Catatan Antroposen #5

Finding a “Golden Spike” to Mark the Anthropocene

SA Elia (2018: 19-28) https://doi.org/10.1016/B978-0-12-809665-9.09935-3

Untuk mengakhiri perdebatan Antroposen maka diperlukan suatu legitimasi pendekatan geologi. Salah satunya melalui pencarian golden spike atau titik paku emas yang dapat didefinisikan melalui Global Stratotype Sections and Points (GSSPs). GSSP membangun batas bawah (lower boundaries) semua tahap geologi berdasarkan fosil diskrit serta peristiwa fisik yang saling berkorelasi dan terekam pada jejak bebatuan (Gradstein and Ogg, 2005). Setiap GSSP menjelaskan pembagian waktu geologi. Misalnya, lebih dari 25 tahun lalu telah ditemukan golden spike pertama yang membatasi Devonian dan Silurian yang berlokasi di Ceko. Mengapa GSSP diterima para ahli geolog? Karena GSSP dapat dijelaskan dengan multi kriteria yang sifatnya sinkronik secara global. Adapun beberapa kriterianya antara lain: pembalikan geomagnetik, perubahan nilai isotop global, dan kemunculan taksa fosil yang menggambarkan persebaran makhluk hidup tertentu secara luas. Sedangkan pada kasus Antroposen, tidak semua kriteria dapat dipenuhi, namun ada satu kriteria paling menonjol yang muncul pada sejak tahun 1950an. Perubahan global dalam nilai isotop stabil (dan radioaktif), sangat jelas menandai perubahan dramatis dalam sistem bumi. Tetapi, perlu menjadi catatan bahwa fenomena yang baru ini tidak dapat didukung dengan sejumlah catatan sisa-sisa fosil makhluk hidup tertentu terlebih pada aspek kriteria perubahan medan magnetik yang menandai perlintasan Holosen-Antroposen. Lantas, apakah epos Antroposen dapat diterima begitu saja?

Perlu bukti GSSP formal?

Menurut Remane et al., (1996) The International Commission on Stratigraphy telah memberikan perincian kriteria terkait standar kronostratigrafi global sebagai berikut:

  1. GSSP harus menjelaskan batas terbawah (the lower boundary) dari suatu tahap geologi tertentu.
  2. The lower boundary dapat dijelaskan dengan penanda utama atau primary marker, tetapi juga dapat dengan pendanda sekunder (secondary markers) yang mendukung seperti misalnya: fosil, kimia, atau penanda geofisik lainnya.
  3. Horizon penanda batas seharusnya dapat ditandai secara radiometrik.
  4. Penanda harus secara regional dan secara global cosynchronous
  5. Sedimentasi harus berkelanjutan
  6. Urutan (sequence) tidak dipengaruhi oleh tektonik dan gerak sedimentasi serta metamorfosisme.
  7. Dapat diakses secara terbuka, berlokasi secara jelas, dan dalam kondisi baik untuk secara ekstensif cukup untuk penelitian berkelanjutan (Remane et al., 1996).

Berpijak pada standar kriteria GSSP, untuk kasus Antroposen, Ellias (2018) hanya menegaskan tidak semua (tujuh standar kriteria) ada pada tesis Antoposen. Pertama, titik golden spike Antroposen masih diperdebatakan, hal itu dikarenakan keunikan epos Antroposen yang masih berproses dan belum dapat diprediksi kapan berakhirnya. Kedua, penanda utama batas Antroposen belum dapat dipastikan secara jelas, termasuk penanda sekunder seperti fosil yang hanya dapat diaplikasikan pada epos sebelumnya, sedangkan Antroposen masih berproses. Salah satu aspek ini yang memaksa para ahli geologi untuk ‘think outside the box’ di mana harus mampu menggali kembali aspek yang baru atau di luar standar kriteria yang ada, misalnya dengan menyilangkan temuan non-geologis lainnya. Ketiga, penanggalan radiometrik secara formal harus dimiliki oleh Antroposen agar tidak jatuh hanya pada penjelasan diskriptif. Penanda ini dapat ditemui dari jejak-jejak pasca perang dunia kedua terlebih saat uji-coba nuklir.

Keempat, penanda Antroposen lebih cenderung pada temuan-temuan yang sifatnya sedimentasi lingkungan tertentu yang secara regional lebih terlihat namun secara global belum dapat disimpulkan saling bertalian atau sinkronik. Artinya, bukti Antroposen sangatlah beragam dan banyak maka perlu adanya pendekatan khusus untuk memilah milih kembali. Kelima, keberpanjutan sedimentasi menjadi kesulitan tersendiri bagi epos Antroposen sendiri, karena secara umum semua epos geologi ialah prehistoris. Investigasi jejak rekam geologi akan sulit jika belum menemukan kapan Antroposen dimulai. Keenam, karena Antroposen baru dimulai maka jejak-jejak sedimentasinya masih belum terganggu karena proses tektonik atau metamorfosis. Simpulan yang muncul terhadap GSSP epos Antroposen ialah bahwa Antroposen tidak secara penuh dapat cocok dengan model klasik yang selalu mengarah pada peristiwa masa lalu. Antroposen mungkin akan tepat jika representasikan dengan perubahan iklim global saat ini, sebagaimana masa transisi Pleistosen akhir ke Holosen, atau mencari bukti-bukti kepunahan massal yang sedang terjadi saat ini, meskipun secara geologis bukti kepunahan massal tidak dapat diterima begitu saja.

