Catatan Antroposen #7

Stratigraphy and the Geological Time Scale

Jan Zalasiewicz et al., (2019: 11-31)

Skala Waktu Geologi dibentuk berdasarkan bukti biologi, kimia atau fisik yang ada di batu dengan strata tertentu. Penentuan skala waktu geologi tidak dapat terlepas dari pendekatan stratigrafi tertentu. Stratigrafi digunakan untuk menyimpulkan sejarah geologi melalui jejak bebatuan yang ada. Bukti strata berdasarkan dua klasifikasi yaitu melalui geokronologi (penentuan interval waktu dengan melihat peristiwa tertentu) dan kronostratigrafi (klasifikasi material yang terekam membentuk strata tertentu). Contoh geokronologi: Periode Kuarter muncul sebab adanya peristiwa glasial yang muncul di belahan bumi selatan dan utara. Contoh kronostratigrafi: menyimpulkan Sistem Kuarter dibentuk karena strata-strata geologi selama Periode Kuarter. 

Perubahan unit waktu juga dapat berubah ketika adanya temuan bukti-bukti yang mendukung, misalnya perubahan waktu permulaan Pleistosen yang terjadi sekitar 2.6 juta tahun lalu menggantikan waktu lama sekitar 1.8 juta tahun lalu secara formal (Gibbard et al., 2010). Perubahan ini lantas secara simultan akan menggeser waktu Epos Pleistosen dan Seri Pleistosen. Artinya, penandaan waktu geologi dapat berubahan kapanpun sering temuan bukti material baru yang mendukung. Hal ini juga berlaku bagi Antroposen yang memerlukan bukti material untuk membentuk epos dan serinya secara baik.

Untuk saat ini, Antroposen mungkin ditempatkan pada skala waktu yang lain, meskipun kita memahami bahwa Skala Waktu Geologis selalu bersifat hierarkis yang tersusun dari unit skala waktu terkecil yang lalu dikelompokkan secara bersamaan menjadi unit yang terbesar lihat Figure 1. Unit geokronologi terbesar adalah eons dengan eonothems sebagai pasangan kronostratigrafi materialnya. Saat ini kita hidup di Eon Fanerozoikum (~ 541 juta tahun lamanya) yang awalnya terkait dengan kemunculan diversitas organisme metazoa. Eon dibagi lagi menjadi era sehingga eonothems menjadi erathems. Era Kenozoikum adalah era yang bermula ketika meteorit besar mengakhiri dunia Mesozoikum di mana dinosaurus non-unggas  di daratan dan ammonit di lautan sekitar 66 juta tahun lalu mengalami kepunahan. Setalah itu, lebih kecil lagi kita hidup di periode Kuarter di mana interval waktu sistem Bumi yang lebih dinamis dari fase glasial (Epos Pleistosen) menuju ke Epos Holosen. Seri Holosen tidak banyak tolak oleh ahli geologi karena bukti-buktinya sebagian besar dapat ditemukan di sedimentasi bebatuan, delta, dan es yang mengendap dan dapat dibedakan selama proses interglasial yang terbentuk. Alhasil, catatan Holosen lebih kaya secara arkeologis dan geologis. .

Figure 1. Bagan Kronostratigrafi Internasional (versi update: 2020) https://stratigraphy.org/icschart/ChronostratChart2020-03.pdf


Skala Waktu Geologi membutuhkan beragam klasifikasi melalui pendekatan stratigrafi tertentu antara lain unit litostratigrafi, biostratigrafi, kemostratigrafi, dan magnetostratigrafi. Litostratigrafi mencari basis unit karakteristik fisik misalnya tubuh batuan yang sifatnya sinkronik (misalnya berdasarkan lapisan abu vulkanik) atau sifatnya diakronik (pengendapan yang progresif). Biostratigrafi lebih mengarah pada korelasi suatu strata berdasarkan kemunculan atau kepunahan suatu spesies tertentu yang berpijak pada temuan fosil tertentu. Kemostratigrafi menekankan perbedaan pola kimiawi pada strata dengan cara membandingkan stabiltas isotop misalnya isotop karbon atau isotop oksigen. Terakhir, magnetostatigrafi melihat pola pembalikan medan magnetik bumi. Beberapa pendekatan di atas digunakan untuk membangun analisis yang saling berkorelasi untuk menentukan suatu titik waktu secara valid.

Strategi yang paling menentukan untuk menentukan skala waktu geologi Antroposen ialah dengan cara membandingkan suatu pola kejadian di waktu masa lalu dengan masa kini. Artinya, Antroposen mungkin untuk dapat meminjam pola kejadian yang ada misalnya penanda kimia, temuan fosil tertentu, perubahan isotop global, dan pemanasan global. Secara umum, unit kronostratigrafi di Antroposen lebih melihat effect daripada cause, yang menjadikan tantangan tersendiri di mana pola Antroposen harus lebih memperlihatkan segi ‘dampak’ daripada penyebab yang ada. Sayangnya, kita selalu menempatkan manusia sebagai penyebaban.

