Esai ini terinspirasi dari artikel Kathryn Yusoff, berjudul Geologic life: prehistory, climate, futures in the Anthropocene. Environment and Planning D: Society and Space (2013), Vol. 31, pp. 779-795.
—
Setelah cukup lama hiatus, saya putuskan untuk menulis kembali di sini. Saya akan memulai dengan merangkum salah satu jurnal Antroposen yang cukup menarik. Datang dari Kathryn Yusoff, tulisan ini merupakan pra-gagasan sebelum akhirnya memutuskan menerbitkan karya fundamentalnya tentang studi kritik poskolonial Antroposen, berjudul “A Billion Black Anthropocenes Or None” (2018).
(1)
Saya senang dengan gaya Yusoff menarasikan kehidupan geologis (geological life). Mendiagnosis Antroposen ternyata tidak hanya sekedar membicarakan kemampuan manusia sebagai agen-geologi semata. Yusoff memberikan istilah geomorphic force yang di dalamnya juga memuat inhuman forces. Inhuman di sini seperti halnya istilah non-manusia atau abiotik, tetapi cakupannya lebih dari itu, lalu saya terjemahkan sebagai nirmanusia.
Geologi tentunya tidak hanya sebatas mencari jejak-jejak masa lalu berdasarkan fosil-geologis, tetapi juga ada dimensi sosial geologi yang saling terpaut. Daya keplanetan inhuman misalnya yang berasal dari bahan bakar fosil. Asal usul fosil purba ini tidak terlepas dari sejak periode Karbon atau Carboniferous. Hanya dengan satu lompatan periode waktu geologis saja, jejak purba ini mampu memproduksi daya dukung energi peradaban sampai saat ini, era bahan bakar fosil.
Yusoff melihat bahwa isu Antroposen menjadi semakin menarik ketika subjektivitas(i) geologi bukan saja tentang geofisik, genom, serta narasi sosial yang terbelah-belah, melainkan ketiganya saling mengomposisikan dan mendiferensiasi formasi kolektif biopolitik serta (geo)korporeal. Sedangkan Antroposen dapat menjadi kunci untuk memahami bagaimana ketiga hal (waktu, materi, dan agensi) tersebut saling berkelindan dalam satu kesetangkupan tingkah-laku geomorfis dan gerakan kolektif. Artinya, kehidupan manusia tidak hanya bergantung pada level biologis saja tetapi juga perlu mempertimbangkan negosiasi kehidupan geologisnya, di mana kekuatan nirmanusia juga memiliki kontribusi bagi materi-kehidupan-tubuh manusia, sebut saja ketergantungan terhadap energi fosil.
(2)
Untuk memahami kehidupan geologis, kita perlu sejenak mempertimbangkan kontribusi nirmanusia yang sebenarnya sangat signifikan terhadap kebangkitan peradaban manusia, terutama di saat geopolitik kapitalisme-lanjut sangat bergantung dengan materi-energi dari (bahan bakar) fosil tersebut. Tentunya, sangat sulit jika kita mau merancang pengakuan atas being as geological, sebab selama ini, pengakuan being as (always) biological, tubuh-yang-menumbuh, tubuh-yang-berpikir dapat dikatakan lebih dominan pun lebih mudah dipahami. Akan tetapi, saya rasa gagasan Yusoff sebagai pemikir sosial geologi perlu kita cermati kembali ketika memahami bagaimana subjektivitas kontemporer dan ruang kerangka Antroposen bekerja.
Pemikiran tentang nirmanusia menjadi sesuatu hal yang mustahil jika kita sendiri tidak pernah berani mempertimbangkan, bagaimana sejatinya kehidupan politik, sosial, dan biologis kita termanifestasikan sekaligus terkomposisikan atas dasar landasan kehidupan geologis. Berbicara tentang ‘fosil’, kedirian kita sebagai manusia selalu mengisolasi dimensi-dimensi ‘kemanusiaan’, ‘sosial’, dan ‘alam’, serta ‘yang-geologis’. Demarkasi ini semakin diperkuat ketika daya manipulasi biopolitik masyarakat kapitalisme lanjut bekerja dengan mengaburkan dimensi kepentingan yang (hanya) berorientasi pada kapitalisasi diri tanpa mempertimbangkan potensi subjektivikasi yang bekerja. Padahal, Antroposen yang mempertimbangkan kehidupan geologis, tentunya membuka pemahaman baru bahwa kehidupan tidak hanya sebatas biologis—yang terpolitisasi (biopolitik), tetapi juga sejauh mana kehidupan geologis—yang dipolitisasi (geopolitik) bekerja dan melahirkan konsekuensi bagi kemanusiaan itu sendiri.
