklus kimiawi antropogenik secara drastis sejak 50 juta tahun terakhir. Keempat, spherical carbonaceous particles (SCPs) sebagai penanda Antroposen lainnya sebagai bagian dari fly-ash yang terbentuk dari pembakaran suhu tinggi bahan bakar fosil sebagaimana minyak dan batu bara yang digunakan untuk mendukung suplai energeni termasuk listrik. Hari ini listrik menjadi kebutuhan utama manusia. Kelima, siklus hidrologi, permintaan sumber daya air di seluruh dunia sangatlah besar dan tidak sebanding dengan siklus air atau pemerataan sumber mata air ang ada. Bukti Antroposen dapat dilacak melalui perubahan siklus hidrologis termask bukti material antropogenik yang dapat ditemukan di lapisan sedimentasi es di Antarika dan Greenland. Terakhir, ialah perubahan landaskap yang mengarahkan pada relasi antara perkembangan peradaban manusia dan perubahan atau transformasi landaskap yang ada, selain itu karena adanya perubahan landaskap ini maka secara tidak langsung telah mengubah habitat makhluk hidup lain yang menyebabkan rusaknya rantai kehidupan. Kerusakan ini membawa dampak pada kelangkaan sumber daya alam dan juga potensi atas kepunahan-kepunahan massal berikutnya.

Catatan Penutup

Semua skema klasifikasi geologi sejatinya ialah artifisial atau buatan yang dikonstruksikan oleh manusia yang hanya digunakan untuk memudahkan kita memahami dunia geologi. Lagipula, argumentasi tentang transisi waktu geologi Antroposen tidak dapat ditolak semena-mena tanpa mempertimbangkan kondisi faktual yang ada saat ini. Kita semua menyadari bahwa peruahan besar sedang terjadi dan berskala global. Aktivitas antropogenik juga telah berkontribusi meningkatkan level gas rumah kaca sejak lima juta tahun yang lalu. Perubahan ini mirip ketika masa transisi dari Paleosen ke Eosen sekitar 56 juta tahun lalu. Temuan plastik oleh manusia juga telah mengubah horizon permukaan terestrial bumi dan sedimen laut. Basis ‘horizon plastik’ iuni sangat mungkin sebagai penanda awal Antroposen yang berciri khas sinkronik dengan layer isotop radioaktif yang ada diseluruh dunia sebab adanya uji coba senjata nuklir. Potensi titik tersebut tidak berbeda dengan temuan atas batas K-T penandanya karena temuan iridium sejak tumbukan asteroid meninggalkan jejak di Bumi sekitar 65 juta tahun lalu. Oleh karena itu, pembuktian Antroposen yang terbaik dan sangat mungkin berpusat pada tahun 1950an. Antroposen masih terus berproses sejak 50 tahun terakhir. Antroposen untuk saat ini tidak dapat dijelaskan secara formal, namun secara kerangka intutif semua orang dapat menerima bahwa kita semua telah bertransisi pada satu titik waktu tertentu. Setidaknya ada konsekuensi lain jika Antroposen benar-benar diratifikasi maka akan muncul banyak perspektif baru termasuk perspektif akan bahaya kepunahan umat manusia itu sendiri.

Referensi:
Gradstein FM and Ogg JG (2005) Time scale. In: Selley RC, Cocks RM, and Plimer IR (eds.) Encyclopedia of geology, pp. 503–520, Amsterdam: Elsevier

Remane J, Bassett MG, Cowie JW, Gohrbandt KH, Lane H, et al. (1996) Revised guidelines for the establishment of global chronostratigraphic standards by the International Commission on Stratigraphy (ICS). Episodes 19: 77–81

Catatan Antroposen #4

Basis for Establishment of Geologic Eras, Periods, and Epochs
SA Elias (2018)

Penelusuran dan pengembangan pembagian skala waktu geologi tidak dapat terlepas dari proses intelektual filsuf alam ketika memahami dan menjelaskan dunia natural. Proses interpretasi tentang realitas dunia biologis memanglah tidak sempurna tetapi berkembang secara bertahap selama 4 abad terakhir. Systema Naturae (1758) karya Linnaeus mencoba untuk membagi organisasi menjadi dua kerajaan: Hewan dan Tanaman. Klasifikasi ini berdasarkan lima tingkatan: kingdom, kelas, ordo, genus, dan spesies. Hampir sekitar 10.000 spesies hewan dan tanaman diberi nama untuk diabadikan sebagai bagian dari investigasi biologis. Sedangkan di bidang geologi, skema klasifikasi formasi bebatuan di bumi muncul antara abad ke-18 dan ke-19.

