Mengorganikan Urban?

Gambar 1. Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Selasa Legi, 23 Juli 2024. (Sumber: foto WAG).

Apa yang menarik dari berita di beberapa portal berita Yogya ialah menyoal gerakan masyarakat bertajuk ‘Organikkan Jogja’. Gerakan ini menyasar setidaknya 23.750 kepala keluarga. Inilah bentuk dari keyakinan kuat Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta beserta tim penggerak PKK beserta Forum Bank Sampah untuk mengubah cara pengelolaan sampah rumah tangga secara aktif dan bahkan berkelanjutan. Terlepas dari inisiasi gerakan masyarakat ini, yang tentu saja masih ada kaitannya dengan isu-isu penumpukan sampah di sejumlah titik fasilitas publik selama kurang lebih 2021-2024 sebab terdampak penutupan TPA Piyungan.

Gerakan ini diklaim sebagai bentuk dari ‘perekayasaan sosial’ bagi masyarakat agar dapat menyesuaikan pola kebijakan desentralisasi pengelolaan dan pengurangan muatan sampah yang terjadi di beberapa titik TPA di Yogyakarta, termasuk Piyungan. Gerakan ini pun berorientasi mengembangkan proses pemilihan sampah organik dan anorganik dengan menggunakan biopori ataupun lodong sisa dapur (losida). Meskipun demikian, program ini disinyalir akan mulai berjalan akhir tahun 2024, dengan tujuan setidaknya mampu mengolah sampah organik menjadi bahan yang lebih ramah lingkungan untuk pertanian organik pula. Dapat dicontohkan, bahan organik sisa makanan dan sayuran dapat menjadi pakan magot misalnya, tutur salah satu PIC dari progam ini.

Saya rasa pemilihan istilah dari suatu gerakan yang dijuluki ‘organik-kan Jogja’ menyimpan beberapa hal yang perlu dijelaskan sebagaimana problem yang ada pada ‘Hauntologi Sampah’. Namun, sebelum beranjak ke isu Hauntologi Sampah, ada satu karya sejarawan urban Amerika Patricia Melvin berjudul “The Organic City: Urban Definition and Neighborhood Organization 1880–1920” (1987). Karya klasik ini mengambil sudut pandang pada akhir abad kesembilan belas di mana telah terjadi perubahan sosial dan ekonomi yang begitu cepat di New York, Milwaukee, Cincinnati Amerika.

Terdapat permasalahan terkait kesenjangan antara definisi ‘kota lama’ dengan kota baru, termasuk sejarah bentang alamnya sampai sistem ekologi yang menopang suatu citra kota baru. The Organic City (1987) hanya merujuk tentang cara kita menyelesaikan masalah dislokasi dalam kehidupan perkotaan di mana orientasi ‘kota organik’ sudah tiada, ia hanya kemudian digantikan oleh model kooperatif (penyelesaian konflik dan friksi antar kelompok berkepentingan) secara kompetitif.

Belajar dari dislokasi Kota Organik ini sepertinya ketika kita memastikan suatu gerakan Organik-kan Jogja hanya sebagaimana bagian kecil dari sebuah konsentrasi Kota Organik yang sesungguhnya. Di sisi lain, Jogja setelah mendapatkan pengakuan dari UNESCO tentang Sumbu Filosofis Yogyakarta sebagai warisan dunia yang harus dilestarikan, menjadikan kota ini selalu bernegosiasi untuk mempertahankan ciri tradisional dengan model kota yang modern. Intinya, kenyamanan kunjungan turis di nomor satukan. Citra baik dan bersih menjadi ujung tombak dari pelestarian sebuah situs wisata.

Identitas ‘yang-bersih’ dan ‘yang-kotor’ inilah menjadi indikator dalam kita membaca hauntologi sampah. Proses gerakan Organikkan Jogja hanya berbasis pada perubahan aktivitas berbudaya setiap keluarga yang ada, bukan berorientasi pada tata perubahan kota yang ‘organik’. Sayangnya, istilah organik ini tidak terlepas dari semboyan yang biasa kita gunakan jikalau ingin menegaskan bahwa kita orang baik dan bermoral terhadap lingkungan. Misalnya, penghijauan atau menghijaukan Bumi (greening the Earth)–Go Green, pokoknya Green Washing. Begitu pun, sesuatu hal yang organik selalu menarik bagi masyarakat Urban Perkotaan.

Bagi masyarakat urban, kehidupan yang semakin anorganik tetapi sulit untuk ditanggalkan inilah yang membuatnya nyaman. Justru, apa yang organik memiliki nilai jual yang sepenuhnya berbeda. Dalam mode produksi sistem kapital, organik ini memiliki nilai-lebih yang pada proses valorisasinya mendapatkan tempat menggantikan yang-anorganik. Padahal, dualitas antara organik dan anorganik sempat disinggung oleh Manuel De Land dalam A Thousand Years of Nonlinear History (1997, hal 25):

““We live in a world populated by structures-a complex mixture of geological, biological, social, and linguistic constructions that are nothing but accumulations of materials shaped and hardened by history” (DeLanda, ATY, hal. 25)

Jikalau kita menerjemahkan secara bebas maka dapat dikatakan apa yang dimaksud oleh DeLanda ialah bahwa kita saat ini hidup di dunia yang tercampur-aduk oleh banyak hal. Dunia yang kita rujuk pada dimensi urban ialah akumulasi material yang dibentuk dan diperkokoh oleh sejarah. Sejarah ini artinya pengetahuan yang bergerak baik secara material maupun immaterial. Apa yang kita rujuk pada kata Urbanisasi misalnya, perpindahan atau transisi dari model kota tradisional menjadi kota modern pun tidak terlepas dari dunia organik.

