Geofilosofi: Bagian Pertama

Intermeso

                  Sabtu (10/08) kemarin, departemen kami merumuskan titik pijak rumpun keahlian atau disiplin yang sesuai dengan orientasi pengembangan keilmuan dan karier seorang dosen. Tentunya dibersamai dengan sedikit perdebatan di antara kami. Di bidang filsafat pemilihan rumpun pengembangan ilmu tentu tidak semudah dan tidak serumit yang dibayangkan. Sebelumnya, posisi rumpun disiplin keahlian saya ditempatkan di filsafat teknologi sebab saya mengajar filsafat teknologi dan atau dapat berganti ke filsafat ilmu kealaman dengan catatan keberadagaan mata kuliahnya serta proyeksi disertasi ke arah wacana geologi atau geografi sebagai bagian dari ranah ilmu kealaman.

Secara singkat, saya mencoba untuk mempertegas diri memilih ‘geofilosofi’ atau geophilosophy sebagai ranting ilmu di Departemen Filsafat Barat. Entah benar atau tidak pilihan nyeleneh saya ini, dan tentu saja saya tahu konsekuensi apa yang ambil ke depannya. Meskipun dengan catatan bahwa ranting ilmu ini tidak ada kaitannya dengan bagaimana mata kuliah yang saya ampu, melainkan lebih banyak membicarakan keterhubungan pada luaran penelitian dan capaian akumulasi capaian kerja. Ya, terlepas dari peraturan yang berubah-ubah, serba tidak pasti—sebagaimana ketidakpastian pada pilihan nyeleneh ranting ilmu yang saya pilih, geofilosofi.

Pada kesempatan ini, saya ingin mencoba untuk memperkenalkan Apa itu Geofilosofi? Dan mengapa Geofilosofi dapat menjadi rumpun pengembangan disipilin ilmu filsafat dan sejauh mana proyeksi geofilosofi di masa depan. Apakah mungkin ada peluang baru ketika mempelajari dan mengembangkan geofilosofi? Curhatan ini akan terbagi menjadi beberapa bagian terupdate secara berkala, tetapi di bagian pertama ini saya akan mencoba untuk memperkenalkan secara singkat tentang re/posisi geofilosofi dalam sudut pandang pribadi saya.

Geo/Filsafat?

                  Geophilosophy atau Geo/filsafat atau geofilosofi merupakan kajian yang mengembangkan konsep spasial dalam membayangkan ulang sebuah perkembangan disiplin filsafat sebagai tubuh pengetahuan. Awalnya, istilah Geofilosofi populer setelah diperkenalkan oleh Gilles Deleuze (1925–1995) dan Félix Guattari (1930–1992), yang tentu saja bahwa istilah ini tidak sebagai bagian dari kontribusi pengembangan formal disiplin ilmu geografi. Sebaliknya, awalan kata ‘geo’ menawarkan sebagian besar tantangan terhadap keluasan pandangan bahwa philosophy atau filsafat selalu (i) berkaitan dengan kemajuan sejarah dan pengembangan nalar maupun akal budi manusia serta (ii) Upaya pencarian kebenaran ‘transenden’. Yang artinya, sejarah filsafat tidak terlepas dari jalan yang memutar (detour) dan kontingensi atau kemungkinan-kemungkinan (contingency), sebagaimana Deleuze dan Guattari (1994) mengartikan filsafat mampu menciptakan berbagai sistem atau konsep yang terdistribusi secara spasial, yang masing-masing keterciptaannya bersifat ‘imanen’, munculnya dari situasi yang kompleks. Arti sempitnya, pencarian kebenaran transenden (top-down), sedangkan kemunculan konsep lebih sebagai yang imanen (bottom-up).