Awal abad ke-19, ilmu pengetahuan sendiri berkembang sangat pesat. Banyak perubahan paradigma serta spesialisasi ilmu untuk mengantisipasi keberagaman objek ilmu termasuk mulai melepaskan diri dari pengaruh pemahaman religius. Pertama kali geologi lebih mengarah pada perbandingan kandungan mineral batuan tertentu sekitar abad ke-16 dan ke-17. Sistematisasi geologi membantu perkembangan pertambangan. Temuan pembagian skala waktu geologi tidak terlepas dari jasa Nicolas Steno (1638-1686) yang membang dua dasar prinsip geologi terkait sedimentasi bebatuan. Sejak itulah, strata kemewaktuan geologi mulai dibagi menjadi Primary, Secondary, Tertiary, dan Quternary oleh Giovanni Arduino (1714-1795). James Hutton (1726-1797) memperkenalkan tentang komposisi struktur dasar geologi dan representasi keteraturan peristiwa yang terulang dan saling mempengaruhi. Istilah ini sering dikenal sebagai Uniformitarianisme yang juga diperkenalkan oleh Charles Lyell sebagai seorang geolog sekaligus partner Charles Darwin terkait investigasi evolusi biologi. Barulah William Smith mengklasifikasikan horizon stratigrafik dan juga mempertimbangkan peran karakteristik fosil untuk membaca suatu masa geologi tertentu. Figure 1 memperlihatkan bagaimana era dan periode geologi berpijak pada karakteristik khas lingkungan biologis tertentu yang kemudian mengarahkan penamaan suatu masa secara formal. Misalnya, nama era Mesozoik artinya era geologi pertengahan dan nama periode Jura merujuk pada dominasi reptil raksasa.

Figure 1. Pembagian Era dan Periode berdasarkan karakteristik biologi dan lingkungan.
Figure 2. Perbandingan Geokronologi dan Kronostratigrafi.

Spesifikasi waktu juga diturunkan dari Periode ke Epos lalu ke Zaman (Age), misalnya sekarang manusia berada pada Periode Kuarter, Kala Holosen, dan Zaman Meghalayan. Selama hampir 150 tahun terakhir, perdebatan penadaan waktu geologis secara tepat dapat terbantu dengan adanya teknik penanggalan radiometrik yang merunut pada GSSPs (Global Stratotype Sections and Points). GSS dapat merunut pada dua hal, pertama secara Geokronologi (unit waktu) yang mengekspresikan pewaktuan atau suatu peristiwa paling unik sepanjang sejarah Bumi. Artinya, geokronologi lebih pada mengkualifikasikan bebatuan berdasarkan tingkatan interval waktu saat terbentuk, sedangkan Kronostratigrafi berkaitan dengan umur batuan dan penanggalan yang relatif (unit waktu-batuan) (Zalasiewicz et al., 2013).

Figure 3.  Beberapa lokasi “golden spike” GSSP di setiap situs. (A) Situs GSSP di Perbukitan Ediacara, Pegunungan Flinders, Australia Selatan. Perunggu plakat menandai paku emas yang menandai berakhirnya Era Prakambrium (foto dari Wikipedia); (B) situs GSSP di Taman Nasional Pegunungan Guadalupe, Texas, menandai awal zaman Wordian, bagian dari Zaman Guadalupian pada Zaman Permian yang mencakup selang waktu dari 268,8 hingga 265,1 juta tahun lalu (foto oleh National Park Service, Amerika Serikat; (C) Situs GSSP dekat Pueblo, Colorado, menandai dimulainya zaman Turonia, zaman kedua di Zaman Kapur Akhir, atau tahapan dalam seri Kapur Atas. Ini mencakup waktu antara 93,9 0,8 dan 89,8 1 juta tahun yang lalu (foto oleh Brad Sageman, Universitas Northwestern);  (D) Situs GSSP di Taman Nasional Pegunungan Guadalupe, Texas, menandai dimulainya zaman Capitanian, tepat di atasnya the Wordian age (foto oleh National Park Service, Amerika Serikat). (Sumber: Ellas, 2018: 14).

Catatan:

Melalui golden spike atau paku emas, GSSP dapat menetapkan batas paling mendasar dari semua tahapan geologi. GSSP dapat berdasarkan fosil diskrit dan peristiwa fisik yang berkorelasi baik dalam catatan batuan secara global. Sudut pandang Antroposen mungkin akan jauh brbeda dengan model pendekatan geologi secara klasik yang hanya menekankan dan bergantung dengan data di masa lalu. Antroposen menjadi sangat menarik karena melibatkan suatu kondisi yang sedang berlangsung dan belum final. Hanya saja, mungkin pendekatan yang harus dilakukan secara lebih komprehensif, misalnya menelisik tentang trajektori kepunahan sepanjang sejarah geologi termasuk sejarah manusia di dalamnya (Ceballos et al., 2015).

