Mengawali Palingan Geologis dalam Studi Antropologi

\

Menjawab tantangan studi Antroposen dalam perspektif Antropologi, umumnya, melalui pendekatan onto-antropologi dengan basis palingan ontologis atau ontological turn. Beberapa antropolog (Viveiros de Castro, Descola, Latour, Strathern, Ingold, Holbraad) melakukan redefinisi antropologi sebagai ontologi komparatif. Artinya, studi antropologi tidak hanya sekedar membelah pembahasan antara yang ‘kultur’ dengan yang ‘natural’, namun sebaliknya, ontologi yang lebih plural seharusnya menawarkan pendekatan antropologis yang tersituasikan dalam kerangka virtualitas kemenjadian-yang lain. Dengan demikian, Antroposen menjadi ‘yang-lain’ untuk menjernihkan situasi baru melalui pendekatan antropologis yang lebih terbuka, misalnya de Castro yang menarik situasi koloniasasi sebagai latar belakang ontologis untuk menjelajah dunia Antroposen yang menyituasikannya.

Pada kesempatan ini, saya merasa bahwa satu artikel karya Patrice Maniglier yang berjudul “How Many Earths? The Geological Turn in Anthropology” sangat menarik untuk kita diskusikan bersama, terutama tawarannya perihal geological turn atau palingan geologis sebagai pendekatan dalam investigasi kasus Antropologi. Tentunya, Maniglier memberikan batasan pada isu Antroposen dan Antropologi. Maniglier mengklarifikasi beberapa argumentasinya tentang palingan geologis yang menempatkan Bumi sebagai aktor baru dalam sejarah.

(1)

Untuk mengkaji lebih lanjut konsep ini, kita perlu memberikan batasan atas palingan geologis melalui kerangka batas waktu-manusia ‘sekarang’ atau ‘present’ dan perlu menekankan bahwa manusia bukanlah satu-satunya aktor yang mengubah lingkungan secara radikal dan signifikan sepanjang waktu dalam linimasa sejarah, justru sebaliknya. Pertama, the coming Earth atau bumi yang akan datang bukanlah objek pasif, yang hanya menerima pengaruh dari manusia. Jika kita sudah berkomitmen meletakan Bumi sebagai ‘aktor’ maka perubahan yang terjadi adalah bentuk dari dinamika sistem bumi itu sendiri. Sistem yang bekerja ini tidak secara sederhana diubah atau dimodifikasi melalui intervensi kita, justru sebaliknya, reaksi atas aksi atau interevensi kita terhadapnya, menjadi bagian dari respons atas kondisi yang tersituasikan terhadapnya tetapi mengada pada bentuk yang tidak pernah terekspektasikan oleh kita, sebagai manusia. Chakrabarty (2009) merujuk pada pengondisian sesama aktor yang membuat dunia seperti apa adanya. Bumi menjadi aktor dalam kondisi pluralitas ketika membuat ‘sejarah’, entah itu sejarah Bumi atau sejarah Dunia untuk manusia.

Kedua, pemahaman kita tentang ekologi adalah bagian dari serangkaian observasi yang berulang-ulang yang telah mendorong sensibilitas baru kita dalam merespons kondisi lingkungan hari ini. Saya dapat memberikan contoh, misalnya ketika menggunakan pestisida untuk membunuh hama, awalnya kita mendapatkan hasil panen yang melimpah, tetapi ketika penggunaan ke sekian kalinya, di situlah dampak yang tidak pernah dikalkulasikan muncul. Entah mempengaruhi kondisi unsur hara tanah atau bahkan mematikan spesies selain hama itu sendiri. Pengendalian hama pun berubah dengan penyesuaian yang ‘memaksa’ kita untuk beralih. Begitu juga ketika kita menarik pada level global seperti perubahan iklim yang dampaknya tak terduga secara lokal.

Kerusakan yang sebelumnya terjadi, tidak mengubah apapun atas kenyataan bahwa Bumi bukanlah satu ekosistem tunggal, atau bahkan transendensi atas ‘ekosistemnya ekosistem’ yang lebih kompleks. Kita menyebut ekosistem hanya karena kita dapat mempertahankan eksistensi kita dalam lingkup waktu, evolusi, dan diskriminasi tertentu. Tentu saja, pemahaman ini akan menuntun kita kepada kontra-distingsi bahwa kita tidak benar-benar hidup dengan semua pengada Bumi (Earth’s beings), justru regularitas global yang mengunci kondisi yang kita sebut sebagai ekologis yang seimbang itu sendiri. Bumi itu sendiri memanifestasikan wujudnya sebagai aktor global tetapi tidak dalam pemahaman terbatas bahwa Bumi adalah tanah, landskap, lingkungan, ekosistem, atau bahkan planet biru.

(2)

Baik, saya rasa dari penjelasan di atas, kerumitan palingan ini mulai memunculkan semacam tantangan ontologis baru tentang sejauh mana kita dapat memahami Bumi sebagai bagian dari palingan geologis. Meminjam istilah Elizabeth Povinelli (2016) tentang geo-ontological variations atau variasi geo-ontologis ini memungkinkan kita untuk membuka penjelasan variasi ontologis tentang yang-ada pada penelitian Antropologi secara lebih beragam, termasuk kemungkinan pengaruh dimensi non-antropologis dalam sejarah perkembangan pemikiran dan penelitian antropologi itu sendiri. Tentunya, palingan ontologis lebih banyak dijadikan acuan bagi para ahli antropologi sebab lebih memberikan variasi kemungkinkanan atas konstruksi kemenjadian-yang-lain sebagai pembeda kultural. Dengan demikian, pendekatan komparatif ini melandasi konsep kebudayan-yang-lain tidak dalam kerangka representasi final tetapi lebih pada variasi ragam yang-ada itu mengada dengan bentuk dan cara yang berbeda-beda.

Pilihannya kemudian, tidak lagi mereduksi yang-lain tetapi mempertimbangkan hibridasi—persilangan. Tetapi, kondisi ini tentunya memiliki konsekuensi yang bisa saja membuat palingan ini bermasalah menurut versi Maniglier. Permasalahanya menurut saya ialah sejauh mana kita harus memperbanyak ‘hibridasi’ untuk memahami kondisi maksimum Bumi sebagai warisan modernitas. Kita mungkin sepakat bahwa hari ini kondisi Bumi tidak lagi layak huni bagi sebagain besar ras atau komunitas tertentu, sebab adanya ancaman apokalipstik atau kiamat yang menghantui, atau istilah populernya ‘tidak lagi berlanjut—unsustainable: le Roi est nu.

Mereka lantas memberikan solusi atas hibridasi ini dengan cara menyamaratakan ontologi-ontologi yang selama ini terbelah atau flat ontologies. Hal ini dikarenakan situasi yang sepenuhnya berbeda juga usaha untuk meninggalkan pandangan modern tentang Bumi. Semisal, kita selalu membagi istilah entitas alamiah (seperti karbon, sungai, awan, laut) di satu sisi dengan kontra aksi-representasi kebudayaan (seperti relasi sosial, kategori filosofis, dsb). Apakah dengan kita mencampur adukan dua pembeda ini maka permasalahan niscaya selesai? Saya rasa pun tidak, menjadikan jejaring tunggal pada Bumi sebagai latar belakang tentunya akan mengembalikan pandangan kita akan Yang-Tunggal tersebut. Padahal, di awal sudah kita sepakati palingan ontologis seharusnya menawarkan dimensi yang lebih pluralistik terhadap kondisi yang sedang berkelindan hari ini, yakni Bumi sebagai aktor.

Atas kekosongan pertanyaan ini, Maniglier mencoba menawarkan fondasi baru atas pluralisme ontologis melalui realisasi globalitas (globality). Globalitas ini menarik untuk menjelaskan pendekatan yang lebih pluralistik untuk memahami kemenjadian peristiwa Bumi, semisal Pemanasan Global akan menjadi global ketika terjadi di India tidak sama sebagaimaan terjadi di Alaska atau di bagian Venezuela. Menariknya, satu peristiwa itu masih menjadi bagian dari satu kesatuan yang terbangun meskipun manifestasi dan mekanisme sangatlah beragam. Hal ini membuktikan bahwa meskipun ada keragaman yang bekerja sebagai reaksi atau dampak terhadap semua yang-ada, prinsip universal ketunggalan tentang bumi yang satu atau Pemanasan Global yang satu itu sendiri lebih banyak diterima.

Padahal, prinsip tentang hipotesis Gaia yang lebih meyakinkan Bumi sebagai sebuah organisme yang hidup dapat menjadi pandangan yang cukup menyesatkan. Alasan sederhananya jika Bumi itu sendiri mengonsitusikan variasi dan mekanisme regulatif, maka ketidakakuratan homeostatis yang bergerak secara umum, pasif, dan terprediksi secara pasti dapat menjamin pandangan kita akan masa depan yang lebih stabil. Namun, justru sebaliknya, bumi bekerja pada sistem yang lebih dinamis. Ketunggalan bumi tidak dapat direduksi hanya pada sejauh mana kita melakukan modelisasi menggunakan kemampuan sains dan teknologi yang berkemajuan.

(3)

Kisah menarik terjadi pada pengalaman berburu Gwinch’in. Persepsi antropologis kelompok berburu Gwinch’in di Alaska yang menyalahkan pencemaran orang Cina sebab perut hewan yang diburunya mengalami pembusukan, padahal pembusukan ini disebabkan oleh lumut yang dimakan oleh rusa tersebut telah terkontaminasi oleh hujan asam menurut perspektif ilmiah. Artinya, persepsi ke-Bumi-an orang Gwinch’in dengan sensitivitas ekologisnya dan pandangan rasial akan citra polusi kiriman dari negeri Cina itu tidak selamanya memiliki hubungan relasional. Apa yang terkonstruksikan melalui pikiran mereka, dan yang mereka negosiasikan dengan realitas yang sedang terjadi, tidak membuat relata-relata yang dipahami oleh ilmuwan iklim bekerja sebagaimana semestinya sama persis.

Dampak, persepsi, relasi, konstruksi, dan putusan pengalaman yang bergerak ini seolah rasional jika termediasi pada konektivitas yang mereka sendiri tidak pernah lihat atau sadari tetapi dapat terinformasikan karena pengaruh warisan pemahaman masa lalu. Bumi dapat menjadi akses baru pemahaman sisa-sisa kolonialisasi pengetahuan lokal dan ketegangan antara komunitas pribumi dan segala bentuk intervensi politik lintas wilayah. Realitas global ini kemudian memiliki implikasi pada kuasa global juga, yang artinya semakin jauh dan luas dari segala diversitas aktor-aktor yang bekerja. Apapun putusan kita terhadap Bumi, selalu terdapat seluruh aspek atas relasi timbal-balik yang berusaha untuk dipertahankan. Dan, hari ini politik mengalami peralihan dari biopolitik menuju geopolitik dalam wujud geo-onto-politics atau geo-power. Seperti halnya kisah pemburu Gwinch’in yang merepresentasikan ketersituasikannya, tetapi mereka tetap berhubungan dengan rusa besar, industri Cina, ilmuwan, hujan asam, dan lumut yang akan selalu menjadikan ‘mereka sebagaimana mereka’. Dari sinilah, upaya peralihan antropologi untuk mencoba mempertimbangkan geos dalam kerja antropologisnya mulai terlihat. Tidak hanya sekedar pertanyaan, apa arti menjadi manusia tetapi apakah semua masalah kita sebagai manusia sama di atas Bumi?

Masalahnya menjadi bukan mencari masalah universalitas tetapi masalah globalitas. Tidak lagi mempertanyakan tentang identitas yang transendental tetapi tentang subjektivitas keplanetan, perbedaan (differences) sebagai cara yang berbeda untuk mengada. Perbedaan ini selalu terbagi secara berbeda dan tidak pernah setara, dan pertimbangan ini menjadikan antropologi dapat meranang ruang diskursus atas pelampauan antropos ‘Kita’ yang tunggal. Salah satunya dengan mempertimbangkan bahwa Bumi terstruktur layaknya bahasa. Kita bisa menggunakan bahasa ilmiah  untuk berbicara sistem Bumi sebagai ‘keseluruhan dunia’ sama seperti Davi Kopenawa dari suku Amazon berbicara tentang Hutan sebagai ‘keseluruhan dunia’.  

(4)

Memang, kita sepakat Antropologi selalu menjadi yang terbaik ketika mendefinisikan ‘Kita—manusia’ yang non-hegemonik. Penampakan Bumi di dalam panggung sejarah ‘Kita, semua’ telah menyediakan landasan baru bagi antropologi untuk tidak lagi terjebak dalam perbedaan operasional, seperti alam dan budaya, bahasa dan realitas, manusia dan non-manusia, dan seterusnya. Konsekuensinya, dengan mempertimbangkan keragaman palingan ontologis menuju palingan geologis maka pertanyaannya adalah tentang Apakah Antropologi sebenarnya tidak hanya berbicara tentang ‘manusia’, tetapi juga menjadi posisi terbaik untuk berbicara tentang ‘Bumi’? Adalah benar kemudian ketika para aktivis berteriak bahwa kita tidak lagi memiliki opsi lain, tidak ada planet B! Tetapi perlu diperjelas ulang, toh, pandangan itu tidak menjadikan kesatuan Bumi sebagai sesuatu yang univokal. Bumi itu satu, tetapi tentunya tidak sama.

Bacaan lanjutan:

Davi Kopenawa and Bruce Albert, The Falling Sky, (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013)

Dipesh Chakrabarty, “The Climate of History: Four Theses”, Critical Inquiry 35, no. 2 (2009).

 Elizabeth Povinelli, Geontologies: A Requiem to Late Liberalism, (Durham: Duke University Press, 2016).

 Patrice Maniglier, “Anthropological Meditations: The Discourse on Comparative Method”, in Pierre Charbonnier, Gildas Salmon, Peter Skafish eds., Anthropology after Metaphysics, (Landham (Md.): Rowman and Littlefield, 2016).

Kehidupan Geologis: Percakapan Fosil Prasejarah dan Ragam Masa Depan Antroposen

Esai ini terinspirasi dari artikel Kathryn Yusoff, berjudul Geologic life: prehistory, climate, futures in the Anthropocene. Environment and Planning D: Society and Space (2013), Vol. 31, pp. 779-795.

Setelah cukup lama hiatus, saya putuskan untuk menulis kembali di sini. Saya akan memulai dengan merangkum salah satu jurnal Antroposen yang cukup menarik. Datang dari Kathryn Yusoff, tulisan ini merupakan pra-gagasan sebelum akhirnya memutuskan menerbitkan karya fundamentalnya tentang studi kritik poskolonial Antroposen, berjudul “A Billion Black Anthropocenes Or None” (2018).