Kita tahu bahwa cara kerja palingan biologis hanya berbicara perihal integritas kebertubuhan, tubuh-daging, molekul, dan prinsip keamanan tubuh-biologis semata, sedangkan palingan geologis mampu berbicara pada aspek yang lebih luas (tidak hanya terbatas pada tubuh—internal), yang mencakup bentuk baru dampak geomorfis, perubahan keplanetan yang disebabkan oleh masyarakat, dan bahkan mobilisasi massa atas bahan bakar fosil. Terlepas dari bagaimana kapitalisasi alam bekerja berdasar logika ekstraksi bahan bakar fosil, kehidupan geologis tentunya tetap memanifestasikan bagaimana teritorialisasi bekerja serta hubungannya dengan (in)korporeal—yang material sekaligus immaterial.
Apabila kita mencoba menempatkan Antroposen sebagai ruang provokasi maka terdapat beberapa konsekuensi yang menarik. Pertama, kita akan sangat BERHUTANG dengan fosil-purba. Apapun bentuk kenikmatan kultural hidup manusia hari ini, selalu bergantung pada bahan bakar. Logika tentang pemenuhan hajat orang hidup secara kolektif berbasis energi tidak dapat ditunda. Semua orang pada akhirnya membutuhkan energi untuk bertahan hidup yang bersumber pada fosil. Proses fosilisasi tidak bekerja seumur hidup selama satu generasi manusia. Butuh waktu ratusan atau juta tahun. Waktu geologis akan mengingatkan kita tentang ketegangan antara korporealitas manusia (materialitas yang terejahwantahkan pada batas waktu tertentu) dan temporalitas nirmanusia yang betautan pada ambang batas, antara menuju evolusi baru atau akhir kepunahan pasca-Holosen.
Kedua, sebagai agen geologis, manusia sanggup memenuhi kriteria daya kausal untuk mengkapitalisasi mineral dan mengekstraksi energi yang berasal dari sistem bumi. Hal inilah yang memungkinkan strategi pembacaan alternatif Antroposen dapat dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu material, simbolik, dan virtual. Ketiganya dimaksudkan untuk memastikan bahwa ketidakmungkinan mengklaim agensi universal geologis yang berdampak pasca-Holosen. Klaim ini sulit untuk di atasi sebab ketidakcukupan bukti dan lemahnya momen temporalitas fosil yang dapat diselidiki dari masa lalu ke masa depan. Dengan demikian, Yusoff memutuskan untuk membaca Antroposen sebagai momen temporalitas ‘kita’ dalam strata-(waktu)geologis.
(3)
Menariknya, Yusoff mengajak kita untuk melakukan percakapan imajiner dengan dua fosil yang berbeda, yang melintas waktu kehidupan geologis. Kedua fosil ini merupakan fosil dari manusia, pertama berasal dari masa prasejarah dan yang kedua menjadi fosil masa depan Antroposen. Tentunya, pertemuan lintas waktu ini akan menyisakan ruang diskursus yang lebih terbuka dan spekulatif terkait status agensi geologis, waktu, dan kemenjadian nirmanusia.
#Fosil No. 1: Antroposen, fosil antropos yang akan datang.
Skenario pertama, sebermula fosil Antroposen yang akan selalu menghantui manusia. Tentu saja, kita tidak pernah membayangkan seperti apa bentuknya, tetapi para ahli geologi percaya bahwa ada satu unifikasi jejak fosil Antroposen pada lapisan sedimentasi tertentu. Kerangka unit kesatuan geologis ini membutuhkan kejadian yang serentak, sedangkan manusia memiliki dimensi ‘kolektivitas’ yang sangat kuat. Bentuk (geo)morfogenesis ini melampaui batas-batas narasi atas totalitas kehidupan yang netral dari lintas generasi. Justru sebaliknya, manusia menjadi aktor atas skenario yang selalu dinamis dan berkolaborasi dengan bumi dalam membentuk subjektivikasi manusia.
Geoformasi subjektivitas Antroposen tentunya selalu mengandaikan manusia sebagai satu-satunya bukti konkret atas trajektori geologis yang bekerja. Akan tetapi, jejak stratigrafis yang dihasilkan oleh gerak limbah antropogenik yang diproduksi oleh sistem masyarakat dunia dan kapitalisme lanjut sejak 1950an sampai hari ini telah menjungkirbalikkan persepsi asal usul fosil secara natural. Yusoff meminjam gagasan dari Elizabeth Povinelli tentang geo-ontologi untuk menjelaskan bagaimana proses re-naturalisasi dan re-animisme bekerja berkelindan secara serentak akibat dari fabrikasi lapisan dunia sosial. Fosil Antroposen tidak hanya komponen kehidupan biologis manusia yang mengendap ratusan bahkan jutaan tahun melainkan juga menarik rajutan ekspresi materialitas manusia, yang berasal dari kreativitas, reproduksi, dan artefak teknologis.
