Waktu fiksi Alan Lightman

sumber: amazon.com

Alan Lightman menceritakan dua percakapan kecil antara Einstein dan Besso. Novel ini terbit pada tahun 1992, cukup lama. Saya mengenal novel ini di tengah-tengah pandemi ketika membuka acara TEDx yang menghadirkan Alan Lightman. Alan berbicara panjang lebar tentang relasi antara fisika dan seni. Keduanya memiliki kesamaan ketika memandang realitas, hanya saja yang membedakan bagaimana realitas itu diterjemahkan melalui kata yang bermakna puitis atau simbol matematis yang rigoris.

Bukan sepenuhnya ulasan, tetapi sekedar membaca hasil bacaan sendiri. Saya menyelami dunia yang berbeda dari novel Einstein’s Dream ini. Saya melihat narasi-narasi kecil di sekitar sudut kota, di dalam rumah kecil, di tengah perbincangan pasangan; yang semuanya merujuk dan merunut pada suatu konsepsi waktu tertentu. Tiap babnya menjelaskan bagaimana waktu dipahami oleh keberagaman sudut padang. Saya hampir mencari-mencari manakah konsep waktu yang relevan untuk diri saya sendiri. Akhirnya, saya menemukan beberapa poin penting, meskipun rasanya seperti membaca buku motivasi di tengah-tengah pandemi.

Pertama, waktu paralel. Waktu ini memungkinkan adanya diri saya yang lain. Saya yang sedang mengetik, saya yang sedang bermain gim, atau saya yang sedang meratapi kemalasan di tengah pandemi, atau bahkan kemungkinan tak terhingga untuk menjadi saya yang sedang melakukan sesuatu secara bersamaan. Waktu paralel seperti waktu pilihan untuk kita dalam memilih. Tidak ada yang salah dengan pilihan kita. Meskipun pada akhirnya, kita akan bertanya ulang apakah kehidupan kita sudah diatur sedemikian rupa? Apakah semuanya sudah ditakdirkan begitu saja? Apakah kita punya kehendak bebas? Apakah kehendak bebas itu ilusi? Tetapi mengapa kita bisa membaca masa depan?

Kedua, waktu terbagi menjadi dua: waktu mekanik dan waktu tubuh. Waktu mekanik bekerja sebagaimana kita melihat jam di tangan kita, jam di dinding, atau jam di pojok atas atau bawah desktop komputer kita. Waktu mekanik bekerja sangat formal. Saya memahami itu, sebagaimana kita harus berdiskusi via skype atau zoom pada waktu yang telah ditentukan. Waktu Indonesia Barat akan sedikit berbeda dengan Waktu Indonesia Timur, uniknya kita bisa bertemu pada waktu yang sama meski waktu pada jam tangan kita berbeda. Artinya, jam mekanik telah mengatur hidup kita sedemikian disiplinnya.

Waktu tubuh sangat lentur, dia bisa bergerak lebih cepat atau lebih lambat. Saat merasakan kecemasan atau ketakukan maka waktu akan berhenti begitu saja, sedangkan di saat merasakan kebahagiaan waktu seolah bergerak begitu cepat. Berbincang dengan orang lain atau duduk menyendiri akan memperlihatkan intensi waktu yang berbeda. Waktu begitu menubuh dengan diri. Seolah diri kita ingin tetap berada pada waktu yang terbaik, untuk menjadi selalu sehat, untuk menjadi selalu kaya raya, atau untuk dapat membaca buku filsafat dan novel favorit tanpa ada batasan. Keinginan lainnya, mungkin waktu bisa menghentikan rasa lelah.

Ketiga, bayangkan jika waktu itu berhenti. Mungkinkah kehidupan manusia akan berhenti pula? Semuanya berhenti, kita tidak perlu repot-repot mengkhawatirkan masa depan. Untung, untuk mereka yang sedang bermain cinta atau mereka yang sedang merasa bahagia berada di atas puncak kejayaan dan waktu berhenti. Tetapi, bagaimana dengan mereka yang berbalik arah?