(1)

            Saya senang dengan gaya Yusoff menarasikan kehidupan geologis (geological life). Mendiagnosis Antroposen ternyata tidak hanya sekedar membicarakan kemampuan manusia sebagai agen-geologi semata. Yusoff memberikan istilah geomorphic force yang di dalamnya juga memuat inhuman forces. Inhuman di sini seperti halnya istilah non-manusia atau abiotik, tetapi cakupannya lebih dari itu, lalu saya terjemahkan sebagai nirmanusia.  

            Geologi tentunya tidak hanya sebatas mencari jejak-jejak masa lalu berdasarkan fosil-geologis, tetapi juga ada dimensi sosial geologi yang saling terpaut. Daya keplanetan inhuman misalnya yang berasal dari bahan bakar fosil. Asal usul fosil purba ini tidak terlepas dari sejak periode Karbon atau Carboniferous. Hanya dengan satu lompatan periode waktu geologis saja, jejak purba ini mampu memproduksi daya dukung energi peradaban sampai saat ini, era bahan bakar fosil.

            Yusoff melihat bahwa isu Antroposen menjadi semakin menarik ketika subjektivitas(i) geologi bukan saja tentang geofisik, genom, serta narasi sosial yang terbelah-belah, melainkan ketiganya saling mengomposisikan dan mendiferensiasi formasi kolektif biopolitik serta (geo)korporeal. Sedangkan Antroposen dapat menjadi kunci untuk memahami bagaimana ketiga hal (waktu, materi, dan agensi) tersebut saling berkelindan dalam satu kesetangkupan tingkah-laku geomorfis dan gerakan kolektif. Artinya, kehidupan manusia tidak hanya bergantung pada level biologis saja tetapi juga perlu mempertimbangkan negosiasi kehidupan geologisnya, di mana kekuatan nirmanusia juga memiliki kontribusi bagi materi-kehidupan-tubuh manusia, sebut saja ketergantungan terhadap energi fosil.

(2)

            Untuk memahami kehidupan geologis, kita perlu sejenak mempertimbangkan kontribusi nirmanusia yang sebenarnya sangat signifikan terhadap kebangkitan peradaban manusia, terutama di saat geopolitik kapitalisme-lanjut sangat bergantung dengan materi-energi dari (bahan bakar) fosil tersebut. Tentunya, sangat sulit jika kita mau merancang pengakuan atas being as geological, sebab selama ini, pengakuan being as (always) biological, tubuh-yang-menumbuh, tubuh-yang-berpikir dapat dikatakan lebih dominan pun lebih mudah dipahami. Akan tetapi, saya rasa gagasan Yusoff sebagai pemikir sosial geologi perlu kita cermati kembali ketika memahami bagaimana subjektivitas kontemporer dan ruang kerangka Antroposen bekerja.

            Pemikiran tentang nirmanusia menjadi sesuatu hal yang mustahil jika kita sendiri tidak pernah berani mempertimbangkan, bagaimana sejatinya kehidupan politik, sosial, dan biologis kita termanifestasikan sekaligus terkomposisikan atas dasar landasan kehidupan geologis. Berbicara tentang ‘fosil’, kedirian kita sebagai manusia selalu mengisolasi dimensi-dimensi ‘kemanusiaan’, ‘sosial’, dan ‘alam’, serta ‘yang-geologis’. Demarkasi ini semakin diperkuat ketika daya manipulasi biopolitik masyarakat kapitalisme lanjut bekerja dengan mengaburkan dimensi kepentingan yang (hanya) berorientasi pada kapitalisasi diri tanpa mempertimbangkan potensi subjektivikasi yang bekerja. Padahal, Antroposen yang mempertimbangkan kehidupan geologis, tentunya membuka pemahaman baru bahwa kehidupan tidak hanya sebatas biologis—yang terpolitisasi (biopolitik), tetapi juga sejauh mana kehidupan geologis—yang dipolitisasi (geopolitik) bekerja dan melahirkan konsekuensi bagi kemanusiaan itu sendiri.

            Kita tahu bahwa cara kerja palingan biologis hanya berbicara perihal integritas kebertubuhan, tubuh-daging, molekul, dan prinsip keamanan tubuh-biologis semata, sedangkan palingan geologis mampu berbicara pada aspek yang lebih luas (tidak hanya terbatas pada tubuh—internal), yang mencakup bentuk baru dampak geomorfis, perubahan keplanetan yang disebabkan oleh masyarakat, dan bahkan mobilisasi massa atas bahan bakar fosil. Terlepas dari bagaimana kapitalisasi alam bekerja berdasar logika ekstraksi bahan bakar fosil, kehidupan geologis tentunya tetap memanifestasikan bagaimana teritorialisasi bekerja serta hubungannya dengan (in)korporeal—yang material sekaligus immaterial.

            Apabila kita mencoba menempatkan Antroposen sebagai ruang provokasi maka terdapat beberapa konsekuensi yang menarik. Pertama, kita akan sangat BERHUTANG dengan fosil-purba. Apapun bentuk kenikmatan kultural hidup manusia hari ini, selalu bergantung pada bahan bakar. Logika tentang pemenuhan hajat orang hidup secara kolektif berbasis energi tidak dapat ditunda. Semua orang pada akhirnya membutuhkan energi untuk bertahan hidup yang bersumber pada fosil. Proses fosilisasi tidak bekerja seumur hidup selama satu generasi manusia. Butuh waktu ratusan atau juta tahun. Waktu geologis akan mengingatkan kita tentang ketegangan antara korporealitas manusia (materialitas yang terejahwantahkan pada batas waktu tertentu) dan temporalitas nirmanusia yang betautan pada ambang batas, antara menuju evolusi baru atau akhir kepunahan pasca-Holosen.

            Kedua, sebagai agen geologis, manusia sanggup memenuhi kriteria daya kausal untuk mengkapitalisasi mineral dan mengekstraksi energi yang berasal dari sistem bumi. Hal inilah yang memungkinkan strategi pembacaan alternatif Antroposen dapat dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu material, simbolik, dan virtual. Ketiganya dimaksudkan untuk memastikan bahwa ketidakmungkinan mengklaim agensi universal geologis yang berdampak pasca-Holosen. Klaim ini sulit untuk di atasi sebab ketidakcukupan bukti dan lemahnya momen temporalitas fosil yang dapat diselidiki dari masa lalu ke masa depan. Dengan demikian, Yusoff memutuskan untuk membaca Antroposen sebagai momen temporalitas ‘kita’ dalam strata-(waktu)geologis.

(3)

            Menariknya, Yusoff mengajak kita untuk melakukan percakapan imajiner dengan dua fosil yang berbeda, yang melintas waktu kehidupan geologis. Kedua fosil ini merupakan fosil dari manusia, pertama berasal dari masa prasejarah dan yang kedua menjadi fosil masa depan Antroposen. Tentunya, pertemuan lintas waktu ini akan menyisakan ruang diskursus yang lebih terbuka dan spekulatif terkait status agensi geologis, waktu, dan kemenjadian nirmanusia.

#Fosil No. 1: Antroposen, fosil antropos yang akan datang.

            Skenario pertama, sebermula fosil Antroposen yang akan selalu menghantui manusia. Tentu saja, kita tidak pernah membayangkan seperti apa bentuknya, tetapi para ahli geologi percaya bahwa ada satu unifikasi jejak fosil Antroposen pada lapisan sedimentasi tertentu. Kerangka unit kesatuan geologis ini membutuhkan kejadian yang serentak, sedangkan manusia memiliki dimensi ‘kolektivitas’ yang sangat kuat. Bentuk (geo)morfogenesis ini melampaui batas-batas narasi atas totalitas kehidupan yang netral dari lintas generasi. Justru sebaliknya, manusia menjadi aktor atas skenario yang selalu dinamis dan berkolaborasi dengan bumi dalam membentuk subjektivikasi manusia.

            Geoformasi subjektivitas Antroposen tentunya selalu mengandaikan manusia sebagai satu-satunya bukti konkret atas trajektori geologis yang bekerja. Akan tetapi, jejak stratigrafis yang dihasilkan oleh gerak limbah antropogenik yang diproduksi oleh sistem masyarakat dunia dan kapitalisme lanjut sejak 1950an sampai hari ini telah menjungkirbalikkan persepsi asal usul fosil secara natural. Yusoff meminjam gagasan dari Elizabeth Povinelli tentang geo-ontologi untuk menjelaskan bagaimana proses re-naturalisasi dan re-animisme bekerja berkelindan secara serentak akibat dari fabrikasi lapisan dunia sosial. Fosil Antroposen tidak hanya komponen kehidupan biologis manusia yang mengendap ratusan bahkan jutaan tahun melainkan juga menarik rajutan ekspresi materialitas manusia, yang berasal dari kreativitas, reproduksi, dan artefak teknologis.

#Fosil No. 2: Teori Asal Muasal Manusia

            Menarasikan rekam jejak fragmentasi fosil terkait asal muasal manusia mengada sejauh ini baru sebatas bergantung pada satu temuan fosil purba prasejarah, yang kita sebut sebagai Homo sapiens. Teori evolusi manusia sejauh ini masih merujuk pada fenomena asal usul leluhur miliaran manusia hari ini. Teori out of Africa misalnya saja menyebutkan bahwa Homo Sapiens muncul pertama kali di benua Afrika sekitar 200.000 tahun yang lalu dan menyebar ke seluruh belahan dunia. Berdasarkan teori ini, seolah-olah hanya ada ‘satu spesies dan satu dunia’. Meskipun demikian, teori ini masih sering diperdebatkan terutama tentang narasi kita sebagai penyintas spesies terakhir. Rekonseptualisasi kondisi kemanusiaan saat ini menjadikannya sebagai kelompok interspesies yang dibedakan secara temporal, seksual, dan geografis ketika melakukan migrasi dan membentuk teritorialisasi. Fosil prasejarah sekurang-kurangnya telah menjelaskan bahwa kondisi kehidupan prasejarah dikonstitusikan secara geografis, geologis, dan genomik. Sebagai penyintas, ‘manusia’ yang kita rujuk saat ini dengan segala konstruksi natural dan sosialnya, akan selalu diingatkan tentang bagaimana kepunahan prasejarah terjadi.

(4)

            Fosil manusia menjadi salah satu bagian proses sedimentiasi yang belum selesai. Fosil ini mengingatkan kita atas dua percakapan sebelumnya, satu pertautan longue durée kehidupan geologis kita dan asal muasal mineral nirmanusia, serta masa depan yang termaterialisasi. Rumusan untuk mempertegas ‘manusia’ sebagai bagian fundamental terhadap formalisasi Antroposen antara lain dimungkinkan jika:

  • Adanya bentuk kehidupan, suatu acuan ‘universal’ tentang manusia sebagai penanda yang dominan atas diferensiasi kemungkinan bentuk kehidupan geologis baru.
  • Adanya bentuk tanggung jawab dan warisan, secara genealogis manusia mampu membentuk warisan di masa depan dan ‘tanggung jawab’ ini dalam artian menempatkan segala bentuk ‘warisan’ yang ditinggalkan selalu menopang pada materialisasi yang bekerja meski telah ‘tiada’ bahkan berubah dalam bentuk fosil.
  • Adanya bentuk teritorialisasi dan transformasi geomorfis Bumi.

Fosil akan berbicara dan membuka pertanyaan secara terus menerus tentang genealogi manusia, warisan, lintasan masa lalu, dan kelangsungan hidup di masa depan. Mereka dapat membuka cara pandang kita terhadap korporealitas geologis, yang melampaui materi ‘hidup’ dan mati, juga membawa kita melintasi temporalitas masa lampau dan masa depan. Mempertimbangkan fosil sebagai ‘vitalisme pasif’, berarti tidak lagi menganggap remeh bagaimana determinasi dan kontribusi transversal menarik pembahasan geo ke ranah politik dan kekuasaan. Yusoff mempertimbangkan bahwa ketergantungan kita terhadap persediaan energi geo yang terbatas tidak mungkin memberikan kekuasaan atas politisasi material geologis secara serampangan.

“Being is always tide into being toward the geologic, conceptually, ontologically, and materiality”

(Yusoff, 2013: 792)

      Mencerna buah pikir Yusoff tentang fosil menjadikan peralihan pandangan moral etika lingkungan kita terhadap bumi berbeda sepenuhnya. Bukan lagi perkara sejauh mana kita bertanggungjawab terhadap Bumi, tetapi sejauh mana tanggung jawab kita untuk membangun kolaborasi dengan kehidupan geologis. Artinya, bentuk baru subjektivitas dan geo-ontologi Bumi akan menyoal tentang wujud penciptaan energi terbarukan. Tentunya, fosil bukan sekedar sebongkah tulang belulang yang membatu, tetapi lebih dari itu, mereka memiliki fungsi simbolik dan imajinatif, menangkap sebermula dan akhir dari serangkaian cerita.

Sebelum menempatkan manusia dalam trajektori Antroposen, alangkah baiknya jika kita menunda usaha ambisius saat membangun identitas dan konsep yang ‘stabil’ tentang narasi universal manusia. Mengapa? Sebab ada pertanyaan lanjutan terkait bagaimana kita memikirkan dan mewariskan dunia dalam kerangka korporealnya serta bentuk dari teritorialisasi bumi secara ontologis.

Masyarakat Antroposen

Artikel Opini Kompas

Jika diperhatikan secara saksama, hampir seluruh tema besar perayaan Hari Bumi, setiap 22 April, selalu mendorong gerakan masyarakat dunia agar senantiasa menjaga ibu Bumi. Hal ini menandai masyarakat kita sedang menjalin satu bentuk kesadaran relasional dengan Bumi, meskipun tampaknya tidak terlepas dari kecemasan ekologis perihal distribusi sumber daya alam yang terbatas di masa depan.

Paul J Crutzen (1933-2021), peraih Nobel Kimia 1995, pernah mendeklarasikan bahwa manusia tidak lagi berkelindan dengan kala Holosen, tetapi telah membentuk trajektori skala waktu geologis baru yang dikenal dengan istilah antroposen. Warisan pemikiran Crutzen kemudian dipopulerkan tidak hanya oleh para ahli geologi, tetapi juga oleh ragam perspektif lintas disiplin keilmuan—dengan mengasumsikan manusia sebagai agen geologis utama (geological force).

Segala tindakan manusia saat ini akan senantiasa berpengaruh terhadap pembentukan struktur geologi antroposen, meskipun antroposen sendiri belum diakui secara formal bahkan belum mendapatkan ratifikasi resmi hingga saat ini. Alasannya sederhana: sulit menemukan bukti ilmiah kapan dan di mana penanda titik transisi-sinkronik global antroposen terjadi, selain peran sentral pengaruh manusia terhadap Bumi.

