\
Menjawab tantangan studi Antroposen dalam perspektif Antropologi, umumnya, melalui pendekatan onto-antropologi dengan basis palingan ontologis atau ontological turn. Beberapa antropolog (Viveiros de Castro, Descola, Latour, Strathern, Ingold, Holbraad) melakukan redefinisi antropologi sebagai ontologi komparatif. Artinya, studi antropologi tidak hanya sekedar membelah pembahasan antara yang ‘kultur’ dengan yang ‘natural’, namun sebaliknya, ontologi yang lebih plural seharusnya menawarkan pendekatan antropologis yang tersituasikan dalam kerangka virtualitas kemenjadian-yang lain. Dengan demikian, Antroposen menjadi ‘yang-lain’ untuk menjernihkan situasi baru melalui pendekatan antropologis yang lebih terbuka, misalnya de Castro yang menarik situasi koloniasasi sebagai latar belakang ontologis untuk menjelajah dunia Antroposen yang menyituasikannya.
Pada kesempatan ini, saya merasa bahwa satu artikel karya Patrice Maniglier yang berjudul “How Many Earths? The Geological Turn in Anthropology” sangat menarik untuk kita diskusikan bersama, terutama tawarannya perihal geological turn atau palingan geologis sebagai pendekatan dalam investigasi kasus Antropologi. Tentunya, Maniglier memberikan batasan pada isu Antroposen dan Antropologi. Maniglier mengklarifikasi beberapa argumentasinya tentang palingan geologis yang menempatkan Bumi sebagai aktor baru dalam sejarah.
(1)
Untuk mengkaji lebih lanjut konsep ini, kita perlu memberikan batasan atas palingan geologis melalui kerangka batas waktu-manusia ‘sekarang’ atau ‘present’ dan perlu menekankan bahwa manusia bukanlah satu-satunya aktor yang mengubah lingkungan secara radikal dan signifikan sepanjang waktu dalam linimasa sejarah, justru sebaliknya. Pertama, the coming Earth atau bumi yang akan datang bukanlah objek pasif, yang hanya menerima pengaruh dari manusia. Jika kita sudah berkomitmen meletakan Bumi sebagai ‘aktor’ maka perubahan yang terjadi adalah bentuk dari dinamika sistem bumi itu sendiri. Sistem yang bekerja ini tidak secara sederhana diubah atau dimodifikasi melalui intervensi kita, justru sebaliknya, reaksi atas aksi atau interevensi kita terhadapnya, menjadi bagian dari respons atas kondisi yang tersituasikan terhadapnya tetapi mengada pada bentuk yang tidak pernah terekspektasikan oleh kita, sebagai manusia. Chakrabarty (2009) merujuk pada pengondisian sesama aktor yang membuat dunia seperti apa adanya. Bumi menjadi aktor dalam kondisi pluralitas ketika membuat ‘sejarah’, entah itu sejarah Bumi atau sejarah Dunia untuk manusia.
Kedua, pemahaman kita tentang ekologi adalah bagian dari serangkaian observasi yang berulang-ulang yang telah mendorong sensibilitas baru kita dalam merespons kondisi lingkungan hari ini. Saya dapat memberikan contoh, misalnya ketika menggunakan pestisida untuk membunuh hama, awalnya kita mendapatkan hasil panen yang melimpah, tetapi ketika penggunaan ke sekian kalinya, di situlah dampak yang tidak pernah dikalkulasikan muncul. Entah mempengaruhi kondisi unsur hara tanah atau bahkan mematikan spesies selain hama itu sendiri. Pengendalian hama pun berubah dengan penyesuaian yang ‘memaksa’ kita untuk beralih. Begitu juga ketika kita menarik pada level global seperti perubahan iklim yang dampaknya tak terduga secara lokal.
Kerusakan yang sebelumnya terjadi, tidak mengubah apapun atas kenyataan bahwa Bumi bukanlah satu ekosistem tunggal, atau bahkan transendensi atas ‘ekosistemnya ekosistem’ yang lebih kompleks. Kita menyebut ekosistem hanya karena kita dapat mempertahankan eksistensi kita dalam lingkup waktu, evolusi, dan diskriminasi tertentu. Tentu saja, pemahaman ini akan menuntun kita kepada kontra-distingsi bahwa kita tidak benar-benar hidup dengan semua pengada Bumi (Earth’s beings), justru regularitas global yang mengunci kondisi yang kita sebut sebagai ekologis yang seimbang itu sendiri. Bumi itu sendiri memanifestasikan wujudnya sebagai aktor global tetapi tidak dalam pemahaman terbatas bahwa Bumi adalah tanah, landskap, lingkungan, ekosistem, atau bahkan planet biru.