Referensi:

Ceballos, G. et al. (2015) ‘Accelerated modern human–induced species losses: Entering the sixth mass extinction’, Science advances. American Association for the Advancement of Science, 1(5), p. e1400253.

Zalasiewicz, J. et al. (2013) ‘Chronostratigraphy and geochronology: a proposed realignment’, GSA Today, 23(3), pp. 4–8.

Catatan Antroposen #3

History and Development of the Anthropocene as a Stratigraphic Concept

Grinevald, J. dkk (2019: 4-10)

Antroposen telah menjadi semacam perubahan paradigma di bidang geologi, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Antroposen merupakan konsep yang terbilang cukup lama sebagai sebuah perspektif tentang hubungan manusia dan bumi (Uhrqvist & Linnér, 2015). Gagasan lama ini merujuk pada tindakan kolektif manusia dalam konteks geomorfologi dan agensi geologi yang mempengaruhi atau mengubah bumi (Glacken, 1956), pandangan ini tidak terlepas dari kontribusi pandangan filsafati Rene Descartes dan Francis Bacon. Rasionalitas masa modern awal dan pencerahan ini mengarah pada bagaimana alam dapat ditundukan, mentrasformasi alam, tetapi tidak sampai berujung pada konteks skala waktu geologi dan proses biosferik. Apresiasi ilmiah pada konsep dualistik manusia dan alam ini baru mulai disadari pada awal tahun 2000an oleh Crutzen, didukung oleh AWG pada tahun 2008 oleh Zalasiewicz dkk, dan dilanjutkan pada pembahasan historis oleh (Steffen, Grinevald, Crutzen, & McNeill, 2011) termasuk komprehensivitas pembahasan yang lebih mendalam oleh (Davis, 2011; Hamilton & Grinevald, 2015).

            Pandangan tentang Antroposen juga bermuara dengan meningkatnya jumlah populasi manusia, terutama ketika munculnya penjelajahan dunia Barat, sekaligus pertama kalinya membuat formalisasi kronologis secara sistematis sebagai basis bukti geologis tentang pembagian skala waktu geologi. Buffon menulis tentang The Epochs of Nature (1778) (Terj. Zalasiewicz, dkk., 2018) yang merangkai tentang historisitas bumi dari sudut pandang geologi untuk pertama kalinya. Buffon menjelaskan tujuh tahap epos yang telah terjadi di bumi mulai dari perubahan formasi endapan bebatuan, sedimentasi, suhu, air laut, dan perbedaan bentuk kehidupan biologis yang tersebar. Manusia masuk pada epos terakhir termasuk bagaimana proses transisi dari manusia yang ‘bar-bar’ menuju masyarakat yang ‘beradab’. Manusia yang lebih maju ini juga memiliki dampak pada perubahan corak cocok tanam dan penggunaan bahan bakar fosil termasuk batu bara (comte de Buffon, 2018). Catatan Rudwick mengungkapkan bahwa pemikiran Buffon mempengaruhi masa intelektual tentang ‘gagasan zaman manusia’ sebelum era industrialisasi (Rudwick, 2005, 2010).

            Pemikiran manusia sebagai agen geologi mulai resmi dipublikasikan oleh para naturalis pertengahan abad ke-19. Thomas Jenkyn (1854) dikutip oleh (Lewis & Maslin, 2015), yang menulis tentang “epos manusia” atau Antropozoik. Gagasan Jenkyn dilanjutkan oleh Hughton (1865) dan geologi Stoppani (1873) yang mengaitkan sejak pasca zaman Kristiani bumi telah mengalami perubahan. Meskipun demikian, temuan Jenkyn dianggap tidak menjelaskan kebaruan di bidang geologi karena menyiratkan pandangan teologis di dalamnya. Charles Lyell menggunakan kata ‘terbaru’ untuk merujuk kondisi skala waktu geologi terkini sehingga Paul Gervais (1860) menyebutnya sebagai epos Holosen. Holosen lalu diadopsi oleh The Third International Geological Congress of 1885. yang telah menandai waktu pasca glasial Pleistosen dan peningkatan suhu air laut, tetapi masih merekogonisi pada aktivitas manusia secara lokal yang menjadi bagian karakteristik utama Holosen.