Terlepas dari polemik ilmiah yang terjadi, disadari atau tidak, pembeda kepunahan massal era sebelumnya selalu dipicu oleh adanya aktivitas alami. Akan tetapi, saat ini manusia secara signifikan mampu menjadi penyebab utamanya.

Beberapa tesis utama antroposen selalu dikaitkan dengan pencapaian besar peradaban manusia, revolusi industri, serta globalisasi yang memicu serangkaian malapetaka yang tidak terduga. Terlebih lagi, setelah peristiwa The Great Acceleration sekitar 1950 terjadi peningkatan aktivitas massal antropogenik, seperti semakin terbukanya transaksi ekonomi transnasional, meningkatnya jumlah demografis masyarakat pasca-Perang Dunia II, degradasi lahan, serta intensi penggunaan bahan bakar fosil yang berdampak langsung atas peningkatan jumlah karbon dioksida, metana, serta gas lainnya di atmosfer.

Imaji transisi holosen ke antroposen menggambarkan perubahan fase ”stabil pasca-interglasial” ke arah dinamika keplanetan yang penuh dengan ketidakpastian (terra incognita), termasuk meningkatnya pontensi ancaman bencana iklim, pandemi, kepunahan massal. Untuk mengantisipasi risiko global tersebut, tidak heran, jika hampir sebagian besar kepala negara, aktivis lingkungan, akademisi pada tahun lalu menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi COP26 di Glasgow, Skotlandia.

Menariknya, situasi krisis antroposen sempat mendapatkan perhatian publik di salah satu agenda COP26 ”Anthropocene: The Human Epoch”. Sesi ini mendorong arah proyek antroposen dengan pendekatan multidisipliner yang dapat melibatkan potensi seni, realitas vitual, dan riset ilmiah untuk menginvestigasi ulang dampak dinamika perekayasaan Bumi.

Tentu saja, mengurai permasalahan krisis ekologi ini menjadi cukup rumit dan kompleks sebab selalu bertalian dengan kepentingan umum lainnya, seperti ekonomi, politik, budaya, juga hubungan internasional. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa usaha kesepakatan COP26 November 2021 tersebut perlu ditindaklanjuti dalam bentuk regulasi kebijakan yang lebih konkret, tertata sekaligus melibatkan andil publik, jurnalis lingkungan, serta kerja komunitas ilmiah tanpa adanya tekanan dari kepentingan pihak tertentu.

Dalam konteks sosial, keberagaman masyarakat Indonesia tidak berarti mengurangi persepsi kolektif kita terhadap situasi perubahan iklim yang sedang terjadi. Baik masyarakat perkotaan maupun mereka yang hidup di wilayah pedalaman tidak menutup kemungkinan merasakan ketidakmenentuan pancaroba (peralihan musim) setiap tahun. Kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim juga menghantui kawasan kampung-kampung pesisir di Jakarta Utara.

Titik balik

Sejarah masyarakat antroposen menjadi titik balik narasi tentang posisi sentral manusia yang memiliki andil terhadap perubahan situasi keplanetan terkini yang tidak dapat terlepas dari segala aktivitas antropogenik masa lalu. Dampak penggunaan bahan bakar fosil, misalnya, selama Revolusi Industri I, Perang Dunia II, juga percepatan globalisasi akan selalu menyejarah sebagai jejak-jejak limbah atau fosil-antropogenik pada struktur permukaan Bumi. Sedimentasi antropogenik inilah yang sangat berpotensi untuk menentukan titik skala waktu geologi antroposen di masa depan.

Secara reflektif, masyarakat antroposen memberdayakan cara pandang tentang situasi terkini dengan selalu merujuk kepada relasi keretakan ekologis antara dunia kehidupan (life-world; persepsi sosio-kultural) dengan bumi (earth; sebagai latar habitat hunian spesies) yang semakin lebar. Untuk melampaui persoalan ini, kita perlu menghindari prinsip-prinsip romantisisme ekologis, yang selalu mengagungkan imajinasi bahwa manusia pernah memiliki keseimbangan dengan alam di masa lampau. Maka dari itu, antroposen dapat diterima sebagai tantangan sekaligus harapan.

Sebagai tantangan, ia selalu berhadapan dengan kecemasan eksistensial alamiah manusia ketika berurusan dengan cara bertahan hidup di tengah-tengah keterbatasan sumber daya alam yang tersedia. Sementara harapannya ialah memberikan peluang tentang adanya kesadaran ekologis kolektif untuk saling bertindak mencegah malapetaka selanjutnya.

Pada titik ini, kita tidak mungkin lagi memaksa menuntut kesalahan peradaban masa lalu dengan mengembalikan keadaan yang sepenuhnya seimbang, tetapi tanpa melihat perubahan dan konteks situasi keplanetan saat ini. Di hadapan krisis ekologis, seluruh limbah antropogenik saling bergerak, terus-menerus menubuh dengan skala waktu geologi antroposen tanpa memedulikan segala status historis kelas sosial tertentu. Limbah antropogenik ialah segala bentuk material atau obyek yang diturunkan dari aktivitas kolektif manusia yang berbeda sepenuhnya dengan material alamiah, seperti sampah rumah tangga, polusi, limbah artifisial, dan sebagainya.

Ketika meninjau tempat pengolahan sampah akhir terpadu, misalnya, ada penanda fosil antropogenik berupa limbah material plastik yang terus-menerus menggunung meskipun sudah diolah dengan baik. Fenomena antroposen juga menjelaskan tentang dampak pencemaran mikro(nano)plastik, partikel plastik berukuran sekitar kurang dari 5 mm sampai kurang dari 0,1 μm, yang tidak sekadar merusak siklus karbon, tetapi juga memengaruhi biota lingkungan perairan laut. Di sisi lain, akumulasi limbah medis yang sulit terurai selama pandemi Covid-19 memberikan gambaran bahwa wabah dapat memaksa kesadaran akan urgensi kesehatan publik, tetapi tidak cukup kuat untuk mendorong terjadinya kesadaran ekologis lanjutan.

Kolektivitas limbah antropogenik yang bertemu secara massal ini telah menghilangkan batas-batas kelas sosial atau kepentingan idealisme politik tertentu. Malapetaka iklim atau keretakan ekologis di masa depan tidak lagi mengenal suku, ras, kepercayaan, ataupun kelas sosial tertentu; setiap individu berpeluang memiliki risiko ketidakpastian yang sama.

Salah satu pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan membangun manajemen pembelajaran dengan mekanisme partisipatif antargenerasi. Ini akan mendorong terjadinya pertukaran gagasan kreatif terkait keresahan lintas generasi agar saling memperbaiki situasi yang sedang terjadi, selaras dengan laporan IPCC 2022 tentang komitmen adaptasi menekan laju perubahan iklim.

Adanya bias pengetahuan antara keputusan orang dewasa dan pemuda juga perlu untuk diantisipasi sehingga tidak memperlebar penjarakan konsensus kebijakan di kemudian hari. Artinya, keadilan ekologis inter-generasi menjadi peluang agar setiap generasi dapat memastikan hak hidup di masa depan yang lebih baik dengan mengedepankan konsekuensi etis bagi kesejahteraan ekologis sekaligus antisipasi atas segala kerentanan keplanetan antroposen yang penuh risiko.

Artikel ini pernah terbit di Kompas, 4 Mei 2022: https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/05/02/masyarakat-antroposen

Reading ‘A World of Many Worlds’ Part 1

Book: A World of Many Worlds (2018)

Author(s): Marisol De La Cadena & Mario Blaser (Eds)

Pluriverse: Proposals for A World of Many Worlds

In this introduction, Blaser and Cadena (2018: 1-24) offer proposals for the possibility of many worlds by reflecting the explosion of political protest in the world of Anthropocene. The regime of extractivism and necropolitical alliance between the state and corporations to supply massive national or global resource demands. We face that these regimes also have destructed other-than-human worlds and natural environments. Understanding a political issue is often impossible and even disempowering the other-than-humans person (when we think about animals or mountains as living entities—a cultural belief).

Before we experience the sense of crisis, the world of powerful, which are the vision of common goods and civilization development is dominant in our one-world world; a world assimilates all other possible worlds, by presenting itself as exclusive and beyond. Thus, extractivism continues the practice of terra nullius in the dangerous world by expanding one-world, rendering empty the places and making absent the worlds. Various grassroots protests against its extractivism, joint progress with different ways but interest in common which are not the same interests or called uncommons.

Inspired by the Zapatista declaration, this proposal is not only an abstraction but being ethnographic, so that pluriverse is multiple possibilities worldings coming together as an ontological politics of practices in heterogeneity. Casa states that pluriverse as a matter of care because it is opening toward possibilities of many worlds. This political ontology wants to criticize the onto-epistemic limits of the modern world and also provides the specific worlding movement constantly through negotiations, enmeshments, crossings, and interruptions. It means political ontology as a way to empower an imaginary of politics the pluriverse, as a field/study, and intervention in their worlding actions.

Another main issue of many worlds approach is the proposition of knowledge status to understand the domain of divergence. Divergence does not refer to difference between entities, but it constitutes the entities (or practices) as the emergence both in their specificity and with other entities or practices. Also, divergence opens incommensurability dialogues, the conditions for a decolonial practice where both cosmopolitics (politics among heterogenous worlds) and political ontology is met to the possibility of divergence among collectives composed of humans and non-humans. Other-than-humans (instead of non-human) emphasize that they are also actors but did not share the epistemic or ontological status of laboratory things or social kinds. Stengers provokes this notion by reclaiming animism, other-than-humans participated in political negotiations and reclaiming the cultural tolerance and onto-indigenous politics. 

The phenomena of the Anthropocene are an opportunity for pluriversal worldings because this epoch disrupt the great divides, nature/culture, that made the one-world. On the other side, the Anthropocene can be considered as the collective moment when we are moving through the great divides coming together into a public space and at same time understand the lack of modern epistemic regime. The worlding practice make different assumption that nature is multiple, noncoherent and ongoing and against modern worldview that culture is merely multiple but nature as only singular, coherent and stable. In other words, to respond the problem of human self-destruction or self-preservation during the Anthropocene times, people need to rethink whole assemblages of human and non-humans (or we called more-than-humans).  

To conclude this proposal, they introduce human beings as Terrans, it means that in the sense of the end of the world as we know human being is not merely a molar body. The Anthropocene as a big problem also doesn’t need the big-scale solution, but opening a speculative approach in possibility worlds and never-ending as a final conclusion. There are some essential points for answer proposals, for instance; first, to destabilize a hegemonic modern state of affairs; second, to rethink what a political circumstance might be and how it might become; and, the last invitation is to propose uncommons as counterpoint to the common good and to slow down a developmentalism-progressive version to strengthen the possibility of pluriversal worldings in the heterogenous divergence. Following the introduction and proposal by Blaser and Cadena, I personally agree with these proposals invitation so that we have a perfect time along with the Anthropocene, to remember once a world of many worlds that its actually has been situated us previously.

Reviewing Article #4

Cosmopraxis: Relational methods for a pluriverse IR

Author: Amaya Querejazu (2021)

DOI: 10.1017/S0260210521000450 

After I reviewed previous Querejazu’s paper (2016) talked about the lack of ontological pluralism in International Relations (IR) Studies, recently she has explained a new concept of Cosmopraxis as relational methods for a pluriversal in global IR. In this paper, she brings a critical discussion about plurality (plural world and realities) as a coexistence relation to overcoming ‘Western/modern’ relations, which become fixed, translating the relationality into ‘things’. Meanwhile, this article defends that cosmopraxis is a complexity of pluriversal, the set of multidimensional experiences, and never being fixed in their meaning.

Reading pluriverse in IR is never easy; it is similar like explaining what coexistence in terms of existence is rather than political claims. The main problem of the global IR project is a dominant assumption that we inhabit a single one-world or universe and decline the other possibilities of realities or worlds. The results of ontological colonialization are a logic of binary separation and opposition according to the categories of reality, based on what Bruno Latour called the great divides. This binary logic is the dominant approach in IR, so that it restricts other possible ways to recognizing plural existence and limits political imagination, for instance, on how to solve planetary issues. In this position, she approaches relational ontologies as a primary ontological unit, not as merely ‘things’, but whole phenomena, having dynamic topological reconfiguration, entanglements, relationalities, re-articulations of the worlds. Therefore, it assumes that entities are always interconnected to others, not exist independently, but by entanglements with others.

Here, she refers to the cosmos as complexity of plurality in terms of interconnection, the realm of dimension (human, natural, other-than-human world, spiritual, physical) in which environmental or societies organize their lives to basic beliefs about the reality come to be (becoming). She highlights that cosmos can unfold the political pluriverse in worlding multiple relational communities around the world, thus by fostering the IR as an ontological plural, it will confront the dominant mainstream. However, cosmopraxis, in the beginning, only explaining how the ways of action things in a relational practice and also affect and transform realities at the same time in relationality ways, and not placed concerning methodology. On the other hand, cosmopraxis is about wordling, performing, and relating the live-world in everyday practices that connect us to the cosmos. In my mind, this concept is tricky if we do not have a position as a reader who wants to postpone our basic assumption regarding the binary of the world. In the next sections, she confidently explores the notion of cosmopraxis as the way of worlding and how this concept is enacted to our daily experience and thinking about pluriversal world.

Such considering different cosmologies as part of the political imagination is a very insightful way to talk further about involving other-than-human beings as political actors, in relational ways, but not being get lost and trapped as Pan– (this view doesn’t focus on the dynamics of cosmos, but merely translated them into primary analysis unit, keeping atomistic thinking) or just being (-ism or -ity), as an expression of verb or adjectives with relatively fixed meaning, privileging the presence of being (relationality) over the process of becoming (relations relating. Inspired by Shilliam and Shimizu, the relationality is profoundly global anti-colonial connectivity. Still, at the same time, relationality is a strong decolonial tool, and this is also used for an imperialist purpose. These complex processes of interconnectedness, the tendency of relations are neutral. Another challenge is using non-relational method, to avoid the ‘slippery slope’, such as Ling’s dialectics, based on the confrontation of opposite, to produce a synthesis, a hybrid, but it is also fixed. It means dialectics might not be the ideal approach, if it just reproduces the fixed world. Therefore, she uses the term cosmopraxis to overcome these challenges about the one-world dimension produced even by the relational approaches itself when understanding the relation. Consequently, Kurki (2018) recognize that the tendency thinking of things is no longer a plausible starting point because “[b]eing, or becoming, situated in relations is difficult, as we do not quite know where we are, how we are made, and how to “relate to relations”; and yet in these relations it becomes difficult to ignore the many relations we rely on to process in the world”.