Sejarah non-linier ala DeLanda mempercayai bahwa dunia organik yang awalnya berdasar pada jaringan lunak hingga ratusan juta tahun menjadi bentuk tulang yang termineralisasi. Mineralisasi tulang ini menjadi faktor pengendali dunia baru. Metafora ini membentuk berbagai mineralisasi lain dengan ekstra-(eksoskeleton) urban sebagaimana tulang. Tulang-tulang ini saling menyusun serta mengontrol kehidupan ‘dinding-dinding kota’ baru. Artinya, dari dua-kaki berjalan sampai mengatur pasokan barang dan berita inilah menjadi dasar infrastruktur urban. Sedangkan populasi manusia saat ini yang semakin padat memiliki fungsi atas pengendalian gerakan tulang-tulang terhadap bagian tubuh kita.

Daging perkotaan yang sudah semakin membusuk inilah yang selalu ditopang oleh ekstra-piranti seperti teknologi yang asal muasalnya pun tidak sepenuhnya organik. Kita ambil contoh sederhana, bagaimana ciri khas Hauntologi Sampah ini bekerja sebagaimana gambar di bawah ini.

Gambar 2. Tangkapan Gambar Sampah Plastik Daur Ulang untuk Alasan duduk (Sumber: Kiriman WA Bayu).

Apa yang menarik dari gambar plastik daur ulang berspirit eco-friendly adalah memanfaatkan kembali limbah atau sampah sisa penggunaan kita. Tetapi pada akhirnya ia-secara ontologis-akan kembali menjadi sampah. Ia dibuang begitu saja. Seolah-olah inkonsistensi nilai-guna ini menjadi bermakna gamang. Pada bagian ini tidak akan saya jelaskan terlalu panjang perihal perubahan nilai guna yang bekerja pada barang-barang komoditas pasca-konsumsi. Selanjutnya pada Gambar 3 dan 4 bagaimana menariknya potongan plastik yang dikumpulkan dapat menjadi barang baru dengan nilai guna pada penggunaan sekaligus pada hasrat kepuasaan telah menyelamatkan dunia.

Gambar 3. Tampilan Jual-Beli Bahan Eco-Brick (Sumber: Shope, 2024).

Gambar 4. Hasil dari Eco-Brick berbentuk Kursi (Sumber: Mediapijar).

Saya memiliki seorang teman, Ia adalah pecinta lingkungan juga seorang Hattanian. Ia pernah memiliki proyek untuk membuat kursi berbasis limbah plastik yang ia konsumsi setiap harinya. Kata teman saya, suatu saat saya akan membuat sebuah kursi yang serba guna berbasis sampah. Singkatnya selama beberapa tahun dalam proses hoardingnya, ia menyerah. Sampah ialah sampah. Bujukan dan tekanan dari teman sebayanya membuat gerakan lingkungan lumpuh.

Baiklah, semoga gerakan Meng-organikan Jogja tidak padam seperti apa yang dibayangkan teman saya itu. Pemerintah Jogja punya optimisme, agar warganya tidak bergantung pada pengepul sampah atau setidaknya mampu menekan timbulan sampah berlebih. Selalu saja, para politisi ini berkata bahwa gerakan penglolahan sampah seperti kecentilah 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle) agar diimbau kalau perlu dipaksakan kembali. Selalu saja begitu…

Ya.. tapi yang di Re- itukan objek material non-manusia, mungkin kalau 3R ini diterapkan pada pejabat yang sudah usang dan siap jadi pupuk akan cukup bermasalah. Tentu saja tidak mungkin. Proses 3R hanya bisa melalui sistem demokrasi, itupun kalau tidak dikorupsi.

Bahkan melalui curhatan ini pun, Mengornikkan Jogja sebagai gerakan belum masuk dalam pendekatan Hauntologi. Masih jauh, saya masih merasa dihantui oleh pra-gerakan ini. Ya, semoga sosialisasinya berjalan dengan lancar jaya…

Harapan lainnya, semoga tidak seperti apa yang dilakukan oleh Forum Pemuda Peduli Sampah Kabupaten Sintang yang telah melakukan aksi protes dengan membuang 4 truk berisi sampah ke halaman Kantor Bupati dan Kantor DPRD, Selasa, 23 Juli 2024. Tepat seperti KR merilis istilah gerakan masyarakat Meng-Organik-kan Jogja.

Video. Akibat Sampah Menumpuk, Warga Buang Sampah di Kantor Bupati dan DPRD Sintang – iNews Pagi 24/07. (Sumber: Youtube.com).

*NB: Saya akan menambahkan beberapa hal, mungkin nanti… saya mau ikuti dulu sosialisasi meng-Organik-kan sampah, semoga tabiat buruk saya dan kebiasaan lama saya bisa direkayasa dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Oh ya satu lagi: Saya pernah di satu waktu, sekitar 1 minggu yang lalu, ketika mengisi acara ekoliterasi, tak sengaja saya bertemu dengan petani di daerah Utara Jogja, dia berkata bahwa masalah sampah itu pada industri, perhotelan, dan pasaraya. Tetapi mengapa selalu limbah rumah tangga yang dikambing hitamkan. Ia percaya sebagai seorang petani sudah berlaku organik bahkan sebelum gerakan itu muncul.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.