            Periode Quaternary (Gibbard & Head, 2009), secara keseluruhan merepresentasikan Zaman Es yang dibuktikan dengan munculnya diversitas manusia purba meskipun secara geologi dan ekologi tidak begitu signifikan pengaruhnya. Pada pertengahan abad ke-20, seorang geokimia dan geolog dari Soviet, Vladimir I. Vernadsky memberikan persamaan nama lain yang merujuk pada Antropogen, atau Antropozoik (versi Pavlov), atau Psikozoik (versi Schuchert), yang semuanya merujuk pada perubahan lingkungan yang disebabkan oleh manusia.  

            Litostratigrafi menjadi penarikan awal Antroposen, yang melibatkan penelitian tentang perubahan sedimentasi batuan yang disebabkan oleh adanya penambangan yang juga terkait dengan penggunaan bahan bakar fosil yang memicu perubahan temperatur Bumi. Analisis geologis ini dimulai pada awal abad ke-20, melalui temuan Mars, Sheclock dan Arrhenius. Temuan mereka telah memicu pandangan tentang perubahan iklim yang berbanding lurus dengan kemajuan teknologi pada pertengahan 1950an (Grinevald et al., 2019)

            Pengembangan konsepsi Antroposen dilirik oleh Pierre Teilhard de Chardin dan Edourad Le Roy pada kerangka filosofis tentang Biosfer dan Noosfer. Sebagaimana gagasan (Vernadsky, 1998) tentang noosfer yang mencakup antroposfer dan teknosfer, ide tentang “Wajah Bumi” yang diturunkan dari perubahan massif manusia pada awal abad ke-20 terutama pasca perang dunia kedua. Kompleksitas perubahan ini mendapat tanggapan dari sudut pandang hipotesis “Gaia” oleh (Lovelock & Margulis, 1974). Gaia membahas bahwa kehidupan dibumi bergerak secara bersamaan, saling mempengaruhi, dan saling mengubah satu sama lain, termasuk manusia yang telah mengubah wajah permukaan bumi. Konsep hipotesis ‘Gaia’ ini juga tidak bisa dilepaskan dengan percepatan perkembangan teknologi dan ilmu.

            Vernadsky juga menginspirasi Crutzen dan Stroermer (2002) sebagai bagian dari justifikasi tesis Antroposen. Para ahli geologi juga banyak mengikuti gagasan Crutzen tentang Antroposen tetapi dalam konteks penentuan titik-titik transisi Antroposen via penanggalan radiometrik yang sifatnya global. Uniknya, pembahasan Antroposen ini mendapatkan respons yang pro dan kontra di kalangan komunitas ilmiah baik geologi dan non-geologi. Misalnya, Adanya pandangan yang mengartikan bahwa Antroposen lebih mengarah pada sejarah awal manusia sehingga lebih dekat pada pembahasan Antropologi, Arkeologi, serta penulisan Sejarah (Stan C Finney, 2014; Stanley C Finney & Edwards, 2016).

            Formalisasi Antroposen tidak hanya berhenti menjadi sekedar wacana di antara komunitas ilmiah. Zalasiewicz dkk pada tahun 2008 memulai penelitian formal Antroposennya dengan membangun AWG (Anthropocene Working Group). AWG berfungsi sebagai komunitas ilmiah resmi yang meneliti tentang Antroposen. Tesis utama mereka mengarah pada pencarian global spike Antroposen sehingga secara tidak langsung mengakhiri penanggalan waktu Holosen. Zalasiewicz membawa pemahaman Antroposen secara formal dalam konteks geologi, melalui penelitian stratigrafi. Zalasiewicz menolak keras interpretasi Antroposen secara non-geologis karena hal ini akan menghadirkan kerancuan pada konteks interpretasi Antroposen (Zalasiewicz et al., 2018).

            Eksplorasi interpretasi non-geologi memberikan variasi pandangan tentang perubahan geologi dari sudut pandangan yang lebih mengarah pada ilmu sosial, humaniora, dan seni, sebagaimana diikuti oleh beberapa pemikir antara lain: (Altvater et al., 2016; Angus, 2016; Bonneuil & Fressoz, 2016; Chakrabarty, 2014; Clark & Yusoff, 2017; Davies, 2016; Hamilton, 2017; Hansen, 2013; Latour, 2017; McNeill, 2001; McNeill & Engelke, 2016; Turpin & Davis, 2015; Yusoff, 2018). Oleh karena itu, Antroposen kemudian dipahami sebagai sebuah ukuran tertentu mengenai kontekstualisasi ‘deep-time’ aktivitas antropogenik yang mengubah bumi beserta dampaknya. Pendekatan lain disebut sebagai ‘multi-proxy’ dalam riset stratigrafi sebagai indikator Antroposen (Steffen, Broadgate, Deutsch, Gaffney, & Ludwig, 2015; Steffen, Crutzen, & McNeill, 2007) serta pendekatan konsep batasan keplanetan ‘the planetary boundaries’ (Rockström et al., 2009; Steffen et al., 2016).