Becoming and transformation are the fundamental of relational features of life, and how the reality is constructed, as worldings. Worldings depend on our cosmological assumption, we can understand the world as the universe or the pluriverse, we live our world-life according to how we experience reality and that determines also how our action in daily life produces very specific realities. Accordingly, the feature of multidimensional practice in the middle of our societies is by using rituals, for instance, to communicate with other beings, we also develop the skill or the artifacts to do reflect the worlding, but at the same moment, we get lost and leave the other-than-human being as just a part of the great divide, between society and nature. There has been illustrated how thought the practice of colonization of the single one-world has been enacted, and that is why the pluriverse tends to unfold a decolonialization of the fixed world. While atomistic worldings suppress other worlds, cosmopraxis is a way of worlding, refers to the experience of transforming the multiple worlds as practiced by our people, including other-than-human, and involve relational practices of co-participation in the cosmos.

As a way of worlding, the cosmopraxis is the results of the interconnectedness of specific situated world practices, and it transforms reality while simultaneously involving the experience of knowing/doing. The whole our experience unfolds the complex of relations, knowing while feeling while being simultaneous—it happens together in performative ways. She defines Cosmopraxis as practical, experiential, and ritual, it entangles and integrates everyday life ways. Every aspect of creative craft, like singing, dancing, storytelling, weaving, dreaming, metaphors, proverbs, and myth, can become a ‘relational way’ of aware acts of connecting; these mean relational language in the dynamic way of everyday life. Also, it helps us to understand a very different narrative of world, and not totalizing terms, such as universal, global, or common. As a relational tool, it displaces us from a common way of thinking and recognizes the other languages and forms of expressions differently. Cosmopraxis illustrates how relational ways is relevant to build a pluriversal IR, and not merely learning how indigenous community lives or worldings the world, but to re-learn the political participation dealing with the coexistence of difference. Some people might be born as different, but just in different stages of awareness of the other existence to build a multidimensional pluriverse. Relating way is also remembering or restoring our cosmic memories, they connect us with the cosmos in unspecific groups. Recognizing a life experience matter is related to involving worlds where all beings (human and other-than-human) are participants in ontological difference attitude.

In conclusion, she approaches the relationality by how relations relate, focusing on worldings worlds without any tendency to reifying them in a fixed world. This togetherness, juxtaposed, simultaneous experiences is coexistence action in connection with the cosmos. Therefore, the Cosmopraxis is the beginning of a new becoming, to remind us that by re-worlding and re-enchanting the world, the IR can contribute in a more meaningful way without fixing the world. As a new approach, I believe her explanation is an initial provocation to us to deal with something ‘weirds’ in the common constellation of scientific community. When the science of IR is to build the ‘global’ world definition, the pluriverse of cosmopraxis provokes us to experience deeply our specific relating relations with other-than-humans once, and in this age of human, the Anthropocene is open to define what global relations are, without being reduced in the absolute thinking, but also simultaneously bringing unspoken local worldviews in worldings terra incognita.  

Reviewing Article #3

Encountering the Pluriverse: Looking for Alternatives in Other Worlds

Author: Amaya Querejazu (2016)

DOI: https://doi.org/10.1590/0034-7329201600207

Querejazu (2016) explains the lack of ontological pluralism in her expertise, in International Relations (IR), which is strongly dominated by Western perspective and Modernism vision. I was curious when I read her journal about the possibility of applied pluriverse in IR studies. My reason is merely about how the pluriverse can change the global ontological assumption in the IR discourses, which means we know that the domination of its approaches is inspired by western rationalism and positivism. In this short review, I will describe some words and resume her main ideas and also at the end of this review, I may give some comments. In my mind, this is an unfinished project. Nevertheless, she provokes that the possibility of many alternative worlds in IR is adequate and can be interpreted by showing hidden many worlds and many realities, for example, the Andean cosmovisions. In her paper, she depicts at least how to overcome the myth of modernity and how relational ontologies help the basic theoretical constitution of global IR.

The lack of pluralism in IR has been showed by the mainstream concepts or theories in the methods, philosophy, politics, and the Eurocentric historical in farming of the world. Ironically, the knowledge of world is not only produced by Western perspective, but also neglects other alternative theoretical contributions from various perspectives. Sometimes, they also work against them, thinking under rationality and the domination of knowledge power. Consequently, the question about the pluriverse of the world is non-sense, unspoken reality, the world is only one, and it is universal reality. It is because the general disciplines of IR have not only marginalized differences, also ignoring epistemologies-ontologies, particularly those indigenous people, local knowledge, declining the realm of myths, legends, and beliefs. By capturing this perspective, the roots of ontological marginalization are intensely referring to the ultimate ‘truth’ of one-world, one reality. Therefore, Querejazu believes that modernity has own myth in tendency of the universal truth and anthropocentrism.

Drawing the pluriverse in IR implies very different worlds many worldviews and somehow interconnected, the human and non-human being. They coexist each other in incommensurability. Multiple perspectives of one world is what theoretically pluriverse advocates for, these different worlds can only coexist, not submitted in other worlds, or dominant in one world. It is different from the modernity project, following the universalization of the world and the results of colonialization and the diffusion of particular values in the life-world. So, what we called as certain rationality is only socially situated, and historically Western legacy. The pluriversal thinking, by definition, not tend to generalize everything in one world, because it is useless and insufficient to explain all or many realities existed.

According to modern Western rationality, the phenomenon of reality is assumed as whole, out there, defined, and singular. The results of these understandings are the reductionism and a form of epistemic violence that stimulates the problem of anxiety about self-existence, in contrary, the feeling of superiority as the center of being also appears and tends to dominate the world of multi-species and non-human beings. The Western category consistently marginalizes the unknown world, or it can be accepted in terms of reducing the complexity or differentiation based on fitting the explanation needs. One reality of the world is produced by Western and is still transported to the rest of the world, with generalization, a fake universal framework. The terms of tolerance and acceptance are viable only when they are reasonable and conceivable by authorized imagination, and others that are not fit, are considered as exotic, not real, and undeveloped.

To against the majority of ontological isolation, she offers relational ontologies as pluriversal ontologies, they reveal different form of interaction in at least four principles follow. a) correspondence, entities are correlated in a balance duality; b) complementarity, one opposites each other and becoming whole, but cannot exist without the other, only in complementarity an entity becomes total; and c) reciprocity, the fundamental notion of justice in every aspect of relation, as well as human, natural, spiritual, and cosmic. Seen from Western rationality, it seems weird and undefined. However, from the Andean community views, all the truth of the modernity can be put on the criticism, especially about anthropocentrism, which is no place here, humans do not have any superiority or domination status within their environmental living, they never dominate nature, but same as other non-humans, they are care-takers. Andean worlds place the non-human world in similar aspect like human world, but they exist on their own independently of any interpretation human beings, human only communicate using the language of symbols, rituals, and specific skills that make human develop. In the local knowledge of Amerindian, objects can embody subjects, vice versa, so living and being in this world are not necessarily fixed, but changing depending on the perspective of time and space. Another example of the Andean’s imaginary is the world’s perspective translated as the Pachamama or Mother Earth, not only as entity or thing but may have the strong connection itself, revealing the different world. Also, some local people are aware of the importance of talking with nature, and implemented the ayllu (a concept of socio-politics in the matter of life). The ayllu is a pluriversal concept of organizational life.

Lastly, when we consider applying the pluriverse concept as ontological approach, it means not only borrow this concept in a short explanation of how beautiful the many worlds are, but this concept should be breaking the rules and eliminate ontological hierarchy. In my view, Querejazu’s explanation is a solid argument to overcome the domination of Western notions in the IR methods. Some argumentations are interesting, but I believe that we cannot separate between Western perspective and alternative perspective, it is always interconnected, indeed, since post-modernity exists. Talk about the pluriverse, the one point that we have to promote is how the pluriverse of IR can help the many worlds speak loudly in the front of conflict, sovereignty, and also global policy that is dominant by global developmentalism. Therefore, the last question is what the world is likely to be pluriverse, where many worlds exist

#Ulasan Jurnal Antroposen 2

Review Article Journal

Sumber: https://www.scapestudio.com/projects/oyster-tecture/

Article: The Death of Hope? Affirmation in the Anthropocene

Author: David Chandler

Journal: Globalizations, 695­–706 (2018)

DOI: https://doi.org/10.1080/14747731.2018.1534466

David Chandler (2018) mengawali pembahasan artikelnya dengan mengkritik makna hope atau harapan ketika melihat realitas Antroposen. Harapan, hematnya, sering dikaburkan dengan ‘pandangan optimistik’. Secara filosofis, harapan seringkali dilihat sebagai kehendak afektif atas adanya alternatif hasil yang mungkin, yang tidak secara langsung dihubungkan dengan kepercayaan terhadap kemungkinan-kemungkinan.

Ada anggapan bahwa harapan sebagai hal yang irrasional. Sedangkan Kant menempatkan harapan sebagai sebuah kategori kompleks, kategori imperatif untuk percaya bahwa ada sebuah alasan yang masuk akal tetang kemungkinan perkembangan dunia yang lebih baik. Bahkan, apabila kita tidak dapat mencerapnya secara empiris, maka harapan dikonstruksikan sebagai kewajiban moral sehingga sangat mungkin harapan menjadi rasional. Berbeda dengan Kant, Ernest Bloch menawarkan konsep harapan sebagai sesuatu yang imanen, harapan layaknya state of being selalu ‘dalam-kemungkinan / in-possibility’. Chandler (2018) dengan tegas mengklaim bahwa term hope atau harapan sudah cukup usang di bawah kondisi Antroposen. Alasannya sederhana, Antroposen dapat mematahkan sihir imaji modernitas tentang progres dan sentralitas manusia serta pemisahan ontologis manusia dengan alam.

Kekecewaan pencerahan dan modernitas pernah menjadi fokus utama mazhab Frankfurt tertutama kritiknya tentang hegemoni dan kesalahan modernitas yang cenderung mendehumanisasi manusia. Menurut Tsing (2015) politik afirmasi Antroposen hanya mengafirmasi bahwa tidak akan ada akhir yang bahagia, akhir dari dunia (the end of the world). Mengapa kita (sekali lagi) perlu mengafirmasi Antroposen? Penjelasannya masih sama untuk menggugat batasan modernitas dan Pencerahan yang sangat linear, sangat biner, sangat abstrak, sangat reduksionis, sangat subjektif/orientasi-subjek, terlalu instrumental, terlalu rasional, terlalu percaya diri, sangat Eurosentris, sangat antroposentris, sangat totalitas… dan kiasan populer lainnya (bisa kamu tambahkan sendiri), kata Chandler di awal artikel.

Sejenak kita disadarkan bahwa upaya Chandler di sini (cukup berani) untuk menggugat pandangan mapan sebelumnya. Baginya, Antroposen tidak cukup dijelaskan hanya berdasarkan pada landasan filosofis ‘dunia’ sebelumnya. Dunia modern sepenuhnya dunia yang berbeda dengan dunia Antroposen hari ini. Kita tidak mungkin akan kembali mencari rumah yang sama seperti dulu. Harapan hanyalah omong kosong pada akhirnya jika tidak ada kejelasan apa yang dimaksud sebagai ‘harapan’ di dunia Antroposen.

Kritik Marx tentang masyrakat kapitalisme berlanjut sampai pada persoalan ekologis yang tidak ada titik terang. Harapan menjadi semu, semangat akan modernitas dan Pencarahan tidak lebih dari proses rekognisi ke-diri-an manusia sebagai spesies yang memiliki cita-cita untuk kebutuhannya sendiri. Jika teori kritis hanya menawarkan harapan untuk mengubah masyarakat dan melawan kapitalisme. Chandler mengutip Fredric Jameson (2003) yang berkata bahwa ‘lebih mudah kita semua membayangkan akhir dari dunia ini, daripada akhir dari kapitalisme’. Artinya, jika hanya mengandalkan teori-teori kritis yang mengembalikan lagi sepenuhnya pada dunia yang berpusat pada manusia dan tidak mempertimbangkan alternatif ‘dunia’ lain, persoalan modernitas tidak akan dapat berakhir. Hanyalah harapan-harapan ‘semu’ dan semangat yang ditawarkan. Tidak lebih.

Saya kemudian mengetahui bahwa maksud dari artikel ini ialah untuk mempertimbangkan kembali bahwa sejatinya, kita semua memiliki ‘kecemasan-tersembunyi’ tentang dunia yang akan datang. Jika saya sebut itu sebagai Antroposen dan segala masalah yang menyertainya, maka kecemasan sebenarnya merupakan inisiasi afirmasi terhadap Antroposen sebagai sebuah realitas. Sedangkan Chandler menyebutnya, setelah Kepunahan besar, setelah harapan, setelah kegagalan, akan muncul relasi baru. Relasi itu adalah proses afirmasi daripada terjebak pada warisan modern ‘Cartesian’—sang manusia rasional yang berharap memiliki akhir yang indah (happy ending), untuk menyelamatkan dunia (manusia) dan segenap isi planet. Klaim ini terkesan menjanjikan tetapi sebenarnya kosong dan hanya mengulang hal sama seperti apa yang telah diwariskan sebelumnya.

Pilihan mengafirmasi artinya mengakui secara berani bahwa kita tidak mungkin kembali seperti dulu dan imajinasi tetang kepunahan subjek adalah hal yang sangat mungkin kita akan hadapi. Hal yang dapat kita lakukan kemudian hanyalah memikirkan tentang ketahanan (resilience) kita untuk melakukan tindakan kritis-adaptif. Ketahanan politik bukan milik penguasa yang hanya menekankan pada ‘command-and-control’, mereka yang hanya memerintah dan mengontrol tetapi tidak pernah menyelesaikan permasalahan yang ada. Mengapa demikian? Karena ketika orientasi politik afirmasi hanya berputar pada warisan lama tanpa berani mempertimbangkan alternatif pendekatan ‘bottom-up’, lokal, potensi yang alamiah dan hanya mengklaim bahwa kekuatan besar perekayasaan dapat menyelesaikan masalah.

Harapan adalah bagian dari masalah dan bukan bagian dari solusi jika kita tidak tepat dalam mengafirmasi keadaan. Chandler memberikan contoh tentang Oystertecture sebagai urban resilience yang secara alamiah dapat dimanfaatkan untuk melindungi kehidupan di dermaga New York. Bahkan, kekuatan biologis dari tiram saja dapat melawan ancaman Antroposen lebih baik daripada merekayasan tanggul yang belum tentu efektif dan sangat mungkin dapat merusak ekosistem alamiah di sekitar.

