***Esai refleksi untuk pemantik diskusi kolaboratis bersama Tales of Belonging from the Last Place on Earth, Silabus Mini: Kisah-Kisah tentang Kemelekatan di Ekosistem Leuser. “Sesi 2: Kosmologi yang Berakar & Ekologi yang Tersemat”. Rabu, 21 Mei 2025.
(i)
Alam yang Selaras atau Alam yang Sengkarut
“Kearifan lokal” (local wisdom) acap kali menjadi kata ajaib yang digunakan oleh kebanyakan peneliti ‘budaya’ ketika mencoba menjustifikasi bahwa di suatu tempat ada semacam kebijaksanaan yang masih terjadi. Kemurnian ini terjaga oleh tradisi kultural tertentu—-yang percaya diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Sayangnya, kearifan lokal yang dirujuk kemudian menyisakan pertanyaan kembali: Apakah yang local pasti memiliki wisdom? Apakah semua yang “arif” itu benar-benar memiliki ke-“arif”- an? Apakah semua pengetahuan yang terberi dan dipercaya dari satu generasi ke generasi adalah benar-benar pengetahuan yang hidup atau justru pengetahuan yang dipolitisasi oleh kepentingan tertentu? Sayangnya, pengetahuan yang kita hidupi tidak selamanya benar-benar “pengetahuan didapat secara langsung” (direct knowledge). Bisa jadi, justru, pengetahuan yang dimanipulasi oleh kepentingan politik, mulai dari politik kolonialisme sampai kapitalisme pengetahuan.
Jika kita merujuk ke cerita-cerita leluhur masa lalu, mereka selalu melukiskan alam sebagai sesuatu hal besar, indah, takjub, penuh gairah, harmonis, dan bahkan senantiasa selaras dengan kehidupan manusia. Alam menjadi keberkahan. Alam adalah kehidupan itu sendiri. Manusia di zaman dulu dianggap selalu selaras dengan alam. Manusia “ramah” dengan alamnya.
Gambaran alam yang harmonis itu sendiri tidak selalu menjadi keniscayaan yang sempurna. Secara geologis, kehidupan manusia relatif singkat bila kita bandingkan dengan usia bumi yang sudah mencapai 4,54 miliar tahun ini. Manusia saja baru mengembangkan peradaban “hebatnya” sekitar 11.700 tahun terakhir ketika manusia masuk ke epos geologi Holosen. Selayang pandang, Holosen sendiri adalah titik balik dalam menandai berakhirnya zaman es panjang Pleistosen. Artinya, periode interglasial telah menubuh menjadi kehidupan yang sedang kita jalani. Kita bisa merefleksikan kembali beberapa kejadian bencana luar biasa yang telah dihadapi oleh manusia secara alamiah; mulai dari gempa bumi, tsunami, tornado, longsor, letusan gunung berapi, badai salju, sampai kekeringan.
Anehnya, skenario katastrofik ini selalu dianggap sebagai bentuk destruktif alam. Alam adalah penghancur. Alam sedang membalaskan dendam. Inilah bentuk metafora-antropomorfisme yang tidak dapat terlepas dari cara pandang kita sebagai manusia. Lalu, bagaimana bencana di abad ke-20 oleh karena ledakan bom nuklir (reaksi kimia-fisika artifisial) atau abad ke-21, seperti pandemi (relasi nir-manusia) sampai ledakan limbah plastik. Apakah alam sudah selaras dengan manusia?
Menariknya, fakta (r)evolusi spesies manusia menunjukkan bahwa kita semua selalu mencoba untuk melampaui keterbatasan (alamiah): baik secara biologis, fisiologis, bahkan ekologisnya. Perkembangan manusia dari masa berburu meramu, masa bercocok tanam, sampai masa penjelajahan dunia baru tidak terlepas dari bagaimana manusia menciptakan “teknologi”. Teknologi tidak hanya hadir sebagai alat (instrumentalis) atau perpanjangan dari tubuh manusia (antropologis).
Martin Heidegger (1977) menyebut teknologi sebagai modus “penyingkapan kebenaran” (revealing the truth). Lalu, kebenaran seperti apa yang kita ciptakan kemudian? Apakah kebenaran yang menyenangkan atau menyeramkan bagi kita semua? Oleh karena data peneliti iklim hari ini, kita dengan mudah dapat membayangkan trajektori perubahan iklim hari ini yang semakin hari semakin memprihatinkan. Sebagai contoh, kenaikan suhu bumi disertai dengan kenaikan muka air laut.
Kebenaran ini bisa lahir dari cara teknologi menyingkap lintasan “dunia yang tidak pernah terjamah” (terra incognita). Sebelum ada teknologi seperti teleskop atau mikroskop, komunitas ilmiah kita memiliki keterbatasan untuk mengakses dunia yang kasat mata (bakteri, virus, mikroorganisme) sampai luasannya sistem tata surya (lahirnya revolusi ilmiah dari geosentrisme menuju heliosentrisme). Di samping itu, sains dan teknologi sebenarnya telah melahirkan ragam dunia (many worlds) yang mampu dicerap oleh kemampuan epistemik manusia. Sayangnya, semangat modernisasi kemudian mengaburkan cara kita merayakan keberagaman dunia ini.