Pada akhirnya, formalisasi dan ratifikasi Antroposen masih berlanjut sampai sekarang, sebab tidak semua komunitas stratigrafi atau geologi menerima konsep itu. Antroposen masih perlu adanya pengembangan ilmiah lebih lanjut sehingga layak menjadi bagian dari Skala Waktu Geologi (GTS). Meskipun demikian, proposal Antroposen yang diajukan oleh AWG dalam Kongres Geologi Internasional pada tahun 2016 mendapatkan apresiasi dari ilmuwan gelogi terkait potensi unit waktu geologi Antroposen yang berpijak pada perubahan pertengahan abad ke-20 ataupun penanda utama terkait tes bom nuklir yang meninggalkan jejak radioaktif (Steffen et al., 2015; Wolff, 2013; Zalasiewicz et al., 2015).


Catatan:

Perdebatan Antroposen terbagi menjadi dua kubu yakni dari pendekatan geologis dan non-geologis. Keduanya sama-sama ingin menjelaskan apa itu Antroposen, kapan Antroposen dimulai, dan apa dampak paling signifikan atas eksistensi Antroposen. Walaupun demikian, konsepsi Antroposen tidak dapat terlepas dari estafet sejarah pengetahuan sejak abad ke-18 di mana pandangan mengenai relasi antara manusia dan bumi mulai mencuat namun tidak secara implisit dijelaskan dalam konteks geologi. Hari ini, Antroposen bukan konsepsi yang formal tetapi mendapatkan tempat yang layak untuk diperdebatkan ulang perihal suatu kondisi di mana ‘kita’ sebagai manusia terlibat langsung atas trajektori tersebut.

Bahan Rujukan:

Altvater, E., Crist, E. C., Haraway, D. J., Hartley, D., Parenti, C., & McBrien, J. (2016). Anthropocene or capitalocene?: Nature, history, and the crisis of capitalism. Pm Press.

Angus, I. (2016). Facing the Anthropocene: Fossil capitalism and the crisis of the earth system. NYU Press.

Bonneuil, C., & Fressoz, J.-B. (2016). The shock of the Anthropocene: The earth, history and us. Verso Books.

Chakrabarty, D. (2014). Climate and capital: On conjoined histories. Critical Inquiry, 41(1), 1–23.

Clark, N., & Yusoff, K. (2017). Geosocial formations and the Anthropocene. Theory, Culture & Society, 34(2–3), 3–23.

comte de Buffon, G. L. L. (2018). The Epochs of Nature. University of Chicago Press.

Davies, J. (2016). The Birth of the Anthropocene. In The Birth of the Anthropocene. https://doi.org/10.1525/9780520964334

Davis, R. (2011). Inventing the Present: Historical Roots of the Anthropocene. Earth Sciences History, 30(1), 63–84. https://doi.org/10.17704/eshi.30.1.p8327x7042g3q989

Finney, Stan C. (2014). The ‘Anthropocene’as a ratified unit in the ICS International Chronostratigraphic Chart: fundamental issues that must be addressed by the Task Group. Geological Society, London, Special Publications, 395(1), 23–28.

Finney, Stanley C, & Edwards, L. E. (2016). The “Anthropocene” epoch: Scientific decision or political statement. Gsa Today, 26(3), 4–10.

Gibbard, P., & Head, M. J. (2009). The definition of the Quaternary system/era and the Pleistocene series/epoch. Quaternaire, 20(2), 125–133.

Glacken, C. J. (1956). Changing ideas of the habitable world. In J. Thomas, W. L. (Ed.), Man’s Role in Changing the Face of the Earth (Vol. 1, pp. 70–92). The University of Chicago Press Chicago, IL.

Grinevald, J., McNeill, J., Oreskes, N., Steffen, W., Summerhayes, C. P. ., & Zalasiewicz, J. (2019). History and Development of the Anthropocene as a Stratigraphic Concept. In C. N. Waters, C. P. Summerhayes, J. Zalasiewicz, & M. Williams (Eds.), The Anthropocene as a Geological Time Unit: A Guide to the Scientific Evidence and Current Debate (pp. 1–40). https://doi.org/DOI: undefined

Hamilton, C. (2017). Defiant earth: The fate of humans in the Anthropocene. John Wiley & Sons.

Hamilton, C., & Grinevald, J. (2015). Was the Anthropocene anticipated? The Anthropocene Review, 2(1), 59–72. https://doi.org/10.1177/2053019614567155

Hansen, P. H. (2013). The summits of modern man. Harvard University Press.