Membuka kemungkinan alternatif yang lain merupakan strategi untuk mengafirmasi dunia ‘after the world’. Di dunia modern, tidak ada yang baru atau kreatif dari dunia, sebagai agen kuasa manusia hanya cukup mencoba mencari dan menelusuri harapan tersembunyi atau nalar dari dunia ini. Menurut Colebrook (2015) menolak harapan memaksa kita untuk tetap ‘tinggal dengan masalah’. Jika dunia telah tidak ada maka tidak akan mungkin ada lagi alternatif bahkan imajinasi, maka harapan tidak akan punya masa depan.

Dengan demikian, bagi saya, afirmasi Antroposen ialah sebuah pengakuan tegas bahwa dunia yang terberikan dan dialami saat ini sebagaimana adanya, tanpa harus banyak meromantisasi masa lalu dan menjanjikan banyak hal di masa depan.

Kate Orff: Reviving New York’s rivers — with oysters! (2010, TED)

Ulasan Jurnal Antroposen #1

Review Article Journal

Article: Epistemological Limitations of Earth System Science to Confront the Anthropocene Crisis

Author: Carles Soriano

Journal: The Anthropocene Review, 1­­–15 (2020)

DOI: https://doi.org/10.1177/2053019620978430

Carles Sariano (2020) menyadari bahwa ESS (Earth System Science / Ilmu Sistem Bumi) menjadi salah satu ilmu yang mulai dilirik publik ilmiah sebagai suatu pendekatan yang dapat menjelaskan pemahaman tentang Sistem Bumi di epos Antroposen. Sebagai suatu Artikel ilmiah, saya merasa bahwa apa yang ditawarkan oleh Sariano ini tidak lebih dari suatu usaha ‘tawar menawar’ sehingga kemudian ESS juga perlu mempertimbangkan pentingnya peran ilmu sosial.  

Sariano, menurut hemat saya, tidak begitu serius ketika mengeksekusi bagaimana keterlibatan ilmu sosial kelak di ESS ketika menjawab dan menjelaskan masalah krisis Antroposen. Namun demikian, ada hal yang perlu kita catat bersama bahwa usaha Sariano untuk memperkenalkan keterbatasan pemahaman krisis Antroposen hanya bersandar pada epistemik positivis dan idealis yang memiliki keterbatasan dan kemungkinan kontradiksi internalnya. Mengapa? Karena menurut Sariano, hal yang paling penting adalah menciptakan semacam pendekatan dialektis (dialectic) dan materialis untuk memahami dan mengatasi krisis keplanetan ‘secara transendental’. Hanya sampai di situ, saya rasa term yang ditawarkan Sariano terlalu membulat—bukan tahu bulat! Mari kita bedah satu persatu.

Di bagian pengantar, Sariano menuliskan bagaimana peristiwa Antroposen mempengaruhi perhatian publik dan komunitas ilmiah ketika memandang posisi manusia yang telah terlibat pada perubahan struktur geologis. Tren terkini yang muncul di kalangan peneliti Antroposen antara lain: i) mereka yang patuh dan memegang teguh atas sakralitas ilmu alam, hanya ilmu kealaman yang dapat menjelaskan fenomena Antroposen, ii) mereka yang menganggap Antroposen hanyalah historisitas sosial manusia, dan iii) mereka yang percaya bahwa ada semacam interseksi antara ilmu sosial dan ilmu alam. Bagaimanapun, mayoritas ilmuan dari ilmu alam kecewa jika adanya campur aduk (gado-gado) pendekatan untuk menjelaskan fenomena yang belum jelas ini. Mereka menganggap bahwa terlalu banyak pendekatan dapat merusak komunikasi ilmiah dan pemahaman tentang Antroposen. Dengan demikian, Sariano mulai menawarkan alternatif pandangan epistemik bahwa ESS perlu mengambil pendekatan dialektis dan materialis untuk memahami sisi objektif dan konkret dari sudut naturalis dan sudut sosial yang kemudian termanifestasikan pada sebuah tindakan untuk mengatasi krisis.

Pengetahuan ilmiah tentang Antroposen berdasarkan pada transformasi fenomena empiris yang terberi kepada peneliti, yang kemudian dijadikan abstraksi konsep konkret. Konfigurasi-konfigurasi ini dikonfirmasi dengan mendasarkan pada abstraksi empiris (induksi) dan diskripsi (deduksi), yang kemudian ditarik lebih jauh untuk menetapkan gagasan ‘Antroposen’ dengan pengalaman dan bahasa keseharian sepanjang proses historisitas-kultural dalam riset ilmiah. Saya sepakat, bagaimanapun, objek penelitian Antroposen adalah realitas material, eksis (ada) di luar dari ‘angan-angan’ subjektif dan bahkan mungkin konseptualisasi terhadapnya. Artinya, realitas secara niscaya termediasi oleh persepsi kita terhadap fenomena secara komprehensif lalu menjadi gagasan / pandangan yang dinalarkan (subjek mekanisme penalaran). Terakhir, termediasi sebagai sebuah kriteria kebenaran universal.

Meskipun kita sepakat, ilmu sosial dan ilmu alam telah mengalami pembagian formal sebab adanya semangat Neo-Kantian abad ke-19, akan tetapi, klaim bahwa interaksi manusia dengan realitas, tidak peduli sebagai ilmu alam maupun ilmu sosial, selalu berhadapan dengan yang kita sebut sebagai objektif dan dengan alasan ini, ‘itu’ dapat diketahui secara ilmiah. Di sini jelas, bahwa secara ontologis, Sariano menyamakan dasar objektivitas ‘Antroposen’ sebagai realitas material yang objektif, yang dapat diketahui secara universal tanpa memandang pembeda pendekatan, asal rujukannya adalah ‘apa yang disebut dengan Antroposen’. Anda dan saya, mulai merasa ada klaim besar di sini. Mari kita lanjutkan~

Alasan berikutnya, mengapa Sariano ingin agar ESS mempertimbangkan Ilmu Sosial sebagai pendekatan tambahan untuk Antroposen karena alasan sederhana tentang ‘labor’. Terinspirasi dari György Lukács (1980), Sariano menekankan bahwa aktivitas riil masyarakat sosial mentransformasi baik alam (secara eksternal) dan dirinya sendiri (asumsi internal) tidak dapat terlepas dari ‘labor’.  Labor didefinisikan sebagai aktivitas praktis manusia yang dapat mengubah/mentransformasi realitas. Dari perspektif Antropologi, hal ini, sebagai tindakan yang dimiliki oleh manusia yang telah berkembang, secara historis, dan menjadi a social human being. Dengan demikian, pengetahuan ilmiah dapat dipahami sebagai produk sosial yang dilakukan oleh kolektivitas sosial sepanjang sejarah, dan individu berpartisipasi secara aktif. Mereka (ilmuwan) dipengaruhi oleh struktur sosial yang terberi, keterberian pengetahuan ilmiah yang sebelumnya juga ikut serta mempengaruhi pandangan dunia.

Sariano percaya bahwa ada semacam evolusi pengetahuan dari yang abstrak dan idealis (dasar mitos) menjadi lebih konkret dan pengetahuan-berdasar-materialitas sehingga realitas yang dipahami membuka potensi praktis serta interaksi di dalamnya secara riil. Untuk membedakan ilmu sosial dan ilmu alam, Sariano menempatkan skala-waktu (time-scales). Intinya, pembeda dari skala-waktu penelitian terhadap objek ilmiah yang kemudian memisahkan ilmu sosial dan ilmu alam. Ketika ilmu alam bekerja secara objektif, berpatokan dengan realitas ‘yang dianggap sama’ sepanjang skala waktu, maka ilmu alam hanya mengalami perbedaan dari sejauh mana peneliti memodifikasi bentuk fenomena berdasarkan pendekatannya. Tidak hanya itu, semakin berkembangnya ilmu kealaman, justru semakin mendekati kompleksitas dan sifat konkretnya. Contohnya, Alfred Wegener melalui Continental Drift atau Pergeseran Benua, awalnya abstraksi teori yang sederhana tetapi lebih melengkapi teori lempeng tektonik (plate tectonics). 

Ilmu sosial justru sebaliknya, hal yang disebut objek itu bisa muncul dengan seiringnya waktu, contohnya ketika Aristoteles tidak memiliki konsep konkret tentang abstract labor, tetapi David Ricardo justru menambahkan abstract labor sebagai substansi nilai karena sebagai bagian dari rerata sosial yang mengonstitusikan realitas sosial dari produksi kapitalis.  Hal tersebut karena, manusia dapat mengubah dan telah mengubah apa yang disebut mode organisasi sosialnya sepanjang sejarah, sehingga memahami keduanya—mode produksi sosial dan praktik transformasi terhadap mode produksi—adalah secara bersamaan terkondisikan.  

Negosiasi sosial terhadap temuan hukum naturalis, semua temuan ilmiah ilmu kealaman tidak mungkin dapat diterapkan dalam kehidupan sosial sebab ada batasan etis dan moral untuk melakukannya. Temuan nuklir, meskipun, kita tahu telah ditemukan (secara ilmiah) dan bahkan telah diuji coba sampai mengakibatkan kerugian material dan jiwa, pada akhirnya, regulasi (secara politis) batasan pengembangan nuklir muncul. Untuk alasan ini, pengetahuan ilmiah dan teknis tidak lagi netral. Di lain situasi, hukum alam tetap digunakan sebagai suatu kewajiban, saya sepakat soal ini, jika manusia ingin terbang dengan pesawat maka mereka secara ketat wajib mempertimbangkan hukum gravitasi. Teruntuk ilmu sosial, sadar tidak sadar, juga tidak dapat terlepas dari hukum alam, manusia pada akhirnya akan menyesuaikan dengan batasan alam, mode transformasi sosial dapat bekerja jika hukum aturan alam mendukungnya.

Pada bagian sub-bab, ‘epistemic paradigms of capitalist society’, Sariano mulai melakukan pendekatan akrobatik. Di sini, saya mencatat intinya bahwa dominasi pengetahuan ilmiah di masyarakat kapitalisme tidak berbeda dari verifikasi positivisme dan ide-ide abstrak idealisme. Kritik Sariano adalah keterbatasan dalam mengelaborasi totalitas realitas konkret yang terbentuk oleh interaksi determinasi keragaman dan objek yang dinamis sepanjang proses historis. Masyarakat kapitalisme hanya dipahami ahistoris sebagai mode produksi absolut, dan bukan sebuah sistem organik. Dengan contoh ini, Sariano melihat bahwa dengan demikian, krisis Antroposen sama halnya dengan krisis ekonomi yang sama saja tidak terselesaikan dan tidak terjelaskan. Mengapa ada krisis ekonomi kapitalisme, padahal sistem pengetahuan atomistik formalnya telah dibangun sedemikian rupa? Apa yang ditekankan hanyalah hasil dari fenomena produksi kapitalis sepanjang krisis ekonomi yang diatributkan kepada agregasi dari buruknya pilihan individu, tetapi tidak pernah menginvestigasi secara mendalam mode produksi. Asumsi inilah yang digunakan oleh Sariano kemudian untuk menolak positivisme dan idealisme dalam melihat satu sisi Antroposen dan memilih pendekatan dialektis materialisme.

Melalui pendekatan dialektis-materialismenya, Sariano mengkritik bahwa adanya hubungan pandangan epistemik masyarakat kapitalisme dengan krisis Antroposen yang mulai mengalami jalan buntu. Secara epistemik, Antroposen adalah konsep konkret atau konsep abstraksi yang dibentuk dari sintesis interaksi multi-determinasi baik secara natural maupun sosial. Krisis Antroposen merupakan krisis yang disebabkan oleh mode produksi kapital, secara historis krisis ini mulai dirasakan sekitar 200-300 tahun terakhir. Pada waktu yang sama, ketika ‘mesin’ produksi kapitalisme bekerja. Sariano mengklaim bahwa krisis Antroposen mulai terlihat sejak adanya demarkasi formal ilmu alam dan ilmu sosial yang menghilangkan aspek historis organisasi sosial. Kedua, klaim Antroposen hanya dimiliki oleh ilmu alam. Terakhir, tidak adanya usaha pembaruan epistemik tentang pendekatan Antroposen.

Sejalan dengan tiga gugatannya, Sariano menekankan bahwa untuk membuktikan materialisme dan dialektika alam Antroposen dapat ditelusuri melalui artikulasi internal dengan menilik sejauh mana kontradiksi reproduksi kapital dengan Alam dan dengan Manusia sebagai sebuah kerangka berpikir tentang Alam itu sendiri. Hal konkret yang dapat dilakukan adalah keluar dari sistem produksi kapitalis. Pertimbangan apa yang baik untuk menghadapi krisis Antroposen adalah dengan melihat aspek keberlanjutan, tanggung jawab moral dan sosial perusahaan, sirkulasi ekonomi, pertimbangan kerusakan ekologi dan ekonomi, degrowth, dan menelusuri sesat pikir dalam promosi ‘Ekonomi Hijau’. Bahkan, klaim ini ditunjukkan secara langsung (lih. Futureearth.org) yang tidak pernah mempertimbangkan pendekatan dialektis material untuk menghadapi krisis Antroposen.

Sebagai sebuah penutup, saya rasa ambisi dan klaim besar Sariano ini masih belum cukup memadai (inadequate) karena hanya menawarkan intergrasi ilmu alam dan ilmu sosial untuk pendekatan ESS, relasi antara logika masyarakat kapitalisme yang berdampak pada krisis Antroposen, dan terakhir, saya masih merasa ‘terganggu’ dengan istilah perspektif epistemik yang ditawarkan, belum selesai! Karena, bagaimanapun, Ilmu Alam punya laju pendekatannya sendiri, meskipun melalui pendekatan positivisme, kita berhutang banyak dengan positivisme, dan untuk pendekatan dialektis secara epistemik akan cukup sulit diterima apabila kesepakatan komunitas ilmiahnya tidak mengizinkan—problem kuasa pengetahuan. Menurut saya, lebih baik Sariano menjelaskan bahwa bagaimana ilmu sosial Antroposen itu bekerja dan agar tidak lagi bergantung dengan komunitas ilmiah di bawah ESS atau penyelenggara diskusi Antroposen di bawah ilmu alam. Meskipun saya tahu, niatan Sariano baik mengambil jalan integrasi.