(ii)
Antroposentris(me) dan Narsisme Spesies
Modernisme dan pembangunan(isme) dunia ketiga terjadi tak pernah lepas dari dampak kolonialisme dan imperalisme yang berkepanjangan. Identitas ontologi sosial dibuat seolah-olah harus serupa dengan cetak biru semangat zaman dunia Barat. Semangat modernitas dan pencerahan merupakan puncak dari humanisme baru. Ini adalah humanisme yang sepenuhnya menempatkan kembali manusia sebagai jangkar dari segala-galanya. Ketika rasionalitas menjadi panglima pengetahuan, di situlah ragam-dunia direduksi menjadi satu-dunia, yakni dunia hanya dan untuk manusia. Namun, pertanyaannya, manusia yang manakah yang kita rujuk? Manusia dengan identitas warna kulit, kebudayaan, kehidupan-keseharian, teknologi, sampai politik ekologi yang seperti apa? Bagaimana ciri-ciri manusia modern itu? Nampaknya, warisan penyakit modernitas salah satunya adalah antroposentrisme, yaitu manusia sebagai pusat realitas yang tanpanya semua menjadi tidak bermakna. Dari antroposentrisme (kuat) ini, kemudian, lahirlah semacam dominasi narsisme dalam rupa “pengecualian bagi manusia” (human exceptionalism).
Beberapa pandangan tafsir teologis juga tidak dapat memisahkan dari perspektif yang cukup antroposentris. Alam dan segala isinya diciptakan oleh [T]uhan untuk kepentingan manusia. Sayangnya, pandangan ini lalu dimaknai bahwa segala-galanya diperuntukkan untuk manusia. Manusia diberikan akal untuk menciptakan teknologi. Teknologi menjadi mesin hasrat bagi masyarakat modern untuk terus menerus menghabisi kehidupan selain dirinya. Alam merupakan persediaan, ia siap pakai untuk memenuhi hasrat keserakahan manusia.
Selain itu, simtom lainnya, seperti “heroisme” dan “juru selamat”, mulai terlihat ketika sumber daya alam sudah sangat terbatas. Orang-orang terkaya di dunia, sebagai para raksasa kapitalisme global, dengan penuh ambisi selalu mencari-cari cara keluar dari Bumi. Visinya, mencari kemungkinan kehidupan baru di luar sana. Berharap ada planet lain selain planet Bumi. Sejauh ini, Mars menjadi pilihan wahana suaka lintas keplanetan bagi para triliuner. Ambisi yang naif ini tidak lebih dari perwujudan kekalahan antroposentrisme, tetapi secara terus menerus selalu diperkuat oleh reproduksi wacana tentang semangat perjuangan manusia, menjaga bumi, sampai mencari sumber daya baru terbarukan.
Pertanyaannya, memang sumber daya alam di bumi tidak lebih dari cukup? Tidak! Seharusnya akan selalu berlebih. Atau, merunut peristilahan Kohei Saito (2022), “sumber daya alam asalinya selalu berlimpah”, hanya saja kapitalisme membuatnya menjadi semakin langka. Kelangkaan (atau sengaja dibuat agar langka) menjadi strategi kapitalisme untuk menciptakan fetisisme komoditas baru. Katakanlah produk yang ramah lingkungan. Ketika kita membeli produk-produk tersebut, seolah-olah kitalah menjadi penyelamat bumi. Atau jargon-jargon semu seperti, go green, recycle product, sampai eco-friendly, yang hanya menjadi tempelan semu di antara produk-produk limbah mereka. Jika itu barang alam, kenapa harganya terlampau mahal? Jawabannya, tak lebih dan tak kurang, ialah ketika kita membeli “barang mahal” itu, seolah-oalah kita telah menyelamatkan bumi, atau telah mempercayakan produk yang kita beli untuk ditukarkan dengan ‘ilusi pohon yang ditanam’ oleh perusahaan kelak.
Kita perlu mengakui bahwa sikap-sikap modernisme Barat yang membuat sains dan teknologi ter-uni-fikasi pada satu tujuan untuk menciptakan universalisasi dunia patut untuk dikritisi kembali. Antroposentris sendiri telah mendapatkan kritik dari pada penggawa etika lingkungan. Mereka menyebut dirinya sebagai gerakan non-antroposentris—ekosentrisme, biosentrisme, sampai zoosentrisme. Namun, bagi saya, seluas-luasnya cara kita untuk menegasikan “kemanusiaan” kita, kita akan senantiasa kembali merunut nilai-nilai atau moralitas kemanusiaan kita. Hanya saja, nilai kemanusiaan manakah yang kita rujuk? Barat, Timur, Indonesia, Nusantara, atau dalam angan-angan?
Mari kita runut kembali mengapa antroposentris(me) selalu menghantui kita bahkan ketika kita sudah susah payah merumuskan berbagai meta-etika lingkungan yang kontra dengannya. Pertama, kita awali dengan menelisik kembali keterbatasan etika non-antroposentrisme yang hanya menolak manusia sebagai jangkar ontologis, epistemik, serta aksiologis—atau bahkan moralitas—dan menegaskan bahwa alam memiliki nilai intrinsik dalam dirinya sendiri. Namun, sayangnya, pendekatan ini tetap menggunakan berbagai kerangka ilmiah seperti biologi sampai ekologi yang syarat akan nilai-nilai manusia untuk menilai dan menentukan apa yang bernilai secara moral.