Latour, B. (2017). Facing Gaia: Eight lectures on the new climatic regime. John Wiley & Sons.

Lewis, S. L., & Maslin, M. A. (2015). Defining the anthropocene. Nature, 519(7542), 171–180.

Lovelock, J. E., & Margulis, L. (1974). Atmospheric homeostasis by and for the biosphere: the Gaia hypothesis. Tellus, 26(1–2), 2–10.

McNeill, J. R. (2001). Something new under the sun: An environmental history of the twentieth-century world (the global century series). WW Norton & Company.

McNeill, J. R., & Engelke, P. (2016). The great acceleration: An environmental history of the Anthropocene since 1945. Harvard University Press.

Rockström, J., Steffen, W., Noone, K., Persson, Å., Chapin, F. S., Lambin, E. F., … Schellnhuber, H. J. (2009). A safe operating space for humanity. Nature, 461(7263), 472–475.

Rudwick, M. J. S. (2005). Bursting the limits of time: the reconstruction of geohistory in the age of revolution. University of Chicago Press.

Rudwick, M. J. S. (2010). Worlds before Adam: the reconstruction of geohistory in the age of reform. University of Chicago Press.

Steffen, W., Broadgate, W., Deutsch, L., Gaffney, O., & Ludwig, C. (2015). The trajectory of the Anthropocene: the great acceleration. The Anthropocene Review, 2(1), 81–98.

Steffen, W., Crutzen, P. J., & McNeill, J. R. (2007). The Anthropocene: are humans now overwhelming the great forces of nature. AMBIO: A Journal of the Human Environment, 36(8), 614–621.

Steffen, W., Grinevald, J., Crutzen, P., & McNeill, J. (2011). The Anthropocene: conceptual and historical perspectives. Philosophical Transactions of the Royal Society A: Mathematical, Physical and Engineering Sciences, 369(1938), 842–867.

Steffen, W., Leinfelder, R., Zalasiewicz, J., Waters, C. N., Williams, M., Summerhayes, C., … Edgeworth, M. (2016). Stratigraphic and Earth System approaches to defining the Anthropocene. Earth’s Future, 4(8), 324–345.

Turpin, E., & Davis, H. (2015). Art in the Anthropocene: Encounters among aesthetics, politics, environments and epistemologies. Open Humanities Press.

Uhrqvist, O., & Linnér, B.-O. (2015). Narratives of the past for Future Earth: The historiography of global environmental change research. The Anthropocene Review, 2(2), 159–173.

Vernadsky, V. I. (1998). The biosphere. Springer Science & Business Media.

Wolff, E. W. (2013). Ice sheets and nitrogen. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 368(1621), 20130127.

Yusoff, K. (2018). A billion black Anthropocenes or none. U of Minnesota Press.

Zalasiewicz, J., Waters, C., Head, M. J., Steffen, W., Syvitski, J. P., Vidas, D., … Williams, M. (2018). The Geological and Earth System Reality of the Anthropocene.

Zalasiewicz, J., Waters, C. N., Williams, M., Barnosky, A. D., Cearreta, A., Crutzen, P., … Grinevald, J. (2015). When did the Anthropocene begin? A mid-twentieth century boundary level is stratigraphically optimal. Quaternary International, 383, 196–203.

Catatan Antroposen #2

The Anthropocene: How the Great Acceleration Is Transforming the Planet at Unprecedented Levels

DellaSala dkk (2018: 1–7) https://doi.org/10.1016/B978-0-12-809665-9.09957-2

Penelusuran titik transisi antara kala Holosen menuju kala Antroposen masih menjadi perdebatan hangat di tengah-tengah komunitas ilmiah geologi. Uniknya, pembahasan Antroposen tidak hanya sekedar membicarakan tentang pembuktian skala waktu geologi semata tetapi juga membahas relasi antara manusia sebagai spesies dan alam sebagai lingkungan hidupnya secara historis. Manusia sebagai spesies makhluk hidup terbilang sangat unik tetapi tidak seutuhnya istimewa karena pada mulanya tetap mengalami proses evolusi kehidupan.

Manusia seringkali merayakan kejadian-kejadian spesial mulai dari yang paling membahagiakan hingga yang paling menyedihkan, ulang tahun dan kematian misalnya. Sejarah lini masa Bumi sama seperti perayaan manusia tersebut, ada masa di mana suatu fase kepunahan dan kelahiran baru, fase transisi satu era ke era lain, semua itu terangkum dalam jejak-jejak geologi. Manusia saat ini telah mencapai 7 Milliar populasi jiwa. Kemajuan teknologi dan sains menjadi faktor utama proses keberlangsungan dan kebertahanan hidup manusia sampai hari ini.