Catatan Antroposen #12

The Stratigraphy Boundary of the Anthropocene

Pendahuluan

            Geologi Antroposen membutuhkan setidaknya beberapa pendekatan geologis secara formal dan ilmiah terkait titik poin di mana pertama kali aktivitas antropogenik mempengaruhi perubahan transisi skala waktu geologi. Adapun beberapa pandangan atau hipotesis/tesis pemikiran tentang pembuktian faktor utama aktivitas antropogenik yang dibagi mulai dengan intervensi awal manusia, penemuan artefak manusia pertama, revolusi agraria pertama, domestifikasi hewan dan tanaman, penambangan dan globalisasi awal. Selain itu, juga terdapat beberapa pandangan lain seperti halnya Pra Revolusi Industri, Industri Revolusi, dan fenomena the Great Acceleration. Dari beberapa pendekatan tersebut, bagaimana pun juga para ahli geologi harus tetap mengutamakan pembuktian fisik geologi yang stabil sebagai dasar pembuktiannya.

Validitas Geologi atas Antroposen

            Zalasiewicz dkk (2019: 243) telah mengembangkan komunitas ilmiah AWG yang berfokus untuk meneliti Antroposen sebagai kasus material stratigrafi geologi. Tidak berbeda dengan pengamatan awal Crutzen dan Stroermer (20002), Zalasiewicz dkk (2019) melihat adanya suatu progres perubahan di Sistem Bumi yang merujuk terhadap aktivitas antropogenik. Antroposen dapat divefikasi sebagai suatu skala waktu geologi baru dengan melihat beberapa potensi dasarnya. Pertama, melalui bukti rentang stratigrafi dari jenis-jenis mineral baru (artifisial), jenis batuan, sedimentasi yang terbentuk karena adanya aktivitas pertanian, dan bahkan perubahan biosfer yang menyebabkan kepunahan massal bagi keberagaman hayati. Kedua, potensi temuan artefak teknologi atau teknofosil sebagai hasil dari aktivitas teknosfer yang juga berhubungan meningkatnya unsur kimia baru. Hal ini berpotensi memacu percepatan kenaikan air laut, perubahan iklim, pemanasan global, dan siklus kriosfer. Oleh karena itu, justifikasi Antroposen tetap harus melalui GSSA dan GSSP dengan catatan ikut menyertakan bukti-bukti fisik stratigrafi yang lambat laun menjadi sedimensi global baru, yang dapat menjelaskan skala intervensi manusia atas perubahan Sistem Bumi selama ini.

Jejak Stratigrafi Awal Manusia

            Williams dan Odada (2019: 243-246) menjelaskan bahwa tesis intervensi awal manusia sangat memungkinkan untuk membantu rekonstruksi Antroposen purba. Bukti adanya fosil-fosil purba dan temuan beragam artefak purba peninggalan spesies Homo awal seperti Homo habilis dan Homo rudolfensis yang tersebar di Afrika, termasuk persebarannya dari Afrika ke Eurasia yang telah tercatat secara rapi oleh paleontologi dan geokronologi. Migrasi Homo juga dikenal sebagai titik balik perkembangan peradaban yang mulai menyentuh banyak regional di dunia. Namun, sayangnya bukti ini tidak cukup kuat meskipun bukti kebudayaan zaman batu telah berkembang dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Karakteristik tesis ini secara esensial terletak pada perspektif Antroposen yang lebih menekankan pada perilaku evolusi manusia yang sifatnya diakronik daripada sinkronik. Sedangkan, pada satu sisi, Geologi lebih menekankan pada pendekatan sinkronik. Alasannya, untuk mencegah adanya tumpang tindih penelitian antara riset geologi dengan riset arkeologi.  Peristiwa penting perkembangan evolusi Homo ditandai dengan kapasitasnya yang begitu kuat dalam mengembangkan artefak fisik dan alat bantu psikologi untuk dapat bertahan di akhir Pleistosen. Kompleksitas peradaban yang digabung ketika merespons perubahan interglasial iklim Pleistosen-Holosen menjadikan peluang tersendiri atas adanya bukti Antroposen ‘non-formal’.

Tesis Pra-Revolusi Industrial

            Wagreich dkk (2019: 246-250) memilih kondisi geologis sebelum revolusi industri berkembang untuk batas transisi Holosen-Antroposen. Hal tersebut dikarenakan beberapa perubahan yang disebebkan karena adanya proses modifikasi ekosistem antropogenik awal, persebaran sisa pembakaran batu bara, munculnya beragam konstruksi arsitektur bangunan, awal dimulainya penjelajahan globalisasi, dan perkembangan sistem pertambangan awal. Pertimbangan tersebut sejalan dengan tesis Foley (2013) yang menawarkan tesis ‘Paleoantroposen’. Tesis tersebut untuk menjelaskan rentang waktu kemunculan pertama genus Homo sampai perkembangan awal Industrial Revolusi (Foley et al. 2013). Spekulasi ini mengarah pada kemungkinan intervensi manusia secara signifikan terhadap perubahan ekosistem yang buktinya dapat ditelusurui sejak manusia mulai menguasai penggunaan api, merombak sistem pertanian, domestifikasi hewan, urbanisasi, sampai pada industrialisasi. Akan tetapi, semua bukti dampaknya hanya bersifat kemewaktuan transgresif atau diakronik yang basisnya regional.

Pada fase Pleistosen akhir, mungkin sekitar 60.000 tahun lalu (Balter 2013) menjelaskan awal mula epos Holosen yang inheren dengan proses kapitalisasi manusia terhadap ekosistem untuk pertama kalinya. Selain karena adanya dampak pembukaan lahan secara masif (deforestasi), dampak perburuan massal, dan pembakaran biomassa. Adanya revolusi agraria juga menjadikan perkembangan peradaban manusia semakin luas yang secara signifikan menyisakan beragam tekno-fossil mulai dari jenis keramik sampai alat bantu berburu-bercocok tanam. Meskipun tesis ini menarik, gagasan Foley dkk (2013) tentang Paleoantroposen hanya dapat diakui informal dan non-kronostratigrafi sebab memungkinkan adanya tumpang tindih data antara perubahan corak agrikultur (revolusi) dan fase awal pertukaran modern (globalisasi), serta mengaburkan batas antara Holosen dan ‘awal mula’ Antroposen.

            Glikson (2013) berspekulasi bahwa kemampuan evolusi manusia ketika mulai mampu mengusai kegunaan api sebagai semacam titik balik sekitar 1.8 juta tahun lalu (Pleistosen) menjadikkan kemungkinan dimulainya ‘Early Anthropocene’ atau Antroposen Awal. Jejak sisa-sisa arang pembakaran dapat dilacak pada beberapa situs arkeologi (Glikson 2013). Akan tetapi, bukti ini kemudian memunculkan pertanyaan lebih lanjut untuk melacak kembali bukti-bukti sisa fosil arang yang secara murni karena intervensi manusia yang sifatnya sinkronik-global. Untuk saat ini, intervensi manusia terhadap api hanya dapat menjadi bukti antropologis tentang sejarah peradaban manusia.

            Tesis Konstruksi Relung Manusia atau (Human Niche Construction) sebagai suatu pendekatan yang sering diadaptasi oleh para arkeologi (Erlandson 2013; Smith and Zeder 2013) dengan cara menentukan catatan perekayasaan antropogenik via interval waktu tertentu misalnya 11.000 sampai 9.000 tahun lalu. Transisi ini sering dikenal dengan istilah Revolusi Pertanian Neolitik, ditandai adanya transisi dari berburu-meramu menjadi bercocok tanam, buktinya dari catatan fosil kultivar yang tercatatan secara transgresif sekitar 11.000 tahun lalu (Ruddiman 2013). Globalisasi pertanian kemudian mulai menyebar dan berkembang dengan beragam corak tanaman (misalnya jagung di Amerika, beras di Asia, dan juga gandum di sekitar Timur Tengah) serta domestifikasi hewan sebagaimana kalkun dan ilama di Amerika, babi dan ayam di Asia Timur, kambing dan domba di sekitaran wilayah Fertile Crescent atau Hilal Subur/Bulan Sabit Subur (wilayah Mesopotamia, kawasan sungai Nil). Beragam bukti tersebut masih tidak cukup sebagai penanda awal Antroposen. Penanda sinyal titik acuan tersebut semakin mengaburkan kepunahan megafauna Pleistosen/Holosen dan tesis Ruddiman tentang ‘Antroposen Awal’. Hal ini karenakan tanda yang muncul sifatnya terrestial-diakronik dan sangat sedikit bukti di wilayah perairan.

            Observasi tesis Ruddiman tentang Antroposen Awal setidaknya membantu improvisasi atas penyelidikan konsentrasi peningkatan level metana dan karbon di Atmosfer. Tesis ini menyelidiki bahwa sejak awal Holosen sekitar 7000 tahun lalu telah terjadi peningkatan karbon dan disusul dengan peningkatan metana sekitar 5000 tahun lalu. Hal tersebut didasarkan dengan hipotesisnya terkait persebaran dan perkembangan revolusi pertanian pada masa itu. Secara tidak langsung, pengaruh deforestasi akan meningkatkan CO2 serta model pertanian dan perternakan baru yang mulai berkembang di Asia dan Afrika mampu meningkatkan konsentrasi CH4di atmosfer. Sayangnya, meskipun penelitian Ruddiman membuktikan adanya potensi penanggalan waktu awal Antroposen yang dapat dideteksi di dalam inti es, tetapi saja tidak cukup memberikan bukti yang dapat menggantikan epos Holosen karena peristiwa perubahan iklimnya sudah tercatat di tiga sub-divisi Holosen (peristiwa ~8.2 ka ‘Northgrippian’ dan ~4.2 ka ‘Meghalayan’).

            Beralih pada temuan polutan antropogenik yang ditemukan dari inti es Kutub Utara yang berasal dari konsentrai logam-berat, merekognisi temuan riset beberapa geolog terkait kemungkinan penanda awal Antroposen yang disebabkan oleh aktivitas tambang dan peleburan logam (Bobrov et al. 2011; Gałuszka, Migaszewski, and Zalasiewicz 2014; Radivojević et al. 2010). Krachler et al. (2009) juga menyertakan bukti bahwa terdapat kontaminasi di belahan Bumi Utara yang disebabkan karena aktivitas peleburan biji sulfida oleh peradaban kuno. Jejak polutan logan telah ditemukan di beberapa arsip geologis ‘Antroposen awal’ (Marx, Rashid, and Stromsoe 2016), termasuk danau, inti es, ombrotrophic peat bogs, sedimentasi muara dan pantai. Beberapa bukti geologis tersebut pada akhirnya tetap harus mengikuti batasan dari subdivisi Holosen  (Walker et al. 2012). Artinya, di masa depan sangat memungkinkan muncul temuan mayor terkait perturbasi karbon, nitrogen, dan siklus fosfor sebagai keberlanjutan dari hasil tambang dan peleburan logam berat.

            Munculnya semangat penjelajahan pada konteks awal era modern melahirkan kolonialisasi dan globalisasi awal yang dikenal sebagai (Pertukaran Kolumbus). Peristiwa itu telah memberikan ruang bagi perubahan aktivitas antropogenik secara geologis (Lewis and Maslin 2015) atau terhadap dampak sosial ekonomi (Fischer-Kowalski, Krausmann, and Pallua 2014). Pertukaran Kolumbis pada akhirnya hanya memperkuat aspek kolonialisasi dunia baru (Rubino et al. 2016) daripada membuktikan adanya satu titik sinkronik geologi Antroposen secara kronostratigrafi (Zalasiewicz et al. 2015).

            Beberapa temuan di atas secara umum mengarah telah membuktikan adanya jejak antroposen yang terekam di sedimentasi tanah, akan tetapi mengapa kemudian basis jejak Antropogenik di tanah tidak cukup menjadi bukti geologi Antroposen? Hal ini dapat dijelaskan melalui empat persoalan fundamental yang muncul. Pertama, penanda stratigrafi pada tanah selama ribuan tahun lalu sifatnya transgresif sehingga sulit menjadi dasar penentuan GSSP. Kedua, terlalu banyak karakteristik strtaigrafi tanah termasuk persebaran tanah secara regional, adanya sisa artefak, kandungan kimiawi dan bioturbasi pada tanah. Ketiga, strata tanah tidak selamanya mampu bertahan dalam jangka waktu tertentu. Keempat, kemungkinan adanya sifat tanah yang erosif. Oleh karena itu, tesis pra-revolusi industri belum cukup memadai sebagai titik skala waktu geologi Antropoen.

Tesis Revolusi Industri

            McNeill (2019: 251-254) mencatat kemungkinan tesis revolusi sebagai titik potensial geologi Antroposen. Revolusi industri telah membawa perubahan yang sangat signifikan terhadap peradaban manusia terutama temuan mesin uap. Revolusi Industri juga telah membuka jalan terhadap penggunaan energi secara besar-besaran dalam rangka mendukung sistem sosial-masyarakat dan sistem ekonomi kapital baru. Industrialisasi semakin berkembang yang berdampak pada tingkat spesialisasi kerja, pertukaran, produksi, dan konsumsi. Pengaruh sistem kerja mesin up mengunci ketergantungan konsumsi batu bara.

            Menurut Wrigley (2010) jantungnya Revolusi Industri adalah revolusi energi sebagaimana revolusi pertanian neolitik yang dimulai di Syria sekitar 11.000 tahun lalu, Revolusi Industri telah memperbesar kuantitas penggunaan energi yang berasal dari bahan bakar fosil dan batu bara (Wrigley 2010). Perubahan dari energi kimia dari bahan bakar fosil menjadi energi mekanik sepanjang awal industrialisasi. Pada abad ke 18, mesin uap telah bekerja sangat efektif dan menyebabkan peningkatan kebutuhan akan batu bara. Sebab adanya pembakaran batu bara dan aktivitas limbah produksi industri mengakibatkan besarnya kontaminasi air, udara, dan tanah secara lokal. Selain itu, semua aktivitas industrialisasi beserta pembakaran batu bara ikut melepas karbondioksida dan gas rumah kaca lainnya di atmosfer.

Figure 1. Kenaikan Emisi CO2 sejak awal Revolusi Industri

            Revolusi Industri memang telah mendapatkan perhatian khusus sejak istilah Antroposen dideklarasikan oleh Paul Crutzen pada awal abad ke-21. Pertimbangan ini berdasarkan adanya bukti (lih. Figure 1), yang memperlihatkan adanya dampak yang sangat siginifikan kenaikan emisi CO2 secara global. Revolusi Industri memang sangat berpotensi menjadi preferensi terkait titik awal Antroposen melalui kerangka pembuktian GSSP. Pada rentang waktu akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19 telah meyisakan bukti empiris munculnya SPCs yang disebabkan oleh adanya proses pembakaran batu bara atau minyak dalam skala massif. Akan tetapi, temuan kenaikan SPCs baru diverifikasi secara independen oleh (Rose 2015) dan (Swindles et al. 2015) sekitar tahun 1950an tidak dapat terlepas dari hasil akumulasi emisi pada masa revolusi industri. Data mengenai SPCs sangatlah berpotensi untuk menjelaskan bukti empiris Antroposen karena buktinya yang sangat mendekati level sinkronik. Oleh karena itu, pendefinisian Antroposen dapat diambil dari dua titik yakni di sekitar waktu Revolusi Industrial akhir abad ke-18 dan pertengahan abad ke-20 ditandai dengan munculnya The Great Acceleration.