Keempat, ada waktu di mana masa depan, masa kini, dan masa lalu menjadi prinsip pandangan hidup. Ada orang yang merasa terjebak pada masa lalu, atau di sisi lain, takut akan masa depannya. Ada orang yang merasa bahwa hidup di antara keduanya adalah pilihan terbaik.

Kelima dan seterusnya, adalah bagaimana kita menghayati waktu. Waktu yang terhayati menjadi relatif begitu saja. Bayangkan jika seluruh umat manusia memiliki hidup sekitar 1 hari sebelum semuanya punah. Pilihannya adalah untuk menjadi sangat baik dengan sekitar atau menyelesaikan urusannya dengan penuh gairah. Waktu sama seperti objek ruang, tetapi karena ruang lebih terhayati, waktu jadi hilang begitu saja. Kesadaran kita muncul setelah melewati suatu fase tertentu.

Sembari menyelesaikan beberapa poin di atas, saya mencatat satu kutipan yang sangat cocok untuk generasi pelamun seperti saya. 24 jam hidupnya terhubung dengan ruang dan waktu dalam jaringan. Waktu terasa lebih cepat. Maka, kemudian muncul bayang-bayang masa depan yang tak terduga.

“Bagi mereka yang telah melihat masa depan, inilah dunia dengan jaminan keberhasilan. Akibatnya, mungkin beberapa proyek dimulai tanpa berharap beroleh kemajuan karir. Beberapa perjalanan dilakukan tanpa kota tujuan. Pertemanan tidak harus dilanggengkan. Sejumlah gairah menjadi sia-sia. Bagi mereka yang belum beroleh penglihatan, inilah dunia yang tertunduk lesu. Merekalah orang-orang yang menghabiskan waktu untuk tidur dan berharap bayangan masa depan muncul dalam impian.”

Pada akhirnya, hanya kemewaktuan dengan kepastian yang dicari oleh hampir setiap manusia. Saya begitu optimis, 2020 adalah tahun yang pasti untuk melakukan penelitian, tetapi dugaan saya meleset, waktu prediksi masa depan kemudian berbalik arah. Tidak ada penelitian, perpustakaan ditutup, dan fasilitas dibatasi. Untung saja, saya tidak membuang konsep waktu. Meskipun kemudian kita bicara bahwa jangan-jangan waktu adalah kecemasan.

Atau….

Kecuali, saya benar-benar membuang semua konsepsinya tentang waktu. Waktu ialah ilusi dan tidak pasti, misalnya. Tetapi, saya rasa waktu dan ruang keduanya sama-sama menubuh. Sama seperti mimpi Einstein, mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara membaca waktu. Lantas, bagaimana jika Tuhan tidak mendekat meskipun kita telah membongkar apa itu waktu?

Antroposen dan Kepunahan Keenam

sumber: antinomi.org

Sebut aku manusia

Sekitar 200.000 tahun yang lalu, spesies tanpa nama muncul di bumi Afrika. Uniknya, makhluk ini tidak cukup kuat tetapi cerdas ketika beradaptasi dengan cara memanfaatkan segala bentuk sumber daya yang tersedia. Fase akhir zaman es, sekitar 11.700 tahun yang lalu, mereka terus berkembang dan terlepas dari fase kepunahan besar megafauna. Selepas masa itu, hasrat berkelana semakin besar, mereka menjelajah dan menjajah untuk dapat berkuasa atas apa yang disebut sebagai peradaban baru.