Salah satu tugas ahli geologi ialah merekam beragam kejadian besar di planet ini salah satunya transisi dari suatu kala waktu geologi tertentu. Pokok pembahasan bab ini ialah membaca ulang sejarah geologi Antroposen. Strategi yang dilakukan umumnya dengan cara menentukan kapan waktu paling tepat sebagai permulaan geologi Antroposen dengan menggunakan Global Boundary Stratotype Sections and Points (umumnya, disebut paku emas – titik transisi—golden spike). Kesepakatan pencarian titik emas ini memuat kerangka stratigrafi tertentu pada batasan terendah suatu stage yang menggambarkan suatu masa geologi tertentu. Antroposen dapat dikatakan menarik karena manusia sebagai subjek sekaligus objek dari penelitiannya sendiri tetapi tidak dapat terlepas dari akumulasi paku emas sebelumnya (secara historis), semacam tumpukan atau kelipatan kejadian geologi yang pernah terjadi.

Penelusuran ini dapat dimulai di Ethiopia, dua kerabat terdekat manusia yaitu Ardi (Ardipithecus ramidus) dan Lucy (Australopithecus afarensis). Awalnya Lucy (sekitar 3 juta tahun lalu) dianggap sebagai leluhur manusia pertama tetapi kemudian digantikan oleh Ardi (sekitar 4 juta tahun lalu). Afrika menjadi cikal bakal kelahiran ‘kemanusiaan’, di mana semuanya bermula, akan tetapi tidak cukup untuk mengasumsikan bahwa titik paku emas pertama di dorong oleh peradaban Afrika kuno. Sampai sekitar dua juta tahun kemudian, keturunan Ardi dan Lucy semakin cerdas untuk memulai menggunakan peralatan yang paling sederhana semacam kapak batu. Momen manipulasi itu menjadi salah satu kandidat golden spike lain di linimasa Antroposne. Alat bantu yang digunakan secara tidak langsung meningkatkan kemampuan beburu dan meramu. Sekitar 50.000 sampai 11.000 tahun lalu, manusia purba ikut berperan terhadap kepunahan massal megafauna yang di Amerika Selatan, Amerika Utara, dan beberapa wilayah Asia, tetapi tidak di Afrika (Sandom, Faurby, Sandel, & Svenning, 2014)

Fase Neolitikum, pengembangan peralatan berburu melahirkan sistem agrikultur di wilayaH Timur Tengah. Ekspansi lahan terjadi yang mengakibatkan perubahan struktur sedimentasi lahan dan perubahan saluran air untuk mendukung proses domestifikasi hewan dan tanaman. Proses ekstraksi nabati dan hewani semuanya dikelola secara teratur dari bahan mentah menjadi siap saji di atas meja makan.

Fig 1. Historistas akumulasi ‘golden spike’ Antroposen.

Figure 1 menjelaskan bagaimana akumulasi historis dari Revolusi Industri (1750-1900) berkontribusi besar terhadap perkembangan teknologi yang mengolah pembakaran bahan bakar fosil (batu bara dan minyak bumi) secara efisien. Pertumbuhan manusia pada tahun 1804 mencapai 1 miliar jiwa bahkan melonjak secara drastis mencapai 7 miliar jiwa pada tahun 2011. Kebertahanan hidup manusia di bumi tidak dapat terlepas dari peran ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung kesehatan dan gaya hidup manusia. Menjadi semacam lompatan evolusioner manusia sebagai spesies yang unik.

Di sisi lain, jejak-jejak Antroposen dapat ditilik semenjak pasca perang dunia kedua, tepatnya setelah ledakan bom atom pertama di Nagasaki Hiroshima yang kemudian menggerakan kemajuan umat manusia. Pilihan membangun dunia baru disertai dengan percepatan teknologi, mekanisasi pertanian, dan yang tidak kalah penting ialah penggunaan plasik skla massal di seluruh dunia. Titik kemajuan baru manusia yang membuka globalisasi baru dapat disebut sebagai The Great Acceleration.

Catatan:

Paragraf sebelumnya telah menjelaskan probabilitas titik temu paku emas atau golden spike untuk geologi Antroposen dengan cara merujuk pada jejak-jejak antropogenik yang mengimplikasikan perubahan iklim, perubahan biodiversitas, kepunahan massal dan kontaminasi kimiawi yang ditarik sepanjang transisi awal kala Holosen. Strategi lain selain dari sudut pandang geologi, para ilmuwan maupun filosof dapat mengambil sudut pandang lain dari ilmu non-geologi misalnya etika, akan tetapi model pendekatan ini jarang digunakan karena tidak memberikan pembuktian ilmiah yang siginifikan. Artinya, mempelajari dan membahas Antroposen perlu memperlibatkan kembali keseluruhan aktivitas antropogenik secara historis dari masa ke masa.