Tesis The Great Acceleration

            Waktu kemunculan Revolusi Industri mungkin lebih tepatnya menjadi dasar bangunan bagi peristiwa The Great Acceleration (Percepatan Luar Biasa) yang terjadi hampir segala lini kehidupan manusia yang berkembang secara global. The Great Acceleration menandai percepatan pengaruh manusia sekitaran pertengahan abad ke-20 yang telah dikelompokkan oleh beberapa ilmuwan sebagai suatu penanda bagi epos Antroposen di sekitaran tahun 1950an (McNeill and Engelke 2016; Steffen, Crutzen, and McNeill 2007). The Great Acceleration dijelaskan dalam beberapa indikator tren pada bagan (Lih. Figure 2 dan Figure 3). Steffen dkk  (2015) membagi dua model indikator tersebut berdasarkan tren sosio-ekonomi dan tren Sistem Bumi. Keduanya sama-sama menunjukkan adanya satu titik potong (tahun 1950) yang menandai peningkatan pada setiap aspek/indikator yang dirujuk dan saling memiliki tautan satu sama lain (Steffen et al. 2015).

The Great Acceleration | Future Earth
Figure 2. Tren Sosio-Ekonomi
The Great Acceleration | Future Earth
Figure 3. Tren Sistem Bumi
The Great Acceleration | Future Earth
Figure 4. Tren Sosio-Ekonomi dengan pembagian tiga grup negara

Malm dan Hornborg (2014) mengkritik bahwa tidak semua manusia yang ada di dunia ini bertanggung jawab atas peristiwa ‘Antroposen’—sejauh merujuk pada The Great Acceleration (Malm and Hornborg 2014). Kritik Malm dan Hornborg (2014) kemudian direspons oleh Steffen dkk (2015) dengan memberikan detail lebih lanjut bahwa tren The Great Acceleration ini tergantung pada ketiga grup negara: negara maju (OECD), negara besar dengan percepatan pertumbuhan ekonomi (BRICS), dan negara di luar OECD/BRICS, termasuk negara tertinggal/miskin (Lih. Figure 4). Di sisi lain, data tersebut tidak mengacu pada perspektif sosial terkait model ekonomi kapitalistik tetapi hanya sekedar memberikan gambaran term data stratigrafis. Keberagaman bukti yang muncul dari indikator The Great Acceleration sangat mungkin menjadi data pembuktian geologi Antroposen sebab pada titik itulah ledakan aktivitas sosial-ekonomi masyarakat dunia sangat terlihat sejak tahun 1950an (Zalasiewicz et al. 2017). Pada satu sisi, Steffen (2019: 260-266) mengajukan proyeksi tren berdasarkan skenario akselerasi sosio-ekonomi, peningkatan konsentrasi emisi gas rumah kaca, perubahan iklim global, perubahan sistem biosfer (tren homogenisasi flora dan fauna), peningkatan pemutihan karang global dan acaman kepunahan massal.

Hirarki Antroposen

            Kala Antroposen untuk saat ini masuk ke dalam daftar skala waktu geologi non-formal. Meskipun demikian, Antroposen tetap memiliki hirarkinya berdasarkan klasifikasi kronostratigrafi (strata) dan geokronologinya (Lih. Figure 5). Pada Figure 5 menjelaskan adanya kemungkinan posisi Antroposen pasca ratifikasi. Proses ratifikasi juga membutuhkan verifikasi data berdasarkan GSSA atau GSSP yang telah disepakati. Persoalan berikutnya ialah bagaimana penjelasan ‘pasti’ mengenai Antroposen sekali lagi bergantung pada apa yang akan terjadi di masa depan. Banyaknya pembuktian yang telah diajukan oleh AWG sebagai komunitas ilmiah Antroposen dan non-AWG dalam proses investigasi, penelitian, dan kritik ilmiah sudah cukup kuat sebagai suatu proses filosofis daripada proses geologis. Setidaknya, muncul kesadaran baru tentang apa yang telah terjadi dan kemungkinan yang akan terjadi dengan kondisi masyarakat dunia saat ini dengan segala kehendak antropogeniknya. 

Figure 5. Hirarki geologi Antroposen

Penutup: Peluang Masa Depan Antroposen

            Mengamini Antroposen sebagai sebuah epos baru bukan berarti kita harus sepakat dengan diskursus baru geologi. Akan tetapi, hal itu semacam keputusan epistemik kita untuk lebih memahami kembali tentang perubahan sistem bumi yang secara geologis nyata telah mengalami perubahan secara signifikan sejak transisi Holosen. Perubahan ini telah dibuktikan secara ilmiah meskipun hampir mendekati titik global-sinkronik sejak pertengahan abad ke-20. Penanda ini tidak dapat terlepas dari adanya Great Acceleration pertumbuhan manusia, industrialisasi, dan globalisasi. Interval waktu Antroposen mungkin hanya sejauh sepanjang   rentang sejarah tentang kemanusiaan. Informasi biostratigrafi yang ada pula tidak dapat terlepas dari kompleksitas sejarah trans-global antropogenik yang kini telah mulai mendominasi wilayah darat dan laut. Bahkan, usaha AWG yang bekerja layaknya komunitas arkeologi dalam rangka meneliti artefak/teknofosil patut diapresiasi sebagai alternatif untuk menentukan kronologi waktu Antroposen.

Telepas dari itu semua, pemahaman epistemik Antroposen tidak hanya dinyatakan secara geologi, bahkan beragam disiplin ilmu non-geologi ikut serta dalam perumusan definisi Antroposen. Meskipun kemudian pada akhirnya, kita harus berani menegaskan bahwa problem Antroposen ialah tantangan terhadap formalisasi baru dalam stratigrafi geologi, yang artinya harus sangat membutuhkan ketelitian ilmiah atas pertimbangan nama ‘Antroposen’, sehingga istilah itu tidak digunakan secara ‘serampangan’ atau name dropping.

Referensi

Balter, Michael. 2013. “Archaeologists Say the ‘Anthropocene’Is Here—but It Began Long Ago.”

Bobrov, V. A., A. A. Bogush, G. A. Leonova, V. A. Krasnobaev, and G. N. Anoshin. 2011. “Anomalous Concentrations of Zinc and Copper in Highmoor Peat Bog, Southeast Coast of Lake Baikal.” P. 1152 in Doklady Earth Sciences. Vol. 439. Springer.

Erlandson, Jon M. 2013. “Shell Middens and Other Anthropogenic Soils as Global Stratigraphic Signatures of the Anthropocene.” Anthropocene 4:24–32.

Fischer-Kowalski, Marina, Fridolin Krausmann, and Irene Pallua. 2014. “A Sociometabolic Reading of the Anthropocene: Modes of Subsistence, Population Size and Human Impact on Earth.” The Anthropocene Review 1(1):8–33.

Foley, Stephen F., Detlef Gronenborn, Meinrat O. Andreae, Joachim W. Kadereit, Jan Esper, Denis Scholz, Ulrich Pöschl, Dorrit E. Jacob, Bernd R. Schöne, and Rainer Schreg. 2013. “The Palaeoanthropocene–The Beginnings of Anthropogenic Environmental Change.” Anthropocene 3:83–88.

Gałuszka, Agnieszka, Zdzisław M. Migaszewski, and Jan Zalasiewicz. 2014. “Assessing the Anthropocene with Geochemical Methods.” Geological Society, London, Special Publications 395(1):221–38.

Glikson, Andrew. 2013. “Fire and Human Evolution: The Deep-Time Blueprints of the Anthropocene.” Anthropocene 3:89–92.

Grinevald, Jacques, John McNeill, Naomi Oreskes, Will Steffen, Collin P. .. Summerhayes, and Jan Zalasiewicz. 2019. “History and Development of the Anthropocene as a Stratigraphic Concept.” Pp. 1–40 in The Anthropocene as a Geological Time Unit: A Guide to the Scientific Evidence and Current Debate, edited by C. N. Waters, C. P. Summerhayes, J. Zalasiewicz, and M. Williams. Cambridge: Cambridge University Press.

Krachler, Michael, Jiancheng Zheng, David Fisher, and William Shotyk. 2009. “Global Atmospheric As and Bi Contamination Preserved in 3000 Year Old Arctic Ice.” Global Biogeochemical Cycles 23(3).

Lewis, Simon L., and Mark A. Maslin. 2015. “Defining the Anthropocene.” Nature 519(7542):171–80.

Malm, Andreas, and Alf Hornborg. 2014. “The Geology of Mankind? A Critique of the Anthropocene Narrative.” The Anthropocene Review 1(1):62–69.

Marx, Samuel K., Shaqer Rashid, and Nicola Stromsoe. 2016. “Global-Scale Patterns in Anthropogenic Pb Contamination Reconstructed from Natural Archives.” Environmental Pollution 213:283–98.

McNeill, John Robert, and Peter Engelke. 2016. The Great Acceleration: An Environmental History of the Anthropocene since 1945. Harvard University Press.

Radivojević, Miljana, Thilo Rehren, Ernst Pernicka, Dušan Šljivar, Michael Brauns, and Dušan Borić. 2010. “On the Origins of Extractive Metallurgy: New Evidence from Europe.” Journal of Archaeological Science 37(11):2775–87.

Rose, Neil L. 2015. “Spheroidal Carbonaceous Fly Ash Particles Provide a Globally Synchronous Stratigraphic Marker for the Anthropocene.” Environmental Science & Technology 49(7):4155–62.

Rubino, M., D. M. Etheridge, C. M. Trudinger, C. E. Allison, P. J. Rayner, I. Enting, R. Mulvaney, L. P. Steele, R. L. Langenfelds, and W. T. Sturges. 2016. “Low Atmospheric CO 2 Levels during the Little Ice Age Due to Cooling-Induced Terrestrial Uptake.” Nature Geoscience 9(9):691–94.

Ruddiman, William F. 2013. “The Anthropocene.” Annual Review of Earth and Planetary Sciences 41:45–68.

Smith, Bruce D., and Melinda A. Zeder. 2013. “The Onset of the Anthropocene.” Anthropocene 4:8–13.

Steffen, Will, Wendy Broadgate, Lisa Deutsch, Owen Gaffney, and Cornelia Ludwig. 2015. “The Trajectory of the Anthropocene: The Great Acceleration.” The Anthropocene Review 2(1):81–98.

Steffen, Will, Paul J. Crutzen, and John R. McNeill. 2007. “The Anthropocene: Are Humans Now Overwhelming the Great Forces of Nature.” AMBIO: A Journal of the Human Environment 36(8):614–21.

Swindles, Graeme T., Elizabeth Watson, T. Edward Turner, Jennifer M. Galloway, Thomas Hadlari, Jane Wheeler, and Karen L. Bacon. 2015. “Spheroidal Carbonaceous Particles Are a Defining Stratigraphic Marker for the Anthropocene.” Scientific Reports 5(1):1–6.

Walker, Mike J. C., Max Berkelhammer, Svante Björck, Les C. Cwynar, David A. Fisher, Antony J. Long, Jone J. Lowe, Rewi M. Newnham, Sune O. Rasmussen, and Harvey Weiss. 2012. “Formal Subdivision of the Holocene Series/Epoch: A Discussion Paper by a Working Group of INTIMATE (Integration of Ice‐core, Marine and Terrestrial Records) and the Subcommission on Quaternary Stratigraphy (International Commission on Stratigraphy).” Journal of Quaternary Science 27(7):649–59.

Wrigley, Edward Anthony. 2010. Energy and the English Industrial Revolution. Cambridge University Press.

Zalasiewicz, Jan, Will Steffen, Reinhold Leinfelder, Mark Williams, and Colin Waters. 2017. “Petrifying Earth Process: The Stratigraphic Imprint of Key Earth System Parameters in the Anthropocene.” Theory, Culture & Society 34(2–3):83–104.

Zalasiewicz, Jan, Colin N. Waters, Mark Williams, Anthony D. Barnosky, Alejandro Cearreta, Paul Crutzen, Erle Ellis, Michael A. Ellis, Ian J. Fairchild, and Jacques Grinevald. 2015. “When Did the Anthropocene Begin? A Mid-Twentieth Century Boundary Level Is Stratigraphically Optimal.” Quaternary International 383:196–203.

Catatan Antroposen #11

The Stratigraphy of Plastics and Their Preservation in Geological Records

Reinhold Leinfelder and Juliana Assuncao Ivar do Sul (2019: 147-155)

Plastik menjadi salah satu temuan paling memukau bagi umat manusia sepanjang akhir abad ke-20 sampai hari ini. Karakteristik plastik yang ringan, kuat, dan mudah diproduksi menjadi beragam varian yang menjadikannya semakin populer. Plastik mulai diproduksi secara massal dan menyebar ke seluruh dunia setelah perang dunia kedua. Kebutuhan akan plastik lambat laun merambat menjadi bagian esensial dari beragam barang-barang yang mendukung kehidupan manusia. Plastik sangat mungkin menjadi penanda utama stratigrafi untuk Antroposen, terlebih lagi mayoritas limbah plastik akan menjadi tekno-fossil di area Tempat Pembuangan Akhir (TPA) (Tansel and Yildiz 2011).

Plastik sebagai kelompok tekno-fossil pembeda dari fosil lainnya karena plastik tergantung pada komposisi penyusunnya. Plastik mungkin akan sangat mudah terurai atau sangat sulit terurai pada setiap proses dekomposisinya. Plastik juga membawa konsekuensi atas pelepasan gas beracun serta menyerap molekul organik maupun anorganik sebagaimana persistent organic pollutants (POPs), seperti dioksin (Lithner, Larsson, and Dave 2011) dan logam, seperti Kadmium (Cd) dan Timbal (Pb) (Massos and Turner 2017).

Proses pembuatan plastik sebagai produk polimerisasi sintetik maupun semi-sintetik tetap membutuhkan sekitar 10 % dari produksi minyak dan gas tahunan. Proses produksi ini melibatkan banyak komponen fisik teknosfer termasuk penggunaan energi bahan bakar fosil sebagai bagian inti dari proses produksinya. Plastik sangat jelas dapat ditemukan hampir diseluruh belahan dunia yang berarti dapat menjadikannya indikator utama Antroposen. Kita semua bisa menemukan plastik tidak hanya di suatu pemukiman padat penduduk tetapi juga telah menyebar di sepanjang aliran sungai, pedalaman hutan dan permukaan lautan juga mengendap di tanah-tanah pertanian. Mulai dari proses produksi sampai fungsi kegunaannya, plastik telah ikut berkontribusi meningkatkan CO2 Antropogenik. Sebagai bagian dari teknosfer, plastik di masa depan tidak hanya terdistribusikan secara global tetapi juga dapat mempengaruhi proses erosi dan re-sedimentasi yang letaknya tidak jauh dari tempat pembuangan akhir (Geyer, Jambeck, and Law 2017; Zalasiewicz et al. 2016).