Seiringnya perjalanan waktu, masyarakat modern menyebut mereka sebagai Homo Sapiens—leluhur yang cerdas. Meskipun, sejak dulu kita sendiri memiliki ‘the madness gene’, suatu gen yang tidak pernah merasa berterima kasih, padahal mau tidak mau, manusia berutang banyak dengan Neanderthals atau bahkan primata purba tentang bagaimana cara menggunakan alat sederhana. Pilihannya, ialah dikuasai atau menguasai, prinsip yang masih dipegang teguh hari ini oleh sebagian dari manusia modern. Hasrat menguasai memang telah mendarah daging. Gen kegilaan memusnahkan primata purba, megafauna, dan bahkan sesamanya. Kita sebut mereka makhluk bar-bar—tidak ada budi, berbanding terbalik dengan definisi manusia yang diakui masyarakat modern dengan atribut bijaksana dan beradab. Itulah definisi manusia sejati, versi kemapanan moralitas.

Saya sendiri menyadari bahwa pembahasan tentang yang-baik dan yang-luhur semakin digembor-gemborkan hari ini, tetapi tidak berlaku untuk 11.000 tahun lalu. Melalui pandangan moral yang baik dan luhur, muncul harapan bahwa dahaga manusia modern dapat terpenuhi. Dunia modern hari ini dipandang sebagai sesuatu yang bermasalah, kering, dan tanpa makna. Padahal, jika kita sendiri berani menarik diri menuju perjalanan sejarah awal manusia, betapa tidak keringnya kehidupan manusia itu sendiri. Obrolan moral dan tanggung jawab manusia terhadap kerusakan yang ada, tidak kurang terjadi sekitar beberapa abad atau bahkan dekade lalu. Sudah sangat terlambat untuk menyadari bahwa peradaban manusia lahir tanpa memusnahkan yang-lain. Mengutip Elizabeth Kolbert, di masa depan, katakanlah 2050, keragaman ekologi sangat sulit ditemui, menjadi sangat ringkih dan punah, semua itu disebabkan oleh adanya pemanasan global dan perubahan iklim. Pelakunya ialah manusia itu sendiri. Skenario ini disebut apocalyptic.

Kepunahan yang menyejarah

Sedikit banyak kita berutang pemikiran kepada peletak studi ilmiah tentang kehidupan di Bumi, baik dari sudut pandang evolusi Darwin maupun geologi Lyell yang menjelaskan bahwa hilangnya suatu spesies terjadi secara perlahan dan berkelanjutan. Kepunahan bagi sebagian spesies mungkin barangkali menjadi keniscayaan, tetapi bagi spesies manusia, pilihannya hanya dua: menunda atau mempercepat kepunahan yang keenam setelah lima kepunahan sebelumnya. Jika kita melacak kembali sejarah pada skala waktu geologi maka mungkin saja kita mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana suatu kepunahan menjadi titik balik pergantian zaman geologi tertentu.

Pembabakan realitas pada dunia geologi selalu berdasarkan perubahan yang terjadi pada masing-masing era. Hari ini, secara formal, kita percaya bahwa kita masih menelusuri jalan epos Holosen, waktu ketika zaman es telah berakhir, yang berjalan sampai detik ini. Uniknya, bagi sebagian orang yang percaya bahwa manusia telah diberikan keberuntungan yang luar biasa karena dapat bertahan pada masa transisi itu (dari Pleistosen ke Holosen). Meskipun, kita tahu, bahwa pembebasan atau keajaiban itu mengorbankan banyak spesies lain. Terkadang naif bila merasa telah membebaskan diri dari batas-batas evolusi, kita manusia, mau tidak mau tetap saja akan bergantung pada sistem biologis dan biokimia Bumi. Hal itu telah kita sadari, saat sebagian besar manusia telah berteriak untuk kembali ke alam, mencari keseimbangan, atau bahkan menyelamatkan bumi. Apa yang ingin diselamatkan? Mungkinkah kita pernah benar-benar seimbang dengan Alam sejak awal? Padahal, kepunahan makhluk hidup merupakan sesuatu hal yang tidak asing bagi sejarah Bumi, hanya saja, manusia sebagai spesies yang merasa paling panik akan kepunahannya sendiri. Lantas, muncul tren untuk berlomba-lomba mencari strategi atas pembangunan peradaban yang berkelanjutan. Syukur-syukur bisa menghasilkan alternatif kondisi manusia dengan jalan energi yang tepat guna atau ramah ‘lingkungan’ tetapi juga tetap dapat mengeksploitasi lingkungan itu sendiri. Menarik!