(2)
Baik, saya rasa dari penjelasan di atas, kerumitan palingan ini mulai memunculkan semacam tantangan ontologis baru tentang sejauh mana kita dapat memahami Bumi sebagai bagian dari palingan geologis. Meminjam istilah Elizabeth Povinelli (2016) tentang geo-ontological variations atau variasi geo-ontologis ini memungkinkan kita untuk membuka penjelasan variasi ontologis tentang yang-ada pada penelitian Antropologi secara lebih beragam, termasuk kemungkinan pengaruh dimensi non-antropologis dalam sejarah perkembangan pemikiran dan penelitian antropologi itu sendiri. Tentunya, palingan ontologis lebih banyak dijadikan acuan bagi para ahli antropologi sebab lebih memberikan variasi kemungkinkanan atas konstruksi kemenjadian-yang-lain sebagai pembeda kultural. Dengan demikian, pendekatan komparatif ini melandasi konsep kebudayan-yang-lain tidak dalam kerangka representasi final tetapi lebih pada variasi ragam yang-ada itu mengada dengan bentuk dan cara yang berbeda-beda.
Pilihannya kemudian, tidak lagi mereduksi yang-lain tetapi mempertimbangkan hibridasi—persilangan. Tetapi, kondisi ini tentunya memiliki konsekuensi yang bisa saja membuat palingan ini bermasalah menurut versi Maniglier. Permasalahanya menurut saya ialah sejauh mana kita harus memperbanyak ‘hibridasi’ untuk memahami kondisi maksimum Bumi sebagai warisan modernitas. Kita mungkin sepakat bahwa hari ini kondisi Bumi tidak lagi layak huni bagi sebagain besar ras atau komunitas tertentu, sebab adanya ancaman apokalipstik atau kiamat yang menghantui, atau istilah populernya ‘tidak lagi berlanjut—unsustainable: le Roi est nu.
Mereka lantas memberikan solusi atas hibridasi ini dengan cara menyamaratakan ontologi-ontologi yang selama ini terbelah atau flat ontologies. Hal ini dikarenakan situasi yang sepenuhnya berbeda juga usaha untuk meninggalkan pandangan modern tentang Bumi. Semisal, kita selalu membagi istilah entitas alamiah (seperti karbon, sungai, awan, laut) di satu sisi dengan kontra aksi-representasi kebudayaan (seperti relasi sosial, kategori filosofis, dsb). Apakah dengan kita mencampur adukan dua pembeda ini maka permasalahan niscaya selesai? Saya rasa pun tidak, menjadikan jejaring tunggal pada Bumi sebagai latar belakang tentunya akan mengembalikan pandangan kita akan Yang-Tunggal tersebut. Padahal, di awal sudah kita sepakati palingan ontologis seharusnya menawarkan dimensi yang lebih pluralistik terhadap kondisi yang sedang berkelindan hari ini, yakni Bumi sebagai aktor.
Atas kekosongan pertanyaan ini, Maniglier mencoba menawarkan fondasi baru atas pluralisme ontologis melalui realisasi globalitas (globality). Globalitas ini menarik untuk menjelaskan pendekatan yang lebih pluralistik untuk memahami kemenjadian peristiwa Bumi, semisal Pemanasan Global akan menjadi global ketika terjadi di India tidak sama sebagaimaan terjadi di Alaska atau di bagian Venezuela. Menariknya, satu peristiwa itu masih menjadi bagian dari satu kesatuan yang terbangun meskipun manifestasi dan mekanisme sangatlah beragam. Hal ini membuktikan bahwa meskipun ada keragaman yang bekerja sebagai reaksi atau dampak terhadap semua yang-ada, prinsip universal ketunggalan tentang bumi yang satu atau Pemanasan Global yang satu itu sendiri lebih banyak diterima.
Padahal, prinsip tentang hipotesis Gaia yang lebih meyakinkan Bumi sebagai sebuah organisme yang hidup dapat menjadi pandangan yang cukup menyesatkan. Alasan sederhananya jika Bumi itu sendiri mengonsitusikan variasi dan mekanisme regulatif, maka ketidakakuratan homeostatis yang bergerak secara umum, pasif, dan terprediksi secara pasti dapat menjamin pandangan kita akan masa depan yang lebih stabil. Namun, justru sebaliknya, bumi bekerja pada sistem yang lebih dinamis. Ketunggalan bumi tidak dapat direduksi hanya pada sejauh mana kita melakukan modelisasi menggunakan kemampuan sains dan teknologi yang berkemajuan.