Figure 1. Model konseptual transportasi plastik dari hulu ke hilir.

Produksi dan degradasi material plastik dari plastik makro menjadi mikro-plastik dipengaruhi oleh proses ‘siklus’ yang secara berkelanjutan dari proses produksi, penggunaan, dan penyebaran limbahnya. Plastik menyebar tidak hanya di daratan tetapi juga lautan yang terbagi menjadi bagian permukaan sampai laut terdalam yang membentuk sedimentasi mikro-plastik tersendiri. Kesulitan lain meneliti siklus plastik ialah pada tataran dimensi ukuran plastik yang mengalami proses siklus secara terartur. Umumnya, plastik akan terutai ketika terkena radiasi UV dalam waktu lama di permukaan perairan laut (Andrady 2011) yang kemudian menyebabkan plastik semakin terurai menjadi komponen yang paling kecil atau mikroplastik (< 5 mm) (Zalasiewicz et al. 2016). Produksi plastik tahunan meningkat lebih dari 100 kali dari 2 juta metrik ton pada tahun 1950an sampai 322 metrik ton di tahun 2015. Keseluruhan produk plastik mengandung beragam kandungan kimia seperti PET, polyamide, dan polyarcrylate plymers. Temuan terbaru bahkan menunjukan bahwa proses penguraian plastik tidak hanya terjadi berhenti menjadi mikro-plastik bahwan mengarah menjadi nano-plastik yang diproduksi secara intens pada banyak produk-produk kecantikan maupun kesehatan (Hanvey et al. 2017). Artinya, terdapat tantangan baru bagi para ahli Antroposen untuk melihat kembali bagaimana proses fragmentasi plastik pada suatu wilayah sedimentasi geologi tertentu.

Proses redistribusi plastik tidak dapat terlepas dari peran manusia saat proses penggunaannya. Plastik tidak seperti material kaca, logam, atau keramik yang proses berpindahnya bergantupada intervensi manusia, plastik dapat berpindah hanya karena adanya arus aliran air atau bahkan angin (Gasperi et al. 2015). Isu ini semakin diperkuat karena timbulnya beragam masalah lingkungan yang disebabkan karena adanya limbah-limbah plastik. Temuan mikro-plastik dapat diekstrasi dari air dan sedimentasi melalui penyaringan atau pemisahan kepadatan menggunakan sentrifus dan solusi high-desity (Corcoran et al. 2015; Hanvey et al. 2017; Nuelle et al. 2014; Woodall et al. 2014). Distribusi mikroplastik lebih banyak di laut daripada darat (Eerkes-Medrano, Thompson, and Aldridge 2015; Rillig 2012; Thompson et al. 2009). Sedangkan, nanoplastik (< 100 nm) sangat mungkin mempengaruhi pertumbungan dan reproduksi beberapa invertebrata air (Besseling et al. 2014; Della Torre et al. 2014; Velzeboer, Kwadijk, and Koelmans 2014). Partikel nano-plastik sangat sulit untuk menelitinya secara teknis karena dimensinya yang begitu kecil dan tidak mudah terisolasi pada sedimen tertentu.

Sedimentasi yang mengadung plastik juga ditemukan tidak hanya di tempat pembuangan akhir (Ford et al. 2014) tetapi juga hampir merata sampai ke permukaan tanah pemukiman (Rillig 2012; Thompson et al. 2009) dan pertanian (Hussain and Hamid 2003). Mikroplastik juga muncul di beberapa tempat akuatik seperti sungai dan danau yang terbawa karena angin, badai dan limbah pertanian (Eriksen et al. 2013; Free et al. 2014; Imhof et al. 2013; Morritt et al. 2014; Zbyszewski, Corcoran, and Hockin 2014). Temuan di sungai menunjukan bahwa kantong plastik seringkali terjebak di lapisan sedimen sungai sedangkan mikroplastik cenderung ikut terbawa arus sampai ke laut (Corcoran et al. 2015; Zbyszewski et al. 2014). Fenomena ini telah terjadi semenjak plastik mulai diproduksi secara global dan massal yang dampaknya secara langsung mempengaruhi kehidupan ekosistem laut dan darat. Temuan mikroplastik bahkan sudah sampai di lautan es kutub utara yang terbawa dari Samudera Pasifik (Obbard et al. 2014).

Figure 2. Material penyusun plastik

Hasil penelitian (Waters et al. 2016; Zalasiewicz et al. 2015, 2017) menyarankan bahwa plastik menjadi kandidat indikator yang baik untuk mengindentifikasi endapan sedimentasi Antroposen, sejak kemunculannya paska-Perang Dunia kedua sampai sekarang (Figure 2). Skala waktu ‘kehidupan’ satu plastik dapat bertahan lama, tidak hanya sekedar digunakan untuk memudahkan aktivitas manusia lalu menjadi limbah tetapi juga dapat mempercepat degradasi karena proses pembakaran maupun paparan sinar ultraviolet. Plastik juga memiliki keunikan tersendiri di mana sangat sulit terurai oleh mikrobiologi. Tidak hanya mencemari lingkungan, plastik juga dapat menjadi ‘fosil’ baru yang terurai dengan matris organik, tulang, dan kayu atau menjadi fosil-plastiknya sendiri.

Penutup

Plastik sekarang tidak dapat terlepas dari kehidupan sehari-hari. Plastik yang telah digunakan pada umumnya mulai masuk ke dalam sedimen endapan tidak hanya di daratan tetapi juga perairan, yang pada akhirnya membentuk sedimen Antroposen sendiri sebagai tekno-fossil dengan beragam variasi bentuk, ukuruan, dan komposisi kimia. Catatan yang harus kemudian dilakukan ialah menganalisis persebaran atau distribusi plastik dari hulu ke hilir. Pada saat yang sama, permukaan sedimen yang mengandung plastik dapat menjadi titik sumber horizon global yang memiliki korelasi sinkronik untuk membantu menentukan titik waktu Antroposen. Selain itu, beragam jenis plastik mempu merepresentasikan subdivisi baru dalam endapan Antroposen (lih. Figure 2). Terlepas peran plastik sebagai bentuk riset Antroposen terbaru, plastik juga menimbulkan ancaman baru bagi organisme termasuk manusia. Acaman ini terbukti dari sulitnya menghilangkan jejak plastik baik di dalam sedimen maupun proses daur ulang pada jangka waktu yang lama. Plastik akan menjadi dua indikator baru bagi manusia yaitu untuk mendefinisikan Antroposen dan sekaligus untuk memantau potensi keberhasilan manusia dalam mengurangi dampak plastik terhadap lingkungan di masa depan. Oleh karena itu, di masa depan sangat mungkin akan ditemukan zona pos-plastik untuk menjelaskan sub-divisi baru Antroposen.

            Referensi

Andrady, Anthony L. 2011. “Microplastics in the Marine Environment.” Marine Pollution Bulletin 62(8):1596–1605.

Besseling, Ellen, Bo Wang, Miquel Lürling, and Albert A. Koelmans. 2014. “Nanoplastic Affects Growth of S. Obliquus and Reproduction of D. Magna.” Environmental Science & Technology 48(20):12336–43.

Corcoran, Patricia L., Todd Norris, Trevor Ceccanese, Mary Jane Walzak, Paul A. Helm, and Chris H. Marvin. 2015. “Hidden Plastics of Lake Ontario, Canada and Their Potential Preservation in the Sediment Record.” Environmental Pollution 204:17–25.

Eerkes-Medrano, Dafne, Richard C. Thompson, and David C. Aldridge. 2015. “Microplastics in Freshwater Systems: A Review of the Emerging Threats, Identification of Knowledge Gaps and Prioritisation of Research Needs.” Water Research 75:63–82.

Eriksen, Marcus, Sherri Mason, Stiv Wilson, Carolyn Box, Ann Zellers, William Edwards, Hannah Farley, and Stephen Amato. 2013. “Microplastic Pollution in the Surface Waters of the Laurentian Great Lakes.” Marine Pollution Bulletin 77(1–2):177–82.

Ford, Jon R., Simon J. Price, A. H. Cooper, and Colin N. Waters. 2014. “An Assessment of Lithostratigraphy for Anthropogenic Deposits.” Geological Society, London, Special Publications 395(1):55–89.

Free, Christopher M., Olaf P. Jensen, Sherri A. Mason, Marcus Eriksen, Nicholas J. Williamson, and Bazartseren Boldgiv. 2014. “High-Levels of Microplastic Pollution in a Large, Remote, Mountain Lake.” Marine Pollution Bulletin 85(1):156–63.

Gasperi, Johnny, Rachid Dris, Cécile Mirande-Bret, Corinne Mandin, Valérie Langlois, and Bruno Tassin. 2015. “First Overview of Microplastics in Indoor and Outdoor Air.”

Geyer, Roland, Jenna R. Jambeck, and Kara Lavender Law. 2017. “Production, Use, and Fate of All Plastics Ever Made.” Science Advances 3(7):e1700782–e1700782.

Hanvey, Joanne S., Phoebe J. Lewis, Jennifer L. Lavers, Nicholas D. Crosbie, Karla Pozo, and Bradley O. Clarke. 2017. “A Review of Analytical Techniques for Quantifying Microplastics in Sediments.” Analytical Methods 9(9):1369–83.

Hussain, Ikram, and Halim Hamid. 2003. “Plastics in Agriculture.” Plastics and the Environment. Wiley, Hoboken 185–209.

Imhof, Hannes K., Natalia P. Ivleva, Johannes Schmid, Reinhard Niessner, and Christian Laforsch. 2013. “Contamination of Beach Sediments of a Subalpine Lake with Microplastic Particles.” Current Biology 23(19):R867–68.

Lithner, Delilah, Åke Larsson, and Göran Dave. 2011. “Environmental and Health Hazard Ranking and Assessment of Plastic Polymers Based on Chemical Composition.” Science of the Total Environment 409(18):3309–24.

Massos, Angelo, and Andrew Turner. 2017. “Cadmium, Lead and Bromine in Beached Microplastics.” Environmental Pollution 227:139–45.

Morritt, David, Paris V Stefanoudis, Dave Pearce, Oliver A. Crimmen, and Paul F. Clark. 2014. “Plastic in the Thames: A River Runs through It.” Marine Pollution Bulletin 78(1–2):196–200.

Nuelle, Marie-Theres, Jens H. Dekiff, Dominique Remy, and Elke Fries. 2014. “A New Analytical Approach for Monitoring Microplastics in Marine Sediments.” Environmental Pollution 184:161–69.

Obbard, Rachel W., Saeed Sadri, Ying Qi Wong, Alexandra A. Khitun, Ian Baker, and Richard C. Thompson. 2014. “Global Warming Releases Microplastic Legacy Frozen in Arctic Sea Ice.” Earth’s Future 2(6):315–20.

Rillig, Matthias C. 2012. “Microplastic in Terrestrial Ecosystems and the Soil?”

Tansel, Berrin, and Banu Sizirici Yildiz. 2011. “Goal-Based Waste Management Strategy to Reduce Persistence of Contaminants in Leachate at Municipal Solid Waste Landfills.” Environment, Development and Sustainability 13(5):821–31.

Thompson, Richard C., Charles J. Moore, Frederick S. Vom Saal, and Shanna H. Swan. 2009. “Plastics, the Environment and Human Health: Current Consensus and Future Trends.” Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences 364(1526):2153–66.

Della Torre, C., E. Bergami, A. Salvati, C. Faleri, P. Cirino, K. A. Dawson, and I. Corsi. 2014. “Accumulation and Embryotoxicity of Polystyrene Nanoparticles at Early Stage of Development of Sea Urchin Embryos Paracentrotus Lividus.” Environmental Science & Technology 48(20):12302–11.

Velzeboer, I., CJAF Kwadijk, and A. A. Koelmans. 2014. “Strong Sorption of PCBs to Nanoplastics, Microplastics, Carbon Nanotubes, and Fullerenes.” Environmental Science & Technology 48(9):4869–76.

Waters, Colin N., Jan Zalasiewicz, Colin Summerhayes, Anthony D. Barnosky, Clément Poirier, Agnieszka Gałuszka, Alejandro Cearreta, Matt Edgeworth, Erle C. Ellis, and Michael Ellis. 2016. “The Anthropocene Is Functionally and Stratigraphically Distinct from the Holocene.” Science 351(6269).

Woodall, Lucy C., Anna Sanchez-Vidal, Miquel Canals, Gordon L. J. Paterson, Rachel Coppock, Victoria Sleight, Antonio Calafat, Alex D. Rogers, Bhavani E. Narayanaswamy, and Richard C. Thompson. 2014. “The Deep Sea Is a Major Sink for Microplastic Debris.” Royal Society Open Science 1(4):140317.

Zalasiewicz, Jan, Colin N. Waters, Juliana A. Ivar do Sul, Patricia L. Corcoran, Anthony D. Barnosky, Alejandro Cearreta, Matt Edgeworth, Agnieszka Gałuszka, Catherine Jeandel, and Reinhold Leinfelder. 2016. “The Geological Cycle of Plastics and Their Use as a Stratigraphic Indicator of the Anthropocene.” Anthropocene 13:4–17.

Zalasiewicz, Jan, Colin N. Waters, Mark Williams, Anthony D. Barnosky, Alejandro Cearreta, Paul Crutzen, Erle Ellis, Michael A. Ellis, Ian J. Fairchild, and Jacques Grinevald. 2015. “When Did the Anthropocene Begin? A Mid-Twentieth Century Boundary Level Is Stratigraphically Optimal.” Quaternary International 383:196–203.

Zalasiewicz, Jan, Mark Williams, Colin N. Waters, Anthony D. Barnosky, John Palmesino, Ann-Sofi Rönnskog, Matt Edgeworth, Cath Neal, Alejandro Cearreta, and Erle C. Ellis. 2017. “Scale and Diversity of the Physical Technosphere: A Geological Perspective.” The Anthropocene Review 4(1):9–22.

Zbyszewski, Maciej, Patricia L. Corcoran, and Alexandra Hockin. 2014. “Comparison of the Distribution and Degradation of Plastic Debris along Shorelines of the Great Lakes, North America.” Journal of Great Lakes Research 40(2):288–99.