Semisal kita mencari dampak yang terjadi maka yang sangat mungkin ialah melihat kembali bagaimana batasan antara Pleistosen-Holosen itu terjadi. Sedangkan untuk penamaan, Antroposen tidak menjadi masalah secara esensial karena beberapa nama skala waktu geologi juga terinspirasi dari suatu dominasi peristiwa atau spesies tertentu, misalnya unit waktu Kuarter yang terbagi menjadi Pleistosen yang artinya ‘still more new’ dan Holosen ‘fully new’ sudah menandakan bahwa penanda nama tidak menjadikan masalah bagi investigasi ilmiah geologi. Artinya, Antroposen sangat mungkin untuk diratifikasi asalkan memiliki bukti-bukti geologi yang kuat walaupun faktanya ada banyak ragam nama yang menunjukan potensi aktivitas antropogenik misalnya Antrosen (Revkin, 1992), Homogenosen (Samways, 1999), Myxosen (Pauly, 2010), Plastisen, Pyrosen, Plantationosen, Kapitalosen, Chthulusen (Haraway, 2015), dan lain sebagainya.

Perumusan Antroposen sudah sejatinya mengikuti kaidah geologi yang ada di mana berdasarkan ciri unit kronostratigrafi kapan awal mula Antroposen berlangsung  (secara waktu fromal geokronologi) dan basis (secara paralel atas unit waktu-batu formal kronostratigrafi) serta harus selaras atau sinkronik dengan suatu peristiwa global yang dapat dibuktikan menurut ‘holy-trinity’: batu, fosil, dan waktu. Dengan demikian, Antroposen tidak lagi bergantung pada kerja aktivitas manusia tetapi lebih harus melihat pada aspek bukti geologinya misal melihat suatu perubahan global yang signifikan dari sudut pandang disrupsi atau perturbasi karbon dan siklus nitrogen.

Figure 2. Batas Peristiwa Kambrium dengan persitiwa kemungkinan batas Antroposen (Williams et al. 2014 dalam Zalasiewicz et al., 2019).

Adapun beberapa contoh pendefinisian unit skala waktu geologi dan perbandingannya untuk melihat sejauh mana potensi geologi Antroposen. Pertama, transisi dari Prakambrium (secara teknis dari Eon Proterozoik) ke Eon Phanerozoik yang disebabkan karena kemunculan bioturbasi atau pelapukan sedimen secara biologi di dasar laut sedangkan bila dibandingkan dengan transisi Holosen ke Antroposen maka yang sangat dimungkinkan adanya ‘antroturbasi’ karena aktivitas antroponik di permukaan atau bawah tanah. Kedua, transisi Ordovisium-Silurian sebagaimana teerjadinya perubahan secara drastis yang mengarah pada interglasial, kenaikan air laut, dan kepunahan massal di lautan. Apabila merujuk pada transisi terebut, Antroposen juga memiliki ciri khas yang kurang lebih sama di mana terjadinya peningkatan isotop karbon sebagai hasil pembakaran bahan bakar fosil sejak Revolusi Industrial serta berlanjut ditemukkannya material baru yang tidak pernah ada sebelumnya seperti plasik dan novel chemical—artificial radionuclides. Ketiga, transisi batas Mesozoik-Kenozoik memperlihat bagaimana pengaruh kepunahan kelima terjadi yang meninggalkan jejak level maksimal iridium yang meninggalkan jejaknya pada beberapa temuan fosil dan bebatuan. Artinya, jejak percobaan nuklir di pertengahan abad ke-20 sangat memungkinkan sebagai bentuk penanda waktu geologi baru. Keempat, transisi Paleosen-Eosen terkait teori Paleocene-Eocene Thermal Maximun (PETM) yang mempengaruhi proses perturbasi global dan pengasaman air laut di mana peristiwa tersebut juga sedang berlangsung di epos Antroposen. Terakhir, batasan Pleistosen-Holosen sebagai waktu geologis terdekat sehingga sangat memungkinkan untuk melihat lebih mendalam bagaimana proses aktivitas antropogenik ikut berperan aktif meskipun tidak secara dominan mempengaruhi transisi tersebut. Pada batasan yang terakhir, mulai terlihat peran manusia misalnya sejak masa berburu dan meramu: manusia ikut bertanggung jawab atas ‘kepunahan sebagian spesies purba’.

Penutup-Catatan

Hal yang dapat kita pelajari bersama yakni proses ratifikasi bukanlah perkara sederhana. Diperlukan banyak bukti tidak hanya secara konseptual tetapi juga secara ilmiah-geologis untuk menunjukkan di mana letak ‘golden spike’ Antroposen. Untuk saat ini, Antroposen dapat diterima sebagai konsep, wacana, atau bahkan pegangan bagi siapapun yang telah menyadari bahwa waktu saat kita membaca artikel ini akan berbeda dengan waktu 11.700 tahun lalu. Antroposen nyata sebagai realitas ‘keberadaan relasi manusia dan geologi’ tetapi tidak sebagai realitas unit waktu geologi yang utuh.

Referensi

Gibbard, P. L., Head, M. J., & Walker, M. J. C. (2010). Formal ratification of the Quaternary System/Period and the Pleistocene Series/Epoch with a base at 2.58 Ma. Journal of Quaternary Science, 25(2), 96–102.

Haraway, D. (2015). Anthropocene, capitalocene, plantationocene, chthulucene: Making kin. Environmental Humanities, 6(1), 159–165.

Pauly, D. (2010). 5 easy pieces: the impact of fisheries on marine ecosystems. Island press.

Revkin, A. (1992). Global warming: understanding the forecast. Abbeville Press New York.

Samways, M. (1999). Translocating fauna to foreign lands: here comes the Homogenocene. Journal of Insect Conservation, 3(2), 65–66.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.