(3)
Kisah menarik terjadi pada pengalaman berburu Gwinch’in. Persepsi antropologis kelompok berburu Gwinch’in di Alaska yang menyalahkan pencemaran orang Cina sebab perut hewan yang diburunya mengalami pembusukan, padahal pembusukan ini disebabkan oleh lumut yang dimakan oleh rusa tersebut telah terkontaminasi oleh hujan asam menurut perspektif ilmiah. Artinya, persepsi ke-Bumi-an orang Gwinch’in dengan sensitivitas ekologisnya dan pandangan rasial akan citra polusi kiriman dari negeri Cina itu tidak selamanya memiliki hubungan relasional. Apa yang terkonstruksikan melalui pikiran mereka, dan yang mereka negosiasikan dengan realitas yang sedang terjadi, tidak membuat relata-relata yang dipahami oleh ilmuwan iklim bekerja sebagaimana semestinya sama persis.
Dampak, persepsi, relasi, konstruksi, dan putusan pengalaman yang bergerak ini seolah rasional jika termediasi pada konektivitas yang mereka sendiri tidak pernah lihat atau sadari tetapi dapat terinformasikan karena pengaruh warisan pemahaman masa lalu. Bumi dapat menjadi akses baru pemahaman sisa-sisa kolonialisasi pengetahuan lokal dan ketegangan antara komunitas pribumi dan segala bentuk intervensi politik lintas wilayah. Realitas global ini kemudian memiliki implikasi pada kuasa global juga, yang artinya semakin jauh dan luas dari segala diversitas aktor-aktor yang bekerja. Apapun putusan kita terhadap Bumi, selalu terdapat seluruh aspek atas relasi timbal-balik yang berusaha untuk dipertahankan. Dan, hari ini politik mengalami peralihan dari biopolitik menuju geopolitik dalam wujud geo-onto-politics atau geo-power. Seperti halnya kisah pemburu Gwinch’in yang merepresentasikan ketersituasikannya, tetapi mereka tetap berhubungan dengan rusa besar, industri Cina, ilmuwan, hujan asam, dan lumut yang akan selalu menjadikan ‘mereka sebagaimana mereka’. Dari sinilah, upaya peralihan antropologi untuk mencoba mempertimbangkan geos dalam kerja antropologisnya mulai terlihat. Tidak hanya sekedar pertanyaan, apa arti menjadi manusia tetapi apakah semua masalah kita sebagai manusia sama di atas Bumi?
Masalahnya menjadi bukan mencari masalah universalitas tetapi masalah globalitas. Tidak lagi mempertanyakan tentang identitas yang transendental tetapi tentang subjektivitas keplanetan, perbedaan (differences) sebagai cara yang berbeda untuk mengada. Perbedaan ini selalu terbagi secara berbeda dan tidak pernah setara, dan pertimbangan ini menjadikan antropologi dapat meranang ruang diskursus atas pelampauan antropos ‘Kita’ yang tunggal. Salah satunya dengan mempertimbangkan bahwa Bumi terstruktur layaknya bahasa. Kita bisa menggunakan bahasa ilmiah untuk berbicara sistem Bumi sebagai ‘keseluruhan dunia’ sama seperti Davi Kopenawa dari suku Amazon berbicara tentang Hutan sebagai ‘keseluruhan dunia’.
(4)
Memang, kita sepakat Antropologi selalu menjadi yang terbaik ketika mendefinisikan ‘Kita—manusia’ yang non-hegemonik. Penampakan Bumi di dalam panggung sejarah ‘Kita, semua’ telah menyediakan landasan baru bagi antropologi untuk tidak lagi terjebak dalam perbedaan operasional, seperti alam dan budaya, bahasa dan realitas, manusia dan non-manusia, dan seterusnya. Konsekuensinya, dengan mempertimbangkan keragaman palingan ontologis menuju palingan geologis maka pertanyaannya adalah tentang Apakah Antropologi sebenarnya tidak hanya berbicara tentang ‘manusia’, tetapi juga menjadi posisi terbaik untuk berbicara tentang ‘Bumi’? Adalah benar kemudian ketika para aktivis berteriak bahwa kita tidak lagi memiliki opsi lain, tidak ada planet B! Tetapi perlu diperjelas ulang, toh, pandangan itu tidak menjadikan kesatuan Bumi sebagai sesuatu yang univokal. Bumi itu satu, tetapi tentunya tidak sama.
Bacaan lanjutan:
Davi Kopenawa and Bruce Albert, The Falling Sky, (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013)
Dipesh Chakrabarty, “The Climate of History: Four Theses”, Critical Inquiry 35, no. 2 (2009).
Elizabeth Povinelli, Geontologies: A Requiem to Late Liberalism, (Durham: Duke University Press, 2016).
Patrice Maniglier, “Anthropological Meditations: The Discourse on Comparative Method”, in Pierre Charbonnier, Gildas Salmon, Peter Skafish eds., Anthropology after Metaphysics, (Landham (Md.): Rowman and Littlefield, 2016).