Kedua, perihal “kekeliruan epistemik” (epistemic fallacy), ketika terjadinya kesalahpahaman dengan menyimpulkan hal-hal ontologis melulu berkutat berdasarkan pengetahuan manusia. Ketika etika non-antroposentris menempatkan keberadaan atau nilai sesuatu (non-manusia) ditentukan, justru hanya berdasarkan pada apa yang dapat diketahui atau dipahami oleh manusia.
Ketiga, perihal “kekeliruan antropik” (anthropic fallacy), yakni terjadinya kecenderungan untuk memperluas perhatian etis hanya semata ke sistem kehidupan (biosentrisme), ekosistem (ekosentrisme), dan hewan (zoosentrisme), tetapi tetaplah manusia yang menentukan kriteriayang pantas untuk dipedulikan dan tidak. Artinya, non-antroposentris tetap beroperasi dalam logika penalaran batas-batas antropos sebagai pusat penilai. Sebaliknya, antropomorfis-reduktif ini menjadi simtom dari bentuk lain non-antroposentris, yang terbatas pada cakupan entitas apa yang dianggap bernilai dan tidak berdasarkan nilai, pengetahuan, dan bahkan keputusan manusia itu sendiri. Alhasil, non-antroposentris gagal keluar dari kerangka antropik yang selama ini coba dikritiknya sendiri.
Menjadi catatan reflektif tentang perjalanan peradaban manusia Barat yang penuh dengan konflik kekerasan pun menciptakan trauma sosial yang berkepanjangan. Mereka tidak hanya mencoba untuk mendominasi dunia nir-manusia melalui ekstraktivisme, eksploitasi, eksplorasi, dan bahkan penundukan inter-spesies, tetapi bahkan manusia itu sendiri. Dengan sesamanya, kita manusia tidak segan-segan untuk saling mendominasi dan melakukan sub-ordinasi represif, seperti halnya perbudakan sampai bentuk-bentuk kekerasan berdasar gender, ras, dan identitas kultural. Jika “Pertukaran Kolombus” (Columbian Exchange)di abad ke-15 telah menciptakan berbagai bentuk homogenisasi flora-fauna lintasbenua akibat pertukaran perdagangan yang penuh dengan kekerasan itu, maka domestifikasi alam yang liar dan sosial yang diperadabkan juga sedang terjadi beriringan. Itulah catatan sejarah Antroposen (ala) Barat yang selama ini dapat kita telusuri. Selanjutnya, bagaimana dengan sejarah lingkungan hidup dunia kita? Dunia yang dianggap ketiga dan terakhir, mereka yang selalu dianggap terpinggirkan, tertinggal, dan mereka yang tidak memiliki sejarah.
(iii)
Mistifikasi Masyarakat Modern
Apakah masyarakat modern tidak dapat terlepas dari forma mistifikasi dalam kehidupan kesehariannya? Ironisnya, manusia modern hari ini masih terjebak oleh segudang pertanyaannya sendiri, mulai dari asal-usul sampai akhir dari segala sesuatu. Meskipun, dengan penuh kesadaran, kita selalu mencoba merangkai ribuan atau bahkan jutaan kemungkinan pertanyaan melalui bingkai-bingkai saintifik yang ketat, perspektif filosofis yang radikal, atau geliat sastrawi yang penuh makna mendalam. Salah satu pertanyaan menarik adalah apakah kehidupan hari ini memiliki pengetahuan keseharian (everyday knowledge) yang sepenuhnya berbeda? Apakah manusia modern selalu berpikir rasional dan berpijak pada tatanan kemanusiaan yang penuh dengan simbol-simbol peradaban baru?
Tepatnya pasca-Perang Dunia Kedua yang mendorong industralisasi dan globalisasi menjadi simbol baru dominasi manusia atas segala hal. Selain itu, berkat akselerasi sains dan teknologi hari ini, manusia modern dapat melampaui keterbatasannya “alamiah”-nya, tetapi di saat yang bersamaan mereka menciptakan mitos-mitos budaya baru. Mistifikasi ini merujuk pada bagaimana struktur sosial, budaya, ekonomi, dan politik di era modern justru menciptakan berhala pengetahuan yang ilusif dan penuh dengan tipu daya. Mistifikasi ini melibatkan berbagai manipulasi, kesadaran kolektif, sampai ideologi melalui berbagai wahana masyarakat modern; seperti teknologi, media, birokrasi, dan kapitalisme.
Mistik keseharian masyarakat modern dapat kita lihat dari munculnya fetisisme komoditas yang lahir di tengah pesatnya penetrasi kapitalisme dalam kehidupan keseharian. Manusia modern sangat percaya pada hal-hal yang berbasis pada prediksi-prediksi angka statistik (pasar saham atau ramalan cuaca) yang acap kali juga menipu. Pada ideologi-ideologi retoris nan semu yang tidak pernah menyentuh akar rumput. Pada invisble hand ekonomi global yang mengagung-agungkan cateris paribus antara permintaan dan penawaran tanpa melihat akar-akar ketimpangan ekonomi dasar. Tidak hanya itu, jika manusia modern lebih menekankan aspek logos daripada eros apalagi mitos, maka sesungguhnya mereka telah melahirkan mitos-mitos baru. Logos yang tidak sepenuhnya masuk akal. Jika logos mampu menuntun kesejahteraan bagi banyak orang, mengapa justru irasionalitas lebih didahulukan dalam mengambil keputusan apalagi kebijaksanaan bagi banyak orang. Keserampangan epistemik yang berbasis pada emosional tanpa arah sering kali melahirkan amarah dan kebencian. Terburu-buru dalam mempercayai informasi di tengah-tengah tsunami fakta yang ambigu ini semakin mempertegas keabsurdan antara “kebenaran” (truth) dan “pasca-kebenaran” (post-truth).