Dari sini agaknya mulai nampak membingungkan bukan (?), namun bila ditelaah lebih lanjut apa yang menyituasikan terjadinya suatu konsep tidak terlepas dari komponen relasional dari ‘yang-internal’ dan ‘yang-eksternal’; manusia dan dunianya. Sebagaimana Deleuze dan Guattari (1994) pernah menegaskan “[T]hinking takes place in the relationship of territory and the earth” atau secara harfiah dapat dipahami bahwa [B]erpikir tidak dapat terlepas dari hubungan kita dengan berbagai batas-batas kewilayahan dan bumi. Berpikir selalu memiliki konteks, latar belakang, dan berbagai tapal batas aturan yang tertulis maupun tak tertulis. Dengan demikian, Geofilosofi menaruh perhatian pada ide-ide filsafat yang sangat abstrak, semisal tentang konsep, tetapi tidak melihat suatu gagasan sebagai bentuk generalisasi yang terlepas dari ruang-spasial tertentu bahkan sampai ‘keserampangan materialitas’ yang melatarbelakanginya. Sebaliknya, dikarenakan tidak menjadikan konsep geofilosofi sebagai generalisasi maka geofilosofi bersifat ‘diferensial’ di mana kemunculan konsep ada dari berbagai kemungkinan yang disebabkan adanya keanekaragaman perjumpaan dan perbedaan sosiospasial, antara kedekatan dan keterikatan dalam hubungan material(itas) yang sangat dinamis.

 Perkembangan geofilosofi tidak secara formal dimunculkan sebagai rumpun disiplin pengembangan filsafat setelah karya What is Philosophy (1994) diterbitkan. Berbagai leksikon geografis selalu mengarah pada karya Anti-Oedipus (1969) dan A Thousand Plateaus (ATP)(1980) sebagai titik pijak berberapa konsep penting atau kunci untuk mengonfigurasi ulang konsep-konsep pra- ‘geofilosofi’ yang lebih luas, terutama ide tentang de/re/teritorialisasi, lanskap, serta milieu atau gagasan tentang abstraksi spasial (garis, bidang, lengkung, lurik, dsb). Lebih lanjut, proyeksi abstrak pada karya ATP lebih banyak mencoba untuk mengidentifikasi praktik pemetaan (mapping) bukan penelusuran (tracing) terhadap berbagai elemen konsep yang terkait dengann perbedaan (different) dan keterbukaan (opennes). Semua hal ini diterapkan untuk mengatasi dan mengubah sudut pandang isu-isu filosofis dalam pengembangan teori dan praktik geografi ke depannya.

Hal tersebut memang nampak bahwa bidang ilmu geografi, setelah kebangkitan geografi kritis (critical geography) di era 60-70an dengan studi urban Marxisme, pandangan Deleuze dan Guattari tentang geofilosofi muncul diawal paruh waktu 2000an di mana mereka dianggap sebagai bagian dari pengembangan filsafat ‘pos-strukturalis’, alih-alih sebagai bagian pengembangan dari geografi kritis. Namun, geofilosofi Deleuzian selalu memosisikan sebagai ‘diferensial’ atau ‘pembeda’ yang mendorong berbagai turunan variasi konsep dan teori yang sangat kompleks. Untuk alasan inilah, para geografer tidak pernah memasukan geofilosofi sebagai bagian dari glosari mereka karena berbagai istilah dan konsep yang dianggap membingungkan, seperti halnya teori minor, teori ruang-tubuh, teori afek, teori non-representasional, dan telaah ‘palingan ontologi’ yang khas mewarnai berkembangan pendekatan geografi baru terhadap sudut pandangyang berbeda terhadap pemahaman geografi atas relasi manusia dan lingkungannya, yang sedikit banyak terinspirasi dari materialisme baru, vital materialisme, dan istilah Deleuze terhadap hubungan antara manusia dan non-manusia dalam ‘zones of indiscrenibility’ atau zona yang tidak dapat dibedakan—kabur dan menjadi.

Filsafat dan Geografi?

                  Sebenarnya istilah Geofilosofi tidak sendiri sebagai sebuah nama yang berkembangan di khazanah perkembangan cabang ilmu abad dua puluh. Ada banyak percobaan konsep yang diterapkan dengan menambahkan prefix ‘geo’ di awal disiplin non-geografi. Sebagaimana istilah ‘geopolitik’ yang banyak diadopsi untuk menurukan berbagai oleh perjumpaan berbagai disiplin keilmuan mulai dari kajian kekuasaan politik sampai hubungan internasional, atau ‘geohistori’ yang dipopulerkan oleh Ferdinand Braudel dan selanjutnya diadaptasi oleh François Tosquelles dengan istilah ‘geopsikiatri’.

