Review Article Journal
Article: Epistemological Limitations of Earth System Science to Confront the Anthropocene Crisis
Author: Carles Soriano
Journal: The Anthropocene Review, 1–15 (2020)
DOI: https://doi.org/10.1177/2053019620978430
Carles Sariano (2020) menyadari bahwa ESS (Earth System Science / Ilmu Sistem Bumi) menjadi salah satu ilmu yang mulai dilirik publik ilmiah sebagai suatu pendekatan yang dapat menjelaskan pemahaman tentang Sistem Bumi di epos Antroposen. Sebagai suatu Artikel ilmiah, saya merasa bahwa apa yang ditawarkan oleh Sariano ini tidak lebih dari suatu usaha ‘tawar menawar’ sehingga kemudian ESS juga perlu mempertimbangkan pentingnya peran ilmu sosial.
Sariano, menurut hemat saya, tidak begitu serius ketika mengeksekusi bagaimana keterlibatan ilmu sosial kelak di ESS ketika menjawab dan menjelaskan masalah krisis Antroposen. Namun demikian, ada hal yang perlu kita catat bersama bahwa usaha Sariano untuk memperkenalkan keterbatasan pemahaman krisis Antroposen hanya bersandar pada epistemik positivis dan idealis yang memiliki keterbatasan dan kemungkinan kontradiksi internalnya. Mengapa? Karena menurut Sariano, hal yang paling penting adalah menciptakan semacam pendekatan dialektis (dialectic) dan materialis untuk memahami dan mengatasi krisis keplanetan ‘secara transendental’. Hanya sampai di situ, saya rasa term yang ditawarkan Sariano terlalu membulat—bukan tahu bulat! Mari kita bedah satu persatu.
Di bagian pengantar, Sariano menuliskan bagaimana peristiwa Antroposen mempengaruhi perhatian publik dan komunitas ilmiah ketika memandang posisi manusia yang telah terlibat pada perubahan struktur geologis. Tren terkini yang muncul di kalangan peneliti Antroposen antara lain: i) mereka yang patuh dan memegang teguh atas sakralitas ilmu alam, hanya ilmu kealaman yang dapat menjelaskan fenomena Antroposen, ii) mereka yang menganggap Antroposen hanyalah historisitas sosial manusia, dan iii) mereka yang percaya bahwa ada semacam interseksi antara ilmu sosial dan ilmu alam. Bagaimanapun, mayoritas ilmuan dari ilmu alam kecewa jika adanya campur aduk (gado-gado) pendekatan untuk menjelaskan fenomena yang belum jelas ini. Mereka menganggap bahwa terlalu banyak pendekatan dapat merusak komunikasi ilmiah dan pemahaman tentang Antroposen. Dengan demikian, Sariano mulai menawarkan alternatif pandangan epistemik bahwa ESS perlu mengambil pendekatan dialektis dan materialis untuk memahami sisi objektif dan konkret dari sudut naturalis dan sudut sosial yang kemudian termanifestasikan pada sebuah tindakan untuk mengatasi krisis.
Pengetahuan ilmiah tentang Antroposen berdasarkan pada transformasi fenomena empiris yang terberi kepada peneliti, yang kemudian dijadikan abstraksi konsep konkret. Konfigurasi-konfigurasi ini dikonfirmasi dengan mendasarkan pada abstraksi empiris (induksi) dan diskripsi (deduksi), yang kemudian ditarik lebih jauh untuk menetapkan gagasan ‘Antroposen’ dengan pengalaman dan bahasa keseharian sepanjang proses historisitas-kultural dalam riset ilmiah. Saya sepakat, bagaimanapun, objek penelitian Antroposen adalah realitas material, eksis (ada) di luar dari ‘angan-angan’ subjektif dan bahkan mungkin konseptualisasi terhadapnya. Artinya, realitas secara niscaya termediasi oleh persepsi kita terhadap fenomena secara komprehensif lalu menjadi gagasan / pandangan yang dinalarkan (subjek mekanisme penalaran). Terakhir, termediasi sebagai sebuah kriteria kebenaran universal.