Berbeda dari logos yang lebih menekankan pada rasio, mitos bekerja pada tataran kepercayaan. Sakralitas mitos di masa lalu berbeda. Masa lalu menempatkan folklore (cerita rakyat atau legenda) sebagai pengetahuan berorientasikan tradisi lisan. Bagaimana dengan masyarakat modern? Mereka meninggalkan mitos-mitos lama yang diwujudkan dalam berbagai simbol-simbol kebudayaan—berbentuk totemisme, animisme, dan dinamisme—yang dipuja-puji untuk menegaskan hubungan manusia dan alam. Ketika alam yang tidak terjamah itu sudah dikuasai oleh rasionalisasi sains dan teknologi, alam lantas hanya dipandang sebagai bagian dunia lama yang sudah usang. Alam hanya dijadikan sebagai sumber daya untuk semakin mendorong jurang keterpisahan ontologis (Dualisme Cartesian) antara yang-alamiah dan yang-kultural.
Masyarakat modern diam-diam mendorong kelahiran mistifikasi baru dari artefak-artefak teknologi yang diciptakannya sendiri. Kita dapat melihatnya dalam perkembangan kecerdasan buatan (AI— Artificial Intelligence) sampai robotika. Mereka tidak hanya membantu pekerjaan manusia melainkan sudah mulai menggantikan eksistensinya. Robot dipersonifikasi sesuai dengan preferensi kita. Tidak dapat dipungkiri pula, AI yang kita latih setiap harinya masih menyisakan bias-bias pilihan politik dan kebudayaan tertentu. Begitu pula dengan robot yang selalu ditampilkan sebagai model dari antropomorfisme manusia. Robot yang baik adalah robot yang memiliki “roh kecerdasan” bagaikan manusia. Bukankah ini bentuk totemisme baru? Memuja-muji dirinya sendiri (manusia) atas keberhasilan menduplikasi kecerdasannya sendiri. Lingkaran mistifikasi baru dimulai. Namun, perlu diingat kembali bahwa seberapa besar dan megahnya teknologi kontemporer hari ini sekalipun, teknologi akan tetap bergantung pada persediaan sumber energi dari alam.
(iv)
Mitos Bukan Metafora, Lantas?
Modernitas Dunia Ketiga di Indonesia telah mempengaruhi cara pandang kita ketika membicarakan tentang mitos. Mitos hanya dianggap sebagai cerita-cerita kuno yang berisi berbagai simbol-simbol budaya yang menggambarkan hubungan antar manusia, alam, dan kekuatan supranatural. Beberapa di antaranya pun mengategorisasikan mitos hanya sebatas warisan kisah-kisah sakral yang bersifat kolektif dan berfungsi sebagai pedoman hidup dalam budaya setempat. Aliran strukturalisme yang diprakarsai oleh Claude Lévi-Strauss (1978) pun demikian, ia memandang mitos semacam bahasa simbolik dan metaforik, bukan fakta literal tetapi juga bukan sekadar omong kosong belaka.
Berbeda dengan Lévi-Strauss, Eduardo Viveiros de Castro (1998) justru menempatkan posisi ontologis untuk membicarakan hubungan antara manusia (culture) dan alam (nature). Lebih dari sekadar itu, de Castro menegaskan adanya reposisi baru entitas adikodrati (super-nature) yang dapat ditemui di berbagai masyarakat asli di berbagai belahan dunia. de Castro memberikan contoh pendekatan “perspektivisme” suku Amazon yang memandang bahwa cara berpikir kosmologinya telah menjungkirbalikkan pemikiran modern tentang keterpisahan dualisme antara manusia dan alamnya. Perspektivisme ini memosisikan semua makhluk memiliki “kesadaran” dan “perspektif subjektif”. Manusia di sini bukan sekadar agen biologis yang eksklusif semata namun ia terhimpun dari berbagai bentuk kesadaran yang hidup bersama. Dunia sendiri menciptakan banyak subjek-perspektival yang sangat aktif, bukan terbentuk dari objek-objek yang mati. Keterbatasan manusialah yang menjadikannya justru pasif, tak berdaya, dan menjadi objek yang selalu tersubordinatkan.