Rujukan:

Sandom, C., Faurby, S., Sandel, B., & Svenning, J.-C. (2014). Global late Quaternary megafauna extinctions linked to humans, not climate change. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences, 281(1787), 20133254.

Catatan ‘Antroposen’ #1

“A General Introduction to the Anthropocene” Jan Zalasiewicz dkk. (2019: 2-4)

Zalasiewicz dkk (2014) memberikan pengantar umum tentang Antroposen. Konsep Antroposen memang diperkenalkan oleh Paul Crutzen (2000), namun seiringnya perkembangannya banyak kalangan ilmu geologi termasuk non-geologi mulai melirik konsep tersebut. Alhasil, popularitas Antroposen semakin meningkat Ketika penelitian Crutzen di Ilmu Sistem Bumi (Earth System Science – ESS) mulai membuat titik perbedaan antara Antroposen dan Holosen. 

Antroposen secara eksplisit ingin menjelaskan interval waktu geologi, sebagai sebuah epos atau kala baru yang dibedakan dari epos sebelumnya, yaitu Holosen. Tesisnya merujuk pada penelitian ESS yang membuktikan adanya perubahan secara global terutama ketika dimulainya revolusi industrial awal. Meskipun demikian, Antroposen bukanlah konsep yang final apalagi formal karena masih membutuhkan pembuktian atau ratifikasi secara ilmiah. Antroposen sampai hari ini masih menjadi semacam konsep epos geologi yang masih bergerak di tataran diskursus baik dari sudut pandang geologi maupun non-geologi. 

Setelah Crutzen memopulerkan Antroposen, the Stratigraphy Commission of the Geological Society of London menyatakan bahwa sangat dimungkinkan untuk memformalisasi geologi Antroposen. Simpulan SCGS London memberikan respons yang massif di antara komunitas ilmiah yang mengarahkan pada tesis ‘era manusia’. Sebetulnya, tesis ini telah ada sejak akhir abad ke-18 (Stoppani, 1873; Buffon, 2018), yang menempatkan manusia sebagai penyebab perubahan global. Menyadari hal tersebut, aktivitas antropogenik dianggap menjadi bagian dalam kerangka perubahan / evolusi bumi. Subcommission of Quaternary Stratigraphy (SQS) dari International Commision on Stratigraphy (ICS) membentuk Anthropocene Working Group (AWG) untuk meninvestigasi tesis geologi Antroposen dan memberikan laporan formal untuk proses ratifikasi kepada International Union of Geological Science (IUGS). 

Persoalan lain muncul terhadap diskursus Antroposen ialah pada kerangka interpretasi makna atas Antroposen itu sendiri. Dari sudut pandangan non-geologi membaca Antroposen sebagai wacana yang berbeda sekaligus dekat dengan aspek kemanusiaan. Zalasiewicz menolak banyak interpretasi atas Antroposen secara non-geologis karena akan sangat memungkinkan munculnya ambiguitas makna. Oleh sebab itu, penelitian yang disajikan sejauh dengan aturan-aturan formal untuk memenuhi persyaratan formalisasi atau ratifikasi antroposen untuk dapat dapat menjadi bagian dari ICS (International Chronostratigraphic Chart). Strategi atau pendekatan yang dimulai secara sinkronik daripada diakronik untuk menghindari interpretasi antropologi atau sejarah peradaban manusia. Fokus Antroposen lebih pada karakteristik geologi yang memperlihatkan perubahan secara signifikan yang sebelumnya tidak ada di Holosen, misalnya kenaikan level CO2 Atmosfer, Isotop Karbon dan Nitrogren, Perubahan biosfer, dan bahkan termasuk kepunahan spesies, atau jika adanya bukti geologis lain yang ada sejauh mendukung tesis tersebut.

A close up of a map

Description automatically generated
Figure 1. Kunci transisi dari Pleistosen akhir ke waktu sekarang. Catatan: Stabilitas Holosen akhir yang berubah ketika memasuki fase pertengahan abad ke-20 yang diidentifikasi sebagai titik Antroposen (Zalasiewicz dkk, 2018)

Catatan: Posisi ini membedakan Antroposen dari sudut pandang geologi dan non-geologi. Simpulan saya, Antroposen menjadi suatu format kala / epos yang belum final karena masih terus berkembang dan berlanjut.