Meskipun kita sepakat, ilmu sosial dan ilmu alam telah mengalami pembagian formal sebab adanya semangat Neo-Kantian abad ke-19, akan tetapi, klaim bahwa interaksi manusia dengan realitas, tidak peduli sebagai ilmu alam maupun ilmu sosial, selalu berhadapan dengan yang kita sebut sebagai objektif dan dengan alasan ini, ‘itu’ dapat diketahui secara ilmiah. Di sini jelas, bahwa secara ontologis, Sariano menyamakan dasar objektivitas ‘Antroposen’ sebagai realitas material yang objektif, yang dapat diketahui secara universal tanpa memandang pembeda pendekatan, asal rujukannya adalah ‘apa yang disebut dengan Antroposen’. Anda dan saya, mulai merasa ada klaim besar di sini. Mari kita lanjutkan~
Alasan berikutnya, mengapa Sariano ingin agar ESS mempertimbangkan Ilmu Sosial sebagai pendekatan tambahan untuk Antroposen karena alasan sederhana tentang ‘labor’. Terinspirasi dari György Lukács (1980), Sariano menekankan bahwa aktivitas riil masyarakat sosial mentransformasi baik alam (secara eksternal) dan dirinya sendiri (asumsi internal) tidak dapat terlepas dari ‘labor’. Labor didefinisikan sebagai aktivitas praktis manusia yang dapat mengubah/mentransformasi realitas. Dari perspektif Antropologi, hal ini, sebagai tindakan yang dimiliki oleh manusia yang telah berkembang, secara historis, dan menjadi a social human being. Dengan demikian, pengetahuan ilmiah dapat dipahami sebagai produk sosial yang dilakukan oleh kolektivitas sosial sepanjang sejarah, dan individu berpartisipasi secara aktif. Mereka (ilmuwan) dipengaruhi oleh struktur sosial yang terberi, keterberian pengetahuan ilmiah yang sebelumnya juga ikut serta mempengaruhi pandangan dunia.
Sariano percaya bahwa ada semacam evolusi pengetahuan dari yang abstrak dan idealis (dasar mitos) menjadi lebih konkret dan pengetahuan-berdasar-materialitas sehingga realitas yang dipahami membuka potensi praktis serta interaksi di dalamnya secara riil. Untuk membedakan ilmu sosial dan ilmu alam, Sariano menempatkan skala-waktu (time-scales). Intinya, pembeda dari skala-waktu penelitian terhadap objek ilmiah yang kemudian memisahkan ilmu sosial dan ilmu alam. Ketika ilmu alam bekerja secara objektif, berpatokan dengan realitas ‘yang dianggap sama’ sepanjang skala waktu, maka ilmu alam hanya mengalami perbedaan dari sejauh mana peneliti memodifikasi bentuk fenomena berdasarkan pendekatannya. Tidak hanya itu, semakin berkembangnya ilmu kealaman, justru semakin mendekati kompleksitas dan sifat konkretnya. Contohnya, Alfred Wegener melalui Continental Drift atau Pergeseran Benua, awalnya abstraksi teori yang sederhana tetapi lebih melengkapi teori lempeng tektonik (plate tectonics).
Ilmu sosial justru sebaliknya, hal yang disebut objek itu bisa muncul dengan seiringnya waktu, contohnya ketika Aristoteles tidak memiliki konsep konkret tentang abstract labor, tetapi David Ricardo justru menambahkan abstract labor sebagai substansi nilai karena sebagai bagian dari rerata sosial yang mengonstitusikan realitas sosial dari produksi kapitalis. Hal tersebut karena, manusia dapat mengubah dan telah mengubah apa yang disebut mode organisasi sosialnya sepanjang sejarah, sehingga memahami keduanya—mode produksi sosial dan praktik transformasi terhadap mode produksi—adalah secara bersamaan terkondisikan.