Kita mulai dengan cara mengingat kembali apa yang telah terlupakan di masa-masa Indonesia pasca-Pandemi Covid-19. Ada pelupaan sesaat dari cara masyarakat lokal kita memahami alam bukan hanya semata lewat kajian sains atau kebijakan, tetapi melalui cerita, ritual, ingatan, dan roh-roh yang menjelma dalam berbagai bentuk kehidupan kosmik. Cerita-cerita folklore di Aceh yang baru saya baca beberapa waktu terakhir, membuat saya semakin yakin bahwa pemaknaan realitas masa lampau tidak dapat terlepas dari pra-kondisi geografisnya. Kisah-kisah Si Keramin tentang perjalanan spiritual perantauan, Si Layar dan Beru Dinem yang menggambarkan hutan bukan lagi terra incognita karena adanya eksistensi roh (sang penjaga kehidupan di hutan), cerita Tengku Guru Leman tentang perjuangan melawan kolonialisme van Daalen, sampai Si Tungel Belang dan Si Tangang Malam yang digambarkan sebagai sosok penjaga belantara Tanah Gayo Lues. Kisah ini juga dianggap sebagai sumber kearifan lokal dan “epistemologi yang hidup” (living epistemology) yang bersumber dari mistisisme dan diturunkan melalui tradisi lisan.
Coba kita lihat kembali cara pengonstruksian hubungan antara gunung, dataran, pesisir, dan laut telah memberikan cara orang-orang terdahulu menerjemahkan penciptaan dengan sangat baik. Mari mulai dari Sunda Wiwitan dengan kosmologi lokalnya: Sasaka Pusaka Buana, lalu melintas ke Jawa dengan falsafah Hamemayu Hayuning Bawana dalam Jagat Cilik dan Jagat Gedenya. Tidak hanya itu, misal kita ambil kosmologi asal-muasal Dalihan Na Tolu dari Batak atau La Galigo yang menceritakan epos penciptaan epik dari Bugis-Makassar, dan juga Tri Hita Karana di Bali.
Adam Bobbette (2022) dengan tegas menarik kembali kondisi dunia geo-spiritual Jawa, tepatnya Merapi pada tahun 1920-an dan 1930-an ketika jalur-jalur ritual merapi juga turut membentuk ilmu kebumian modern. Bobbette (2022) menyebutnya sebagai Antroposen Jawa. Antroposen bukan hanya milik orang Barat saja. Para pekerja, penduduk asli, sampai kuli angkut Jawa juga senantiasa menemani para ilmuwan dan melakukan pekerjaan ilmiah bagi mereka juga mengajarkan nama-nama tradisional serta silsilah situs-situs suci, yang kemudian dimasukkan oleh para ilmuwan sebagai toponimi dalam survei ilmiah mereka.
Observatorium gunung berapi pertama yang bersifat ilmiah sering kali dibangun di atas atau dekat dengan bukit dan tanjung suci, karena tempat-tempat tersebut memberikan pandangan terbaik terhadap kaldera. Sebagai bagian dari penelitian mereka, para ilmuwan menggunakan catatan dari kesusastraan (serat atau babad) yang dihasilkan di wilayah kesultanan—kesusastraan yang sama yang menjelaskan silsilah para dewa—untuk merekonstruksi bencana alam purba, termasuk banjir, gempa bumi, dan letusan gunung berapi. Artinya, sesuatu yang kini sering dianggap sebagai mitos sebenarnya menjadi dasar bagi sejarah alam ilmiah modern. Pengetahuan ilmiah kolonial (meskipun para ilmuwannya sendiri tidak selalu menyadarinya) dimungkinkan dan dibentuk oleh geografi spiritual yang telah lebih dulu hadir di Jawa bahkan sebelum kedatangan mereka.
Senada dengan Bobbette, adalah mungkin kita dapat menerjemahkan mitos dengan pendekatan yang lebih luas lagi. Matthew Joseph Minarchek (2019) yang menulis disertasi berjudul Militarized Ecologies: Science, Violence, and The Creation of Sumatra’s Leuser Ecosystem (Indonesia), 1890-1945 dapat menjadi contoh menarik dalam upaya saintifikasi ekologi pada masa kolonialisme yang tidak dapat terlepas dari kekerasan sosial, budaya, dan bahkan ekologis di bawah senjata militer kolonial. Alam hanya dipandang sebagai ruang untuk mereproduksi pengetahuan-pengetahuan tentangnya, tetapi cara-cara kita memahaminya acapkali tidak terlepas dari berbagai bentuk kekerasan. Mitos dan logos, pada akhirnya, akan selalu berkelindan, mereka tidak dapat dipisahkan, sekalipun digunakan untuk memahami bagaimana dunia ini bekerja. Selalu saja ada misteri yang tersisa di antara puing-puing rasa takjub, takut, dan penasaran manusia.
(v)
Krisis Iklim Antroposen dan Kegagalan Konservasi Manusia
Setelah mencoba untuk menelaah beberapa pandangan kosmologi modern yang berusaha memisahkan manusia dan alamnya, ternyata tidak membuat peradaban manusia menjadi lebih baik, selain proyek pencerahan sains dan teknologinya. Kegagalan perekayasaan alam oleh sains dan teknologi menunjukkan suatu kondisi yang paradoksal. Alih-alih mencapai puncak kejayaan peradaban, manusia justru dihantui oleh ancaman kepunahan massal ke-enam. Sepanjang sejarah deep time geologi, proses perubahan struktur bumi berlangsung secara gradual, dinamis, dan berlangsung dalam proses waktu yang sangat lama. Waktu bumi tentu berbeda dengan waktu “subjektif manusia”. Doktrinnya adalah tentang “masa kini adalah kunci memahami masa lalu”. Artinya, apabila krisis iklim dan bencana alam di masa lalu yang pernah terjadi, akan sangat mungkin terjadi dalam waktu yang dekat.