Pencarian Bukti Geologi

Geologi Antroposen secara intuitif memiliki ‘sinyal’ kuat tetapi tidak secara penuh dapat direkoginisi melalui pendekatan geologi. Adapun beberapa temuan ‘sinyal’ akan bukti-bukti geologi Antroposen. Pertama, bukti Antroposen dimulai merujuk pada keunculan polutan kimiawi yang memberikan dampak negatif pada lingkungan sejak tahun 1950an. Tesis ‘1950’ dipertahankan karena telah ditemukan beragam isotop baru termasuk dua isotop plutonium 239Pu dan 240Pu. Selain itu, juga meningkatnya penggunaan nitrogen dalam pupuk kimia sejak tahun 1950an yang mengarahkan pada perubahan siklus nitrogen, Persistent organic Polutants (POPs), polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs), serta  polychlorinated Biphenyls (PCBs) juga mempengaruhi bentukan sedimentasi baru yang semuanya berasal dari limbah pestisida atau penggunaan perlengkapan rumah tangga elektrik. Bukti kedua, ialah perubahan struktur lahan yang disebabkan karena aktivitas antropogenik, mulai dari alih fungsi lahan untuk limbah, reklamasi lahan, dan termasuk pertanian. Hal ini juga disebabkan karena meningkatnya jumlah populasi manusia sehingga perubahan fungsi lahan semakin signifikan. Contoh paling menarik yakni mega-proyek The London Crossrail Project yang mengubah struktur dasar tahan tidak hanya permukaan tetapi masuk hingga sejauh 40 meter di bawah tanah.

Figure 1. Cross-section tanah dan sekuensi lapisan tanah yang disebabkan oleh aktivitas manusia.

Ketiga, adanya tanda isotopik khas yang muncul selama perkembangan peradaban manusia mulai dari penggunaan timah dan belerang sampai temuan tambang batu bara. Isotop belerang misalnya dapat digunakan untuk melacak polusi karena alam berasal dari letusan gunung berapi atau kebakaran hutan, namun aktivitas antropogenik muncul dari adanya pembakaran batubara di pembangkit listrik yang meningkatkan jumlah fly-ash. Meningkatnya isotop karbon dan nitrogen sejak Revolusi Industri terlebih sejak tahun 1950an yang bersumber dari konsumsi bahan bakar fosil serta produksi pupuk yang meningkat. Tingkat keasaam air laut ikut berubah seiring meningkatnya siklus kimiawi antropogenik secara drastis sejak 50 juta tahun terakhir. Keempat, spherical carbonaceous particles (SCPs) sebagai penanda Antroposen lainnya sebagai bagian dari fly-ash yang terbentuk dari pembakaran suhu tinggi bahan bakar fosil sebagaimana minyak dan batu bara yang digunakan untuk mendukung suplai energeni termasuk listrik. Hari ini listrik menjadi kebutuhan utama manusia. Kelima, siklus hidrologi, permintaan sumber daya air di seluruh dunia sangatlah besar dan tidak sebanding dengan siklus air atau pemerataan sumber mata air ang ada. Bukti Antroposen dapat dilacak melalui perubahan siklus hidrologis termask bukti material antropogenik yang dapat ditemukan di lapisan sedimentasi es di Antarika dan Greenland. Terakhir, ialah perubahan landaskap yang mengarahkan pada relasi antara perkembangan peradaban manusia dan perubahan atau transformasi landaskap yang ada, selain itu karena adanya perubahan landaskap ini maka secara tidak langsung telah mengubah habitat makhluk hidup lain yang menyebabkan rusaknya rantai kehidupan. Kerusakan ini membawa dampak pada kelangkaan sumber daya alam dan juga potensi atas kepunahan-kepunahan massal berikutnya.

Catatan Penutup

Semua skema klasifikasi geologi sejatinya ialah artifisial atau buatan yang dikonstruksikan oleh manusia yang hanya digunakan untuk memudahkan kita memahami dunia geologi. Lagipula, argumentasi tentang transisi waktu geologi Antroposen tidak dapat ditolak semena-mena tanpa mempertimbangkan kondisi faktual yang ada saat ini. Kita semua menyadari bahwa peruahan besar sedang terjadi dan berskala global. Aktivitas antropogenik juga telah berkontribusi meningkatkan level gas rumah kaca sejak lima juta tahun yang lalu. Perubahan ini mirip ketika masa transisi dari Paleosen ke Eosen sekitar 56 juta tahun lalu. Temuan plastik oleh manusia juga telah mengubah horizon permukaan terestrial bumi dan sedimen laut. Basis ‘horizon plastik’ iuni sangat mungkin sebagai penanda awal Antroposen yang berciri khas sinkronik dengan layer isotop radioaktif yang ada diseluruh dunia sebab adanya uji coba senjata nuklir. Potensi titik tersebut tidak berbeda dengan temuan atas batas K-T penandanya karena temuan iridium sejak tumbukan asteroid meninggalkan jejak di Bumi sekitar 65 juta tahun lalu. Oleh karena itu, pembuktian Antroposen yang terbaik dan sangat mungkin berpusat pada tahun 1950an. Antroposen masih terus berproses sejak 50 tahun terakhir. Antroposen untuk saat ini tidak dapat dijelaskan secara formal, namun secara kerangka intutif semua orang dapat menerima bahwa kita semua telah bertransisi pada satu titik waktu tertentu. Setidaknya ada konsekuensi lain jika Antroposen benar-benar diratifikasi maka akan muncul banyak perspektif baru termasuk perspektif akan bahaya kepunahan umat manusia itu sendiri.

Referensi:
Gradstein FM and Ogg JG (2005) Time scale. In: Selley RC, Cocks RM, and Plimer IR (eds.) Encyclopedia of geology, pp. 503–520, Amsterdam: Elsevier

Remane J, Bassett MG, Cowie JW, Gohrbandt KH, Lane H, et al. (1996) Revised guidelines for the establishment of global chronostratigraphic standards by the International Commission on Stratigraphy (ICS). Episodes 19: 77–81

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.