#Fosil No. 2: Teori Asal Muasal Manusia
Menarasikan rekam jejak fragmentasi fosil terkait asal muasal manusia mengada sejauh ini baru sebatas bergantung pada satu temuan fosil purba prasejarah, yang kita sebut sebagai Homo sapiens. Teori evolusi manusia sejauh ini masih merujuk pada fenomena asal usul leluhur miliaran manusia hari ini. Teori out of Africa misalnya saja menyebutkan bahwa Homo Sapiens muncul pertama kali di benua Afrika sekitar 200.000 tahun yang lalu dan menyebar ke seluruh belahan dunia. Berdasarkan teori ini, seolah-olah hanya ada ‘satu spesies dan satu dunia’. Meskipun demikian, teori ini masih sering diperdebatkan terutama tentang narasi kita sebagai penyintas spesies terakhir. Rekonseptualisasi kondisi kemanusiaan saat ini menjadikannya sebagai kelompok interspesies yang dibedakan secara temporal, seksual, dan geografis ketika melakukan migrasi dan membentuk teritorialisasi. Fosil prasejarah sekurang-kurangnya telah menjelaskan bahwa kondisi kehidupan prasejarah dikonstitusikan secara geografis, geologis, dan genomik. Sebagai penyintas, ‘manusia’ yang kita rujuk saat ini dengan segala konstruksi natural dan sosialnya, akan selalu diingatkan tentang bagaimana kepunahan prasejarah terjadi.
(4)
Fosil manusia menjadi salah satu bagian proses sedimentiasi yang belum selesai. Fosil ini mengingatkan kita atas dua percakapan sebelumnya, satu pertautan longue durée kehidupan geologis kita dan asal muasal mineral nirmanusia, serta masa depan yang termaterialisasi. Rumusan untuk mempertegas ‘manusia’ sebagai bagian fundamental terhadap formalisasi Antroposen antara lain dimungkinkan jika:
- Adanya bentuk kehidupan, suatu acuan ‘universal’ tentang manusia sebagai penanda yang dominan atas diferensiasi kemungkinan bentuk kehidupan geologis baru.
- Adanya bentuk tanggung jawab dan warisan, secara genealogis manusia mampu membentuk warisan di masa depan dan ‘tanggung jawab’ ini dalam artian menempatkan segala bentuk ‘warisan’ yang ditinggalkan selalu menopang pada materialisasi yang bekerja meski telah ‘tiada’ bahkan berubah dalam bentuk fosil.
- Adanya bentuk teritorialisasi dan transformasi geomorfis Bumi.
Fosil akan berbicara dan membuka pertanyaan secara terus menerus tentang genealogi manusia, warisan, lintasan masa lalu, dan kelangsungan hidup di masa depan. Mereka dapat membuka cara pandang kita terhadap korporealitas geologis, yang melampaui materi ‘hidup’ dan mati, juga membawa kita melintasi temporalitas masa lampau dan masa depan. Mempertimbangkan fosil sebagai ‘vitalisme pasif’, berarti tidak lagi menganggap remeh bagaimana determinasi dan kontribusi transversal menarik pembahasan geo ke ranah politik dan kekuasaan. Yusoff mempertimbangkan bahwa ketergantungan kita terhadap persediaan energi geo yang terbatas tidak mungkin memberikan kekuasaan atas politisasi material geologis secara serampangan.
“Being is always tide into being toward the geologic, conceptually, ontologically, and materiality”
(Yusoff, 2013: 792)
Mencerna buah pikir Yusoff tentang fosil menjadikan peralihan pandangan moral etika lingkungan kita terhadap bumi berbeda sepenuhnya. Bukan lagi perkara sejauh mana kita bertanggungjawab terhadap Bumi, tetapi sejauh mana tanggung jawab kita untuk membangun kolaborasi dengan kehidupan geologis. Artinya, bentuk baru subjektivitas dan geo-ontologi Bumi akan menyoal tentang wujud penciptaan energi terbarukan. Tentunya, fosil bukan sekedar sebongkah tulang belulang yang membatu, tetapi lebih dari itu, mereka memiliki fungsi simbolik dan imajinatif, menangkap sebermula dan akhir dari serangkaian cerita.
Sebelum menempatkan manusia dalam trajektori Antroposen, alangkah baiknya jika kita menunda usaha ambisius saat membangun identitas dan konsep yang ‘stabil’ tentang narasi universal manusia. Mengapa? Sebab ada pertanyaan lanjutan terkait bagaimana kita memikirkan dan mewariskan dunia dalam kerangka korporealnya serta bentuk dari teritorialisasi bumi secara ontologis.