Krisis iklim Antroposen ini menjadi bom waktu bagi kita semua. Apabila katastrofisme geologi hanya memberikan gambaran cara terjadinya perubahan skala waktu geologi karena adanya bencana yang luar biasa, maka di epos Antroposen bencana itu datangnya tidak dari alam semata tetapi dari manusia itu sendiri. Itulah keberkahan yang diberikan untuk kita, manusia. Kita dapat menciptakan kehancuran bahkan bagi diri kita sendiri.
Haruskah manusia dihapus dari sejarah bumi? Apakah manusia hanya merusak? Apakah mereka tidak mencoba untuk mengonservasi dirinya sendiri, sebagai satu spesies yang akan punah? Daripada memikirkan hal tersebut, kita justru terjebak pada kecenderungan narsistik-heroisme. Kita merasa telah dengan susah payah mengonservasi dunia non-manusia tetapi masih tetap saja ada sebagain besar dari ‘kita’ melakukan ekspansi-eksploitasi baik bagi sesamanya atau kehidupan yang-lain (the other). Untuk memahami bagian ini lebih jauh, saya mencoba untuk menawarkan pendekatan pos-antroposentris ketika memahami bagaimana krisis iklim Antroposen merupakan bagian dari obskuritas onto-epistemologi manusia saat ini. Kita perlu melakukan ‘reposisi’ subjek manusia, non-manusia, dan multi-spesies dalam trajektori Antroposen yang semakin mencekam.
Manusia telah mengalami kegagalan ketika mereka mencoba untuk memahami dirinya sendiri, terlebih lagi dimensi subjek non-manusia atau multi-spesies yang ada di dalam atau di luar dari tubuh manusia itu sendiri. Manusia telah melewati berbagai perubahan alam dan budaya. Dirinya telah mengalami evolusi untuk membentuk versi terbaik dari kemanusiaannya. Namun, manusia tidak dapat berdiri sendiri secara bebas. Justru sebaliknya, kondisi alam yang “selaras” inilah yang memungkinkan manusia dapat berkembang. Perkembangan ini terjadi di saat periode Pleistosen akhir ke Holosen sebagai bukti kemampuan bertahan hidup umat manusia, mitos akan keseimbangan dan keselarasan dengan alam selalu kemudian diklaim secara semena-mena melalui kekerasan simbolik-implisit yang diwariskan secara turun temurun lintasgenerasi.
Pandangan tentang alam yang liar itu seolah-oalah dapat ditaklukkan oleh manusia selama ratusan ribu tahun. Nyatanya, krisis iklim keplanetan Antroposen justru membalikkan “kepercayaan” siklus harmoni antara manusia-alam ini. Manusia tadinya menganggap dirinya sebagai penjelajah dan pahlawan atas pembebasan wilayah yang tidak terjamah (terra incognita). Namun, manusia sekarang justru mengalami pembalikan ontologis yang ironis. Mereka kini menjadi penyintas dan pencari suaka iklim baru (climate refugees). Ketika deru derap kerusakan alam yang meliputi seluruh semesta dunia manusia, maka di situlah kegagalan “konservasi” manusia bagi dirinya sendiri telah gagal.
(vi)
Kita bagian dari Alam, tapi Alam bukan lagi kita
Saya percaya kita perlu bersama-sama membongkar lagi “kemanusiaan” yang selalu kita agung-anggungkan itu. Saya sangat skeptis, jangan-jangan “kemanusiaan” yang kita gadang-gadang itu ialah kemanusiaan berorientasi pada kolonialisasi antar subjek-subjek. Saya ingin mempertegas lagi tawaran filosofis saya yang mungkin berguna untuk diskusi forum ini, yakni dengan adagium.
“Kita bagian dari Alam, tapi Alam bukan lagi kita”.
Kalimat yang tersusun itu merupakan ekspresi emosional saya dengan kondisi krisis yang sedang kita alami. Krisis itu padahal sangat nyata ada di sekitar kita. Kita abai begitu saja. Kita pikir Alam akan selalu menyediakan persediaan sumber daya untuk memenuhi hasrat paradoks manusia. Sampai di sini, kita perlu untuk melakukan semacam reposisi subjek-subjek. Subjek non-manusia dalam kerangka gerak sejarah Antroposen atau pra-Antroposen bahkan bukan lagi sekadar pajangan ontologis. Mereka juga selalu hidup membersamai kita. Menjadi agen kolaborasi, saling-terjalin-dalam-ragam-kesetangkupan bersama. Mereka memberikan kontribusi yang juga tidak kalah signifikan terhadap peristiwa geologi Antroposen. Di sinilah politik ekonomi multi-spesies perlu untuk dikembangkan. Alam yang kita hidupi saat ini terjadi karena proses stratifikasi dan re/de-teritorialisasi eksistensi dari berbagai macam dunia di bumi.