Menurut saya, Kolbert ialah seorang yang lebih percaya pada gagasan Katastropisme. Pandangan yang berpijak dari suatu peristiwa yang menandai punahnya suatu spesies. Gagasan ini terinspirasi dari pemikir Prancis Georges Cuvier. Cuvier pada masanya melakukan kategorisasi 49 spesies yang telah punah termasuk Beruang gua (Ursus spelaeus), Kungkang raksasa (Megatherium), dan Pterodactyl. Artinya, teori evolusi yang sederhana bahwa perubahan suatu spesies sejalan dengan perubahan lingkungannya tidak cukup menjelaskan bagaimana kepunahan itu bekerja. Pada zaman es, mastodon Amerika pun ikut punah sebab perburuan besar-besaran oleh manusia. Kasus kepunahan beberapa spesies pada abad ke-19 juga melibatkan overeksploitasi manusia. Sama seperti halnya ketika Auk dan burung Dodo (Raphus cucullatus) dibunuh, jika merujuk pada teori evolusi yang sederhana, seharusnya mereka dapat bersembunyi dan menghindar untuk tidak dibunuh, tetapi manusia berbeda, mereka cukup kuat untuk menaklukan beragam spesies. Kaitan ini memperkuat temuan Kolbert bahwa beragam fosil yang belum ditemukan memiliki penanda relasi simbiotik antara manusia dan alam. Jika kita mau berani mengakui, maka relasi dan keseimbangan seperti apa yang ini kita raih?

Berbicara tentang kepunahan, secara umum, kita pasti akan merujuk pada peristiwa kepunahan dinosaurus. Pada tahun 1970an, Walter Alvarez dan Luis Alvarez menemukan iridium sebagai titik penanda kepunahan massal dinosaurus atau sektar 66 juta tahun yang lalu. Hantaman asteroid tidak hanya memusnahkan raksasa dinosaurus saja tetapi juga makhluk kecil bernama ammonit tidak dapat menghindar dari peristiwa itu. Kolbert lantas memberikan hipotesis bahwa kebertahanan hidup ammonit tidak hanya sekedar teori seleksi alam, tetapi juga bagaimana perubahan besar dapat mempengaruhi suatu kepunahan tertentu. Pada bab kelima tentang Antroposen, Kolbert menjadikan manusia sebagai titik temu perubahan besar sekaligus awal mula kepunahan selanjutnya.

Pada pembabakan geologi terdapat lima kepunahan yang pernah terjadi di Bumi sebelumnya. Kepunahan pertama terjadi saat zaman akhir Ordovisium (sekitar 450 juta tahun lalu) ketika kekacauan ekosistem terjadi termasuk kegagalan fotosintesis, yang disebabkan berkurangnya kandungan CO2 hampir 86 persen spesies punah termasuk beberapa organisme laut yang terdampak. Periode berikutnya, kepunahan kedua terjadi pada zaman Devon (sekitar 370 juta tahun lalu). Hujan meteor menyebabkan penurunan ekstrem oksigen yang menyebabkan kepunahan massal sampai 75 persen di samping meningkatnya perubahan iklim. Zaman Perm (252 juta tahun lalu), disebut juga sebagai bagian dari kepunahan besar ketiga, ketika hampir 96 persen spesies punah yang disebabkan karena perubahan iklim ekstrem, termasuk menipisnya oksigen, hujan asam, letusan gunung berapi, dan meningkatnya pemanasan global secara signifikan. Kepunahan keempat terjadi pada periode akhir Trias (200 juta tahun lalu), saat seluruh aktivitas vulkanik meningkat, yang diperkirakan melenyapkan 80 persen spesies. Terakhir, kepunahan paling populer sebab menyisakan banyak bukti geologis yang disebut sebagai kepunahan Zaman Kapur Akhir (Cretaceous-Tertiary Exctinction), sekitar 65 juta tahun lalu, penyebabnya karena tumbukan meteor besar di Teluk Meksiko (sekarang) yang menyebabkan kepunahan besar pada dinosaurus dan ammonit. Kelima kepunahan massal ini menjadikan kepunahan yang menyejarah sekaligus titik perubahan skala waktu geologi tertentu. Berkat kepunahan, keberagaman makhluk hidup dan tatanan geologi semakin berkembang. Memahami kepunahan bagi manusia merupakan suatu kengerian sekaligus ketakjuban tersendiri. Lantas, kapan kepunahan keenam akan terjadi?