Negosiasi sosial terhadap temuan hukum naturalis, semua temuan ilmiah ilmu kealaman tidak mungkin dapat diterapkan dalam kehidupan sosial sebab ada batasan etis dan moral untuk melakukannya. Temuan nuklir, meskipun, kita tahu telah ditemukan (secara ilmiah) dan bahkan telah diuji coba sampai mengakibatkan kerugian material dan jiwa, pada akhirnya, regulasi (secara politis) batasan pengembangan nuklir muncul. Untuk alasan ini, pengetahuan ilmiah dan teknis tidak lagi netral. Di lain situasi, hukum alam tetap digunakan sebagai suatu kewajiban, saya sepakat soal ini, jika manusia ingin terbang dengan pesawat maka mereka secara ketat wajib mempertimbangkan hukum gravitasi. Teruntuk ilmu sosial, sadar tidak sadar, juga tidak dapat terlepas dari hukum alam, manusia pada akhirnya akan menyesuaikan dengan batasan alam, mode transformasi sosial dapat bekerja jika hukum aturan alam mendukungnya.
Pada bagian sub-bab, ‘epistemic paradigms of capitalist society’, Sariano mulai melakukan pendekatan akrobatik. Di sini, saya mencatat intinya bahwa dominasi pengetahuan ilmiah di masyarakat kapitalisme tidak berbeda dari verifikasi positivisme dan ide-ide abstrak idealisme. Kritik Sariano adalah keterbatasan dalam mengelaborasi totalitas realitas konkret yang terbentuk oleh interaksi determinasi keragaman dan objek yang dinamis sepanjang proses historis. Masyarakat kapitalisme hanya dipahami ahistoris sebagai mode produksi absolut, dan bukan sebuah sistem organik. Dengan contoh ini, Sariano melihat bahwa dengan demikian, krisis Antroposen sama halnya dengan krisis ekonomi yang sama saja tidak terselesaikan dan tidak terjelaskan. Mengapa ada krisis ekonomi kapitalisme, padahal sistem pengetahuan atomistik formalnya telah dibangun sedemikian rupa? Apa yang ditekankan hanyalah hasil dari fenomena produksi kapitalis sepanjang krisis ekonomi yang diatributkan kepada agregasi dari buruknya pilihan individu, tetapi tidak pernah menginvestigasi secara mendalam mode produksi. Asumsi inilah yang digunakan oleh Sariano kemudian untuk menolak positivisme dan idealisme dalam melihat satu sisi Antroposen dan memilih pendekatan dialektis materialisme.
Melalui pendekatan dialektis-materialismenya, Sariano mengkritik bahwa adanya hubungan pandangan epistemik masyarakat kapitalisme dengan krisis Antroposen yang mulai mengalami jalan buntu. Secara epistemik, Antroposen adalah konsep konkret atau konsep abstraksi yang dibentuk dari sintesis interaksi multi-determinasi baik secara natural maupun sosial. Krisis Antroposen merupakan krisis yang disebabkan oleh mode produksi kapital, secara historis krisis ini mulai dirasakan sekitar 200-300 tahun terakhir. Pada waktu yang sama, ketika ‘mesin’ produksi kapitalisme bekerja. Sariano mengklaim bahwa krisis Antroposen mulai terlihat sejak adanya demarkasi formal ilmu alam dan ilmu sosial yang menghilangkan aspek historis organisasi sosial. Kedua, klaim Antroposen hanya dimiliki oleh ilmu alam. Terakhir, tidak adanya usaha pembaruan epistemik tentang pendekatan Antroposen.
Sejalan dengan tiga gugatannya, Sariano menekankan bahwa untuk membuktikan materialisme dan dialektika alam Antroposen dapat ditelusuri melalui artikulasi internal dengan menilik sejauh mana kontradiksi reproduksi kapital dengan Alam dan dengan Manusia sebagai sebuah kerangka berpikir tentang Alam itu sendiri. Hal konkret yang dapat dilakukan adalah keluar dari sistem produksi kapitalis. Pertimbangan apa yang baik untuk menghadapi krisis Antroposen adalah dengan melihat aspek keberlanjutan, tanggung jawab moral dan sosial perusahaan, sirkulasi ekonomi, pertimbangan kerusakan ekologi dan ekonomi, degrowth, dan menelusuri sesat pikir dalam promosi ‘Ekonomi Hijau’