Kita pun dapat berandai-andai bagaimana cara untuk menggugurkan antroposentrisme kuat itu. Semisal terjadi bencana perang nuklir, mungkin saja, tidak menutup kemungkinan para kecoa dan bakteri anaerob justru yang lebih mampu bertahan hidup untuk melanjutkan evolusi kehidupan selanjutnya. Di sinilah, manusia bukan lagi jangkar realitas terhadap gerak peristiwa geologi Antroposen. Pilihannya kemudian membentuk model etika lingkungan dengan memosisikan antroposentrisme yang lebih moderat, dengan memberikan kesempatan subjek non-manusia untuk mulai diakui eksistensinya, sekaligus mencoba untuk membentuk semacam integrasi lintas agensi dalam bingkai multi-spesies
“Alam bukan lagi kita, kita (menjadi) bagian dari Alam baru”
Sebelum melanjutkan ke bagian babak akhir dari esai reflektif ini, saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa pemisahan modern dari Yang-Alam dan Yang-Sosial ini hanyalah pembagian cara pandang (dimensi epistemik) bukan dalam kerangka mengalami secara eksistensial terhadap realitas yang semestinya (dimensi metafisik). Dalam wacana teori-teori kritis misalnya, kolonialisme dan kapitalisme dianggap sebagai masalah utama pemisahan ontologis ini. Kapitalisme selalu memproduksi bentuk-bentuk sosial baru yang semakin menjauhkan alam sebagai penyusun material dari sistem produksi dan reproduksi komoditas. Ontologi monisme yang seharusnya terjadi adalah “alam termediasi oleh sosial”, sekaligus “sosial dimediasi oleh alam”, tetapi dalam sistem kapitalisme global, alam dibuat terbatas untuk meningkatkan hasrat sosial atas kelangkaan yang dibuat-buat. Semakin langka barang maka semakin mahal sesuatu hal. Kelangkaan hanya berlaku dalam dunia ekonomi, tetapi tidak dimaknai setara dalam dunia ekologi.
Saya ingin menegaskan kembali bahwa masalah krisis kesadaran ekologis kita dapat dilihat dari bagaimana kita memaknai alam dan manusia. Ada prinsip identitas bahwa manusia adalah bagian dari alam dan tertanam di dalam sistem metabolisme alam yang teratur. Namun di saat bersamaan, prinsip non-identitas ini menguat karena terjadi pemisahan antara alam dan manusia secara kualitatif dari masyarakat itu sendiri. Padahal, dalam kondisi krisis, logika seperti ini tidak dapat dipertahankan lagi.
Mengapa tidak dapat dipertahankan? Ketika krisis terjadi, logika ini hanya menghilangkan satu aspeknya bukan keseluruhan yang ada, antara siapa yang harus dihilangkan terlebih dahulu: alamnya atau sosialnya. Kita dapat mengambil contoh pada peralihan lahan alih fungsi, dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Saat terjadi bencana banjir, maka orientasi kita hanya terfokus pada aspek ekologisnya semata, padahal transisi krisis itu sudah terjadi sejak pertama kali proses alih fungsi lahan terjadi. Atau, pengaruh krisis iklim global yang meningkatkan muka air laut secara ekstrem telah menghilangkan batas-batas teritorial kepulauan, budaya masyarakat pesisir pun lambat laun akan hilang ditelan oleh pasang air laut.
Karl Marx memosisikan manusia sebagai species-being, sebagai satu subjek penahu. Namun, apakah semua yang kita tahu dapat direduksi pada pembeda dari kerja-kerja kita sebagai diri (subjek) manusia dengan yang non-manusia (material, alat, teknologi, bahan mentah, hewan, tanaman, tanah, minyak bumi, air, dsb.). Pengetahuan tentang alam dan [A]lam itu sendiri berbeda. Pengetahuan tentang alam itu lebih dekat dengan wilayah kerja-kerja produksi manusia untuk setidaknya menghasilkan barang dan jasa. Pada konteks ekologis, Marx pun belum secara sempurna memikirkan relasi yang baik antara manusia-alam. Hanya saja, di akhir usianya, Marx merasakan kecemasan yang mendalam terhadap akses kita yang sangat terbatas terhadap alam, tetapi cara-cara kita “merampok” alam akan melahirkan apa yang ia sebut sebagai “keretakan metabolis”. Jika kita tidak segera memikirkan kembali bagaimana politik ekologi seharusnya diterapkan, maka jurang keretakan metabolisme ini hanya bekerja pada alam saja melainkan juga pada dunia sosial manusia dikemudian hari—untuk apa yang kita sebut sebagai “ketidakadilan lintas generasi”.
(vii)
Dari Etika Kepedulian sampai Politik Kekerabatan Pluri-spesies
Bagian akhir refleksi ini, saya kembali mengusulkan untuk membangun kemitraan yang merawat dalam proyek-proyek konservasi di masa depan. Etika kepedulian (ethic of care) yang pernah ditawarkan oleh Maria Puig de la Bellacas Matters of Care: Speculative Ethics in More Than Human Worlds (2017) dapat menjadi rujukan utama untuk menolak bentuk etika universalitik dan impersonal ala-ala Kantianisme atau Utilitarianisme. Dalam ranah ekologis, serupa dengan pengalaman konkret manusia dalam merawat kehidupan, etika kepedulian ini mencoba untuk lebih berani menggeser perhatian kita dari relasi dominasi yang timpang menuju relasi yang penuh dengan afeksi dan empati, di mana alam dan segala isinya tidak lagi diposisikan sebagai sumber daya alam yang pasif, melainkan menjadikannya subjek yang layak untuk dirawat dan didengarkan kembali.