Kepunahan Keenam untuk manusia

Hasil pembacaan saya terhadap Kolbert, memungkinkan posisi saya, bahwa Antroposen dapat menjadi suatu tesis untuk menjelaskan lebih jauh soal kepunahan berikutnya—kepunahan keenam. Meskipun Antroposen bukan epos formal geologi, tetapi usaha para ahli geologi (AWG—Anthropocene Working Group) telah memperjelas bahwa manusia sebagai faktor geologi terbesar hari ini. Kepunahan pertama sekitar 450 juta tahun lalu disebabkan karena perubahan iklim ekstrim (naik turunnya level karbon di atmosfer) atau kepunahan lainnya yang disebabkan karena terlalu rendahnya suhu bumi yang menyebabkan proses glasial secara besar, maka sangat mungkin saja apabila Bumi menuju pembalikan dari yang ‘stabil’ menjadi ‘ekstrem’. Hanya saja, manusia sebagai aktor utamanya, berkontribusi secara kontinu melalui perluasan lahan, peningkatan penggunaan bahan bakar fosil terlebih sejak awal eksplorasi revolusi industri.

Bukan suatu ramalan, tetapi semacam prediksi atau mungkin spekulasi terhadap apa yang mungkin saja terjadi di masa depan, dengan cara membandingkan dengan beberapa proses kepunahan massal sebelumnya. Berkaca pada kepunahan pertama dan seterusnya, di mana salah satu persoalannya ialah perubahan ekstrem iklim. Perubahan iklim yang terjadi juga menjadi catatan keterlibatan manusia sebagai kontributor setia terkait proses pengasaman air laut, yang secara langsung mengancam sebagian besar kehidupan laut. Silakan coba menyelam di Great Barrier Reef, Australia, paling besar kita akan menemukan coral bleaching (pemutihan pada karang), dan berandai-andai, mungkin saja,  sekitar 50 tahun ke depan ekosistem bawah laut akan mulai menghilang, penyebabnya lagi-lagi karena tingkat keasaman air laut karena emisi karbon yang dihasilkan peradaban manusia.

Pada posisi ini, saya tidak kemudian menyalahkan penggunaan emisi karbon, toh, sampai hari ini, saya masih punya komitmen untuk menggunakannya, karena di satu sisi, harga energi alternatif terbilang tidak murah untuk diaplikasi hari ini, terlebih untuk ‘dunia ketiga’. Akan tetapi, di satu sisi, saya semakin yakin pada skenario kepunahan massal, pasalnya keberagaman ekologi di tanah tropis semakin ringkih. Mungkin saja pada tahun 2050, skenario apokaliptik akan bekerja karena pemanasan global dan perubahan iklim. Saya cukup belajar dari Kolbert tentang konsep fragmentasi, ketika manusia sudah mulai bergerak dari meramu dan berburu, termasuk domestifikasi flora dan fauna. Pada saat itulah, disadari atau tidak, kita telah memecah belah lingkungan alam, alhasil, populasi makhluk spesies semakin terisolasi sekaligus semakin rentan terhadap kepunahan. Oleh karena itu, fragmentasi lahan yang tidak tersentuh pun disulap menjadi aliran pipa, jalan raya, aliran irigasi dan sebagainya. Keterpisahan lingkungan ini menyebabkan antar spesies kecil tidak dapat lagi bebas bermigrasi.

Gagasan fragmentasi ini menggambarkan bagaimana kemudian siklus ekologis berubah. Pada satu sisi, manusia telah menciptakan Pangea Baru, artinya, percepatan volume peradagangan atau retribusi dan distribusi global ikut memicu kepunahan sejumlah spesies. Setelah melakukan fragmentasi lahan serta mengisolasi ruang gerak spesies dari habitatnya, manusia bebas bergerak karena teknologi transportasinya. Atau kita bisa berbicara tentang bagaimana temuan teknologi berburu manusia semakin menjungkirbalikkan ‘rantai makanan’, sejak perburuan megafauna dimulai pada zaman glasial, hari ini, Badak Sumatra yang bernilai tinggi menjadi korban atas fragmentasi manusia terhadap ruang habitat alamiahnya. Atau, di satu sudut padang yang baik, bagian skenario terburuk, semua tindakan konservasi lingkungan manusia menjadi bagian dari ‘fragmentasi secara tidak langsung’, alhasil, hanya suatu tindakan penundaan atas kesia-siaannya terhadap laju kepunahannya sendiri. Kita sudah berusaha keras untuk mendaftarkan nama-nama makhluk hidup dalam ‘hipotesis spesies’, bukan sebagai entitas yang sungguh-sungguh adanya (sebagian punah), nama yang kita berikan hanya untuk memudahkan pembelajaran kita terhadapnya, termasuk konservasi terhadap mereka. Semoga saja, bukan menjadi kesia-siaan karena usaha fragmentasi yang baik itu.

Penutup

Dari tiga belas bab buku karya Elizabeth Kolbert, The Sixth Extinction: An Unnatural History, saya hanya mengambil hubungan antara tesis Antroposen dengan kepunahan keenam. Sangat mungkin, membaca Antroposen dari sudut pandangan kepunahan. Atau mungkin, tesis ini dapat dibantah dengan mudah, jika kita merunut kembali bagaimana zaman batu sedari awal telah mengambil peran penting ketika adanya usaha untuk merombak rantai makanan. Maka, pertanyaannya, manusia pada linimasa manakah yang patut kita apresiasi karena telah membawa perubahan besar? Bila merujuk pada tesis-tesis Antroposen modern, pilihannya hanya ada tiga: merujuk pada waktu manusia (Homo Sapiens) pertama mengintervensi alam, revolusi industri, atau the great accelaration. Bebas dipilih, toh, semuanya sama-sama berpotensi sebagai golden spike Antroposen. Tetapi, kembali lagi pada persoalan yang ditawarkan oleh Kolbert tentang kepunahan massal itu sendiri. Lagi pula, kita berutang banyak pada kepunahan sebelumnya. Saya akui, manusia merupakan anak dari kepunahan. Pertanyaan saya, apakah manusia juga akan berakhir pada trajektori yang sama, yaitu lahir dan berakhir di titik kepunahan.

Ulasan ini sudah diterbitkan di laman: https://antinomi.org/2020/07/03/antroposen-dan-kepunahan-keenam/

The Platform: Imaji Solidaritas Spontan

sumber: viewsology,com

Seorang pria bernama Goreng (Ivan Massagué) terbangun di ruang no. 48 bersama dengan Trimagasi (Zorion Eguileor). Saat itulah, bangunan vertikal seperti penjara—The Hole menyimpan alegori kesenjangan kelas-sosial lewat bagaimana setiap orang memiliki kesempatan 1 × 24 jam hanya sekadar untuk menikmati makanan (dengan waktu terbatas) yang telah disediakan oleh pengelola. Makanan turun dari lantai 0 menuju lantai paling dasar.

Goreng lalu berjalan untuk melihat sekeliling ruang dan menghitung setidaknya terdapat dua orang tiap ruangan. Ia memiliki alasan kuat mengapa dirinya secara sukarela mendaftarkan diri menjadi bagian dari ‘eksperimen sosial’ ini. Ia hanya ingin menghabiskan waktunya untuk menemukan ketenangan sekaligus kenikmatan saat membaca buku. Pengelola memberikan izin setiap volunter membawa satu barang kesayangannya, dan Goreng memilih Don Quixote karya Miguel de Cervantes.

 Apa yang dia mimpikan berbalik arah. Setiap satu bulan sekali, dua orang akan saling bertukar sekaligus menempati ruangan secara acak. Setiap makanan yang dihidangkan bergerak secara vertikal dari atas ke bawah. Goreng mengetahui alasan mengapa mereka yang berada di ruangan teratas memilih untuk menghabiskan porsi yang lebih banyak tanpa memikirkan kondisi mereka yang di bawah. Alasannya, mereka takut mati. Goreng mengamatinya berhari-hari sembari berpuasa karena merasa jijik sebab hidangan makanan yang sampai pada kamarnya telah berantakan dan rusak.

Trimagasi memberikan penjelasan bahwa aturan di penjara ini adalah menjadi tamak dan rakus untuk sekadar bertahan hidup. Trimagasi juga tidak mengetahui kapan dirinya akan mati kelaparan kemudian hari. Saat itulah, Goreng berusaha menyiasatinya dengan menyembunyikan makanan kecil. Anehnya, penjara itu tidak mengizinkan siapa pun untuk menyembunyikan makanan. Jika itu terjadi maka ruang penjara itu akan menjadi sangat panas atau sangat dingin. Entah bagaimana caranya, tata cara makan menjadi aturan paling otoriter. Pengelola hanya memperhatikan persoalan hidangan. Tidak ada yang lain. Apa pun cara yang dilakukan oleh setiap orang bukan menjadi tanggung jawab pengelola, sekalipun adanya tindak kanibalisme.

Alur cerita The Platform yang menawarkan sisi kelam, menjijikkan, dan sadis masih tetap mengutamakan ‘nilai’ tersembunyi tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak di tengah-tengah kelaparan yang disebabkan oleh segelintir kelompok. Saya melihat, The Platform berusaha menjelaskan fase-fase krisis kepercayaan diri Goreng dalam menyikapi situasi ‘distopia’ yang dihadapinya. Awalnya, Goreng merupakan seorang yang sangat altruis dan optimis bahwa sistem yang ada dapat diubah menjadi lebih baik. Goreng berusaha bernegosiasi dengan setiap orang, meskipun hanya melalui suara—entah terdengar atau tidak dari lantai paling atas sampai terbawah.

Fase berikutnya, ketika Goreng sangat percaya dengan idealisme dibenturkan dengan keadaan yang sangat lapar. Goreng terpaksa memakan sisa-sisa makanan yang menjijikkan itu. Makanan yang tak berbentuk, diinjak-injak, dan akan membuatnya mual apabila masih memikirkan penampilan dan cita rasa makanan itu sendiri. Namun, itu semua berubah saat dirinya menjadi bahan makanan cadangan Trimagasi. Saat itulah, idealismenya runtuh seketika. Dirinya yang pasrah jika akan dicincang secara lembut untuk mengganjal isi perut Trimagasi. Baginya, apa yang dilakukannya adalah persilangan antara berkorban untuk orang lain, mati kelaparan, atau tetap menjadi seorang yang idealis. Pada puncaknya, Goreng sendirilah yang membunuh Trimagasi.

Tidak berhenti, bulan berikutnya, Goreng terbangun di lantai 202 bersama dengan Imoguiri (Antonia San Juan), seorang yang mewawancarai dirinya sesaat sebelum memasuki penjara vertikal. Fase Imoguiri, merupakan titik tolak Goreng menyadari adanya harapan untuk melakukan perubahan. Imoguiri dan Goreng sepakat untuk melakukan persuasi dan pendekatan secara halus agar semua orang mau berbagi makanan dan setiap orang harus mau mengatur porsi makanannya. Cita-cita itulah yang disebut dengan solidaritas spontan. Imoguiri meyakini bahwa lubang penjara ini akan melahirkan solidaritas spontan untuk umat manusia di masa depan.

Fase terakhir, Goreng saat dirinya menempati lantai 5, makanan yang masih layak ada di depan matanya. Bersama dengan Baharat (Emilio Buale Coka), Goreng menginginkan perubahan radikal. Mereka berdua kemudian mengatur seluruh distribusi makanan yang ada. Mereka membaginya sampai lantai terdasar. Meskipun, faktanya mereka melakukan tindakan kekerasan dan membunuh sebagian orang yang tidak patuh pada perintah mereka. Akhir cerita, Goreng menemukan kebenaran atas enigma penjara. Padahal, tidak banyak yang dijelaskan oleh film ini tentang siapa pengelola, apa alasan mendirikan bangunan ini, mengapa ada anak kecil, mengapa lantai dasarnya berjumlah 333, dan banyak pertanyaan yang disisakan.

Secara teoretis, konsep solidaritas spontan ala Goreng dapat menjadi rumit bila mengikuti Hierarki Kebutuhan Maslow. Bagaimana mungkin Goreng dapat memenuhi kebutuhan atas aktualisasi diri (tingkat keenam), jika tingkat dasar fisiologis dan rasa aman Goreng belum cukup terpenuhi? Pilihannya pada film itu ialah: Goreng menahan diri dengan memakan beberapa halaman bukunya, memakan atau dimakan sesamanya, mati bunuh diri, atau memilih mati kelaparan tanpa mengambil risiko apa pun. Goreng sangat mendambakan agar seluruh orang dalam penjara itu dapat berteriak ‘satu untuk semua dan semua untuk satu’. Persoalannya, bagaimana Goreng mampu mendistribusikan solidaritasnya untuk keberagaman pandangan setiap orang? Apakah solidaritas menyamaratakan setiap orang? Atau solidaritas adalah sekadar kepatuhan atas kuasa Goreng dan Baharat dalam mengatur distribusi makanan? Padahal, distribusi solidaritas itu sendiri belum terpenuhi.

Tidak heran, di tengah-tengah wabah global Covid-19, The Platform (Netflix) bisa dinikmati saat kalian semua sedang melakukan penjarakan fisik dan pembatasan sosial. Jika di film itu menggambarkan bagaimana distribusi makanan ‘yang ideal’ seharusnya dilakukan, hari ini, di seluruh dunia, masih memikirkan bagaimana seharusnya distribusi alat perlindungan diri atau dukungan kesehatan publik dapat berjalan dengan baik. Di samping itu, solidaritas spontan mungkin akan muncul saat krisis tiba seperti situasi saat ini. Setiap orang secara spontan (atau takut) berusaha berkomitmen untuk melakukan pencegahan penyebaran virus korona ini secara kolektif. Akan tetapi, entah sampai kapan ‘solidaritas spontan’ ini mampu bertahan, seandainya mereka lantas tidak dihadapkan dengan kelangkaan kebutuhan dasar, seperti halnya distribusi makanan untuk dirinya sendiri di tengah-tengah wabah ini.

The Platform | Main Trailer | Netflix

Artikel ini juga telah terbit di laman: https://antinomi.org/2020/04/01/the-platform-imaji-solidaritas-spontan/