Kajian geohistori misalnya sangat fokus pada kajian sosio-spasial yang terjadi berulang, secara repetitif dalam kehidupan keseharian sosial di ruang yang berbeda namun dalam jangka waktu yang relatif panjang. Braudel (1972) memberikan contoh pada kondisi sosio-spasial masyarakat kapitalisme. Geografi bagi Braudel dapat membantu untuk menemukan Kembali realitas struktural secara spasial yang mungkin dalam sejarah terabaikan. Pada kasus masyarakat Kapitalisme misalnya, melalui pendekatan sosio-struktural, geohistori dapat memandu arah gerak sejarah kapitalisme, kapan dan mengapa Kapitalisme dapat langgeng di Eropa padahal kondisi di wilayah non-Eropa atau tempat lain tidak pernah ada. Pemetaan ini yang memudahkan Braudel dalam membaca kompleksitas geografi sosial dan fisik serta menghindari pembacaan narasi telelologis pada suatu periode sejarah yang panjang.

Lantas bagaimana dengan geopsikiatri? Menariknya psikater Portugis Tosquelles mengadopsi antara hubungan sosiospasial di suatu komunitas lokal untuk tujuan psikoterapi. Selama Perang Dunia II, ia membawa membawa para pasiennya keluar dari tembok insitusi, alih-alih bersembunyi, mereka didorong untuk berani membenamkan diri pada masyarakat di sekitarnya. Konteksnya rumah sakit yang terintegrasi dengan kegiatan komunitas lokal, klinik psikiatri eksperimental inilah yang kemudian mewarisi pendangan Deleuze melalui Guattari setelah melihat adanya keterhubungan antara konteks geospasial dengan terapi, atau yang dikenal sebagai ‘terapi lingkungan’ atau ‘milieu therapy’.

Terinpisrasi dari geohistori Braudel, Deleuze dan Guattari menyatakan bahwa filsafat adalah geofilosofi. Ide ini mulai menginspirasi mereka untuk menolak ide bahwa sejarah filsafat Barat sebagai bentuk satu-satunya keistimewaan historisitas atas akal budi dan nalar, respons ini melahirkan konsep contingency. Hal tersebut diungkapkan bahwa lahirnya filsafat tidak lebih dari peristiwa kebetulan yang terlahir dari banyak kemungkinan keterhubungan relasi sosiogeografis yang pernah terjadi sebelumnya. Mereka mencontohkan minimnya konflik dan kondisi geografis Yunani Kuno yang menjadikan keistimewaan bagi masyarakatnya untuk dapat melahirkan berbagai ide pemikiran kreatif, kritis dan filosofis tentang kebudayaan, politik, dan ilmu pengetahuan.

Namun perlu diingat, bahwa sejarah pemikiran filsafat Pra-Sokrates tidak terlepas dari peran para penjelajah yang sekedar transit di Yunani atau mereka para filosof Pra-Sokrates yang belajar sampai ke Mesir untuk kemudian pengetahuan mereka dikembangkan di Yunani Kuno. Apa yang mereka pelajari di Mesir, semisal konsep imanensi, pertemanan, dan argumentasi-opini, dan dikembangkan di Yunani menjadi gagasan tentang otonomi politik dan kerja sama merupakan bukti bahwa pengetahuan Filsafat Barat tidak dapat terlepas dari produk kecelakaan sejarah sampai kemungkinan kedekatan wilayah pengetahuan-geografisnya. Contoh deteritorialisasi (pengetahuan tentang otonomi politik) serta the milieu of immanence—yang mendorong terjadinya sirkulasi pengetahuan dan pertukaran pengetahuan yang terjadi saat itu. Lingkungan imanensi ini yang mungkin membuat para filosof merasakan ketidaknyamanan dalam berpikir sehingga mereka selalu mencari-cari cara bahkan ketika harus berpindah dari satu teritori ke teritori lain.

Meskipun sejarah filsafat penting bagi segelintir ahli geografi, banyak yang menganggap penting implikasi yang lebih luas dari pembacaan geofilosofis ini. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat bukanlah produk dari abstrak murni, struktur sejarah pemikiran atau armchair thinking. Suatu konsep filsafat tidak dapat terlepas dari hubungan yang kompleks dan berkaitan seiringan dengan kehidupan sosiospasial, yang tujuannya untuk membebaskan pemikiran dari kepura-puran bahwa klaim naif hanya ada satu pengetahuan yang unik dan khusus di satu wilayah. Pengetahuan seperti ‘kearifan lokal’ atau keistimewaan ‘kebijaksanaan Barat’ akan menjadi mungkin cukup problematik jika diklaim hanya sebagai satu-satunya pengetahuan yang lahir begitu saja. Sedangkan, menurut Deleuze dan Guattari, Geografi lebih dari sekadar pembicaraan tentang fisik dan manusia, tetapi juga tentang mental dan lanskap. Bumi sebagai sebuah bidang atas tempat konsep dan material menyusun dirinya sendiri, ia menciptakan sistem, memantapkan bentuk tatanan baru dan bahkan meluluhlantakan apa yang sudah ada. Geografi menunjukkan bahwa sejarah pemikiran tidak sekadar atas pemujaan yang berlebihan akan kebutuhan pemenuhan kebenaran yang super-absolut tetapi jarang mempertimbangkan adanya ‘the irreducibility of contingency’ atau kontingensi yang tidak dapat direduksi.

Geofilosofi?

                  Kontingensi memiliki peran penting dalam perkembangan geofilosofi. Geofilosofi selalu mempertimbangkan peran proses spasial terhadap cara seorang filosof merumuskan konsep. Konsep yang dilahirkan tidak terlepas dari hubungan ‘multiplisitas’ yang terkonstitusikan antara berbagai hal, seperti halnya rhizomes atau peta, yang saling terhubung, sedangkan konsep dianggap sebagai ‘singularitas’, jika maknanya secara spesifik merujuk pada elemen konstitutif partikular tertentu. Di sisi lain, konsep juga memiliki relasi eksternal, yang selalu mendekati atau berjarak dari konsep lainnya. Tentunya, Deleuze dan Guattari tidak mengidentifikasikan geofilosofi dengan geohistori, tetapi lebih mendekatkan relasi terdekat dari elemen internal ‘geo’ yang disematkan. Geofilosofi tentu memiliki tantangan di mana ‘a plane of immanence’ atau ranah imanen yang merujuk pada ‘image of thought’—cara berpikir/gambar pikir yang mendorong terjadinya intuisi pra-filosofis atau non-philosophical given, sebelum konsep-konsep filsafat terbentuk.

Selama ini, para filosof menciptakan ‘masalah baru’ yang lahir untuk membentuk ranah imanen baru, seperti halnya Descartes ketika pertama kali memformulasikan prinsip filsafat pertamanya: cogito ergo sum atau [A]ku berpikir, maka [A]ku ada. Gagasan ini menciptakan cara berpikir baru tentang relasi antara pikiran dan eksistensi yang terberi begitu saja (intuisi pra-filosofis) tentang status ‘I’ atau [A]ku. Ranah Imanensi Descartes ini kemudian menciptakan berbagai konsep tentang [A]ku atau ‘I’ sebagai sebuah konsep filsafat yang mendapatkan perhatian bagi para filosof Pasca-Descartes, misalnya Kant atau Sartre.

ATP menjadi gambaran tentang bagaimana multiplisitas berbagai teori sosial yang selalu mencoba untuk merepresentasikan kompleksitas dunia ke dalam berbagai kategori struktur yang lebih sederhana. Deleuze dan Guattari sering menyebutnya sebagai  plateaus atau planes of consistency, yang secara harfiah artinya ‘dataran tinggi atau pegunungan’ semacam ranah atau bidang yang lebih konsisten dari pada penjelasan sebelumnya, tentang ranah imanensi. Mereka kemudian beralih ke berbagai disiplin ilmu untuk menelusuri kembali berbagai perbedaan antara pemikir (philosopher atau scientist) beserta gagasan atau konsep-konsepnya. Hal tersebut terwujud dari bagaimana potongan-potongan kecil dari multiplisitas dan variasi yang saling berlawanan dari satu pemikiran minor dengan lainnya juga saling memiliki kesamaan satu dengan lainnya, meskipun dalam bentuk repetisi yang sederhana dalam alur pemikiran dari berbagai disiplin ilmu. Sebagaimana contoh Dune karya Frank Herbert, dalam karya itu terdapat garis transversal berbagai formasi sosial politik, geografis, kebudayaan, dan ideologi yang anti-statistik namun saling bertemu, menyilang, tidak teratur serta beririsan.  

Gambaran konsep geografis yang sangat fisik kealaman tentu tidak dapat disamakan dengan bagaimana geofilosofi bekerja. Saya meyakini ketika Deleuze mencoba untuk mengulang artikel yang ditulis oleh Michel Foucault tentang Questions on Geography (1980), di mana lanskap fisik tidak terlepas dari sistem semiotik serta aparatus kekuasaan ketika sudah bertalian dengan urusan politik kemanusiaan. Geografi kritis menjadi tujuan dari Deleuze dan Guattari mengembangkan geofilosofi. Pembalikan transversal inilah yang membolak-balikan bentuk tradisional geografi di Prancis saat itu—misalnya tentang teritorialisasi (kewilayahan) menjadi de- atau re-teritorialisasi. Geofilosofi memuat serangkaian konsep spasial tentang kebertubuhan (organisme, materialitas, dan bahkan konsep) yang dikonstitusikan oleh teritorialisasi atas suatu ruang/spasialitas. Dengan demikian, konsep transversal non-linear tidak hanya berhenti pada relasi geografis semata, tetapi juga melihat bagaimana konsep non-lanskap bekerja, seperti afek-afek (affects) yang berdampak pada tubuh—aliran kapital (non-alami) melintasi Bumi, atau doktrin ideologis pada riset-riset lapangan sosial, malah mungkin saja pada pikiran kita sendiri. Atau, tawaran revolusionernya sebagai potensi terciptanya ‘Bumi Baru’ dari geofilosofi, dengan ‘Manusia Baru’ di dalamnya.

Kembali kepada periode puncak aliran pos-strukturalis, terutama Michel Foucault dan Jacques Derrida yang menempatkan subjek geografi kritis sebagai palingan kultural bersamaan dengan dasar pendekatan epistemologi dan semiotika yang begitu kuat. Alasannya karena terkait dengan ‘politik etis’ yang mengartikan bahwa dominasi keistimewaan white males yang cenderung mengartikan universalitas pengalaman serta tendensi fasisme pengetahuan yang dominan. Alasan inilah yang menggeser isu ontologi menjadi isu epistemologi, tentang masalah sirkulasi kekuasaan yang dikaitkan dengan bahasa, tanda, dan wacana. Pada posisi inilah, saya menolak sepenuhnya bahwa ketika Deleuze diartikan serupa. Deleuze tidak terlepas dari posisi filsafatnya sebagai seorang metafisikus alih-alih seorang epistemolog, kecuali ketika Deleuze setelah bertemu dengan Guattari, mereka yang mulai bermain-main di ranah politik dan etika, atau semiotika dan psikologi.

                  Secara singkat, untuk mengakhiri bagian pertama ini, saya ingin menunjukkan bahwa perkembangan geofilosofi dalam kurun waktu 20 tahun terakhir masih berhenti pada wacana dan kritik dari wacana Deleuzo-guattarian tentang Geofilosofi. Saya menemukan beberapa karya penting yang dapat menjustifikasi orientasi palingan ontologis dari geofilosofi, antara lain:

  1. Manuel DeLanda menerbitkan A Thousand Years of Nonlinear History (1997) sebagai perluasan konsep geofilosofi dan relasinya dengan konteks sains.
  2. Mark Bonta dan John Protevi memetakan glosari tentang Deleuze and Geophilosophy (2004).
  3. Ben Woodard, On an Ungrounded Earth: Towards a New Geophilosophy (2013), merupakan karya paling absurd, yang mencoba menelaah geofilosofi baru tanpa dan dengan Deleuze-Guattari.
  4. Rodolphe Gasché, Geophilosophy: On Gilles Deleuze and Felix Guattari’s What Is Philosophy? (2014), Gasché membongkar kembali asal-usul geofilosofi pada karya What is Philosophy?
  5. Ali Shobeiri Place: Towards a Geophilosophy of Photography (2021) mencoba memahami teori Deleuze tentang pembeda dalam ruang, tempat, dan gambar dalam fotografi yang selalu menjadi.
  6. Caterina Resta, Geophilosophy of the Mediterranean (2024), merupakan karya terjemahan filosof Italia Caterina Resta. Karya ini mulai secara serius menerapkan antara konsep geofilosofi sebagai lanskap analisis tentang wilayah Laut Tengah sebagai lanskap sosio-geografis.
  7. Selain buku, edisi khusus dua jurnal terkemuka dalam studi geofilosofi antara lain, (i) Jurnal Deleuze and Guattari Studies, Vol. 10(4), November 2016 dengan tema Deleuze and Guattari in the Anthropocene, (ii) Jurnal Subjectivity Vol. 15(3), September 2022dengan tema Geophilosophies. Kedua jurnal tersebut mengkaji perkembangan terkini dari konsep, wacana, perdebatan, sampai implementasi praksis dari geofilosofi.

Selain karya-karya di atas, terdapat berbagai karya turunan dari geofilosofi seperti halnya pada gerakan materialisme baru sampai materialisme vital di sekitaran 2010an dalam rangka menguncang binaritas ontologis dari manusia/non-manusia atau kehidupan/sosial dan lain sebagainya. Berbagai konsep turunan geofilosofi tidak terlepas dari bagaimana pengaruh cara berpikir Deleuze dan Guattari saat menciptakan berbagai konsep assemblages atau sekumpulan agensi yang menampilkan keberadaan karakteristik, misal kompleksitas Kumpulan bahan organik dan anorganik. Hal ini telah mengilhami beberapa ahli geografi untuk mempertimbangkan implikasi sosio-lingkungan hari ini, misalnya berbagai perusahaan teknologi dan pemerintah ketika mengembangkan konsep biomimicry atau bioinspired. Perekayasaan teknologi atau robotika sepenuhnya meniru bagaimana organisme biologis bekerja. Contoh ekstrem lainnya, jika kita mencoba menerapkan kerja kapitalisme pada lintasan multisiplitas di antara garis keragaman planes atau ranah (baik biologis, teknik, dan sosial), di mana tekno-sains dalam bio-mimikri selalu berpotensi terlibat dan mengontrol gerak fisiologis suatu organisme—baik secara mikro (individu) atau makro (Masyarakat).

Bumi Baru?

                  Akhirnya, pada bagian pertama refleksi tentang geofilosofi masih menyisakan banyak pertanyaan mendasar. Ini bukan berarti bahwa geofilosofi tidak menawarkan pendekatan apapun. Geofilosofi justru membumi dalam kontingensi dan imanensi, geofilosofi tidak dapat menawarkan konsep transenden yang sangat preskriptif. Masalahnya kemudian geofilosofi masih memiliki pertanyaan besar tentang New Earth dan New People seperti apakah yang dibayangkan oleh Deleuze dan Guattari kemudian. Namun, bagi saya pribadi, geofilosofi merupakan petanda untuk menjadikan filsafat tidak lagi menjadi legitimasi naif atas cara memandang dunia melainkan mulai mengubah dunia, meskipun itu hanya dunia-kehidupan yang jaraknya hanya sejengkal dari kehidupan kita yang sangat membosankan ini.

Lebih jauh lagi, keberanian untuk menjadikan filsafat sebagai proyek lapangan menjadikan filsafat lebih mumpuni dalam mengkaji masalah-masalah kontingensi dan pembeda yang ada. Filsafat bukan lagi tentang kekuasaan atau keistimewaan dalam berpikir, lagi pula filsafat selalu berperang tanpa perlawanan, namun rute strategi gerilya-nya inilah yang tidak dapat dipandang sebelah mata.  

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.