Namun, etika kepedulian saja tidaklah cukup. Kita perlu memperluasnya menjadi bentuk politik baru, yakni politik kekerabatan pluri-spesies, yang mulai membongkar batas-batas demarkasi kaku antara mausia dan alam. Para antropolog kontemporer, aliran materialisme baru, dan bidang kajian poshumanis telah banyak mengusulkan ide serupa bahwa kita hidup dalam jaringan kehidupan yang saling terkait dan saling membentuk. Gagasan yang menekankan pentingnya kekerabatan bukan hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan hewan, tumbuhan, jamur, bahkan bakteri dapat dipertimbangkan ulang.
Inilah situasi dan kondisi multi-spesies dalam dunia-lebih-dari sekadar-manusia (more-than-human worlds) ini yang kemudian dapat menjadi lebih tegas menolak dualisme antara alam dan manusia. Antroposen bukan lagi dipahami sebagai cara narsisme yang mendominasi bumi, tetapi memberikan penekanan dan tanggung jawab sebagai manusia untuk berani merengkuh keterwujudan atas subjek sekaligus subjekvitas manusianya dan hal-hal yang menjadikannya sang-liyan juga tidak kalah penting (othernes matter).
Kita dapat membayangkan Antroposen sebagai bumi. Bumi sedang mengalami krisis iklim global. Perubahan iklim berubah menjadi hiper-objek, suatu objek yang tidak dapat diintervensi oleh manusia secara langsung, manusia membutuhkan alat atau instrumen seperti perekayasaan iklim. Perubahan iklim ada dan nyata, ia mempengaruhi subjektivitas manusia. Subjekvitas yang terpengaruh oleh adanya perubahan iklim tentu akan terbelah, tidak lagi menjadi subjek-tunggal melainkan subjektivitas-xenologis (xenological subjectivity). Subjektivitas yang mengakui adanya pluralitas ganda (atau lebih), melampaui taksonomi tunggal-universal. Pergeseran dualisme tradisional ke arah keterbukaan atas yang-lain, menjadikan subjektivitas diri lebih memiliki aspek keramahtamahaman (hospitality) yang berarti mengakui (recognition) bahwa keragaman dunia menjadi niscaya terdiri dari ragam diferensiasasi yang ada.
Selanjutnya, politik pluri-spesies tidak hanya bersifat simbolik atau metaforis. Ia menuntut perubahan nyata dalam kebijakan, tata ruang, dan sistem produksi. Radikalisasi ide-ide pluriverse misalnya yang ada di belahan Amerika Selatan telah mampu dijadikan sebagai sebuah kekuatan gerakan akar rumput baru. Berbeda dengan kearifan lokal kita, mereka hanya dijadikan sebagai klangenan (bentuk romantisasi) di masa lalu. Glorifikasi tentang masa lalu yang pernah ‘akrab’ dengan alam tidak lantas menjadikan masa kini dan masa depan kita lebih baik. Ketika kita mencoba membayangkan kekerabatan lintas spesies juga menantang cara kita memahami identitas, subjek, dan komunitas masih sangat terbatas. Keterbatasan inilah sebagai sikap politik. Politik baru ini harus berani membuka pada kemungkinan untuk melihat dunia bukan sebagai medan eksploitasi, tetapi sebagai rumah bersama (common world), di mana keberlangsungan hidup bergantung pada kemampuan kita untuk hidup bersama secara adil dan saling merawat.
Itulah mengapa? Kondisi obskuritas relasional antara manusia dan non-manusia memang suatu keniscayaan. Untuk melampui kritik antroposentris kuat maka kita harus kembai melibatkan manusia namun sebagai subjek yang sangat terbatas ini. Akan tetapi, subjektivitas manusia tentang bagaimana dirinya (subjek) terkondisikan oleh sosial dan budaya atau terdekonstruksi oleh bencana krisis sekaligus termediasikan dengan dirinya sendiri, sang-liyan (non-manusia), dan dunia secara serentak dan seragam. Keserentakan inilah yang akan melahirkan multi-kausalitas dan multi-rekognisi terhadap perwujudan entitas non-manusia yang lainnya yang sedang bersama-sama mengalami krisis.
Setelah melakukan reposisi relasi multi-spesies sebagai Yang-Lain dalam konteks keterlibatan intensional-material terhadap gerak sejarah Antroposen, permasalahan lainnya lantas terbuka. Bukan soal siapa yang harus menjadi sentris melainkan menjadikan subjektivitas yang melampaui cara pandang modern yang sangat menutup dirinya untuk melibatkan kolektivitas multispesies dalam menetapkan konfigurasi status antroposentrismenya dalam bingkai krisis Antroposen. Akhirnya, dari etika kepedulian hingga politik kekerabatan pluri-spesies, kita mulai diajak untuk membayangkan ulang moralitas dan politik dalam kunci interdependensi dan keintiman ekologis baru yang sudah terlanjut carut-maruk oleh kritis yang kita ciptakan sendiri. Seruan moralitasnya kemudian tidak lebih menjadi semacam: ini bukan sekadar soal “menyelamatkan lingkungan,” tetapi tentang menciptakan dunia yang lebih adil bagi semua bentuk kehidupan—manusia dan yang-lebih-dari-manusia—melalui relasi yang penuh hormat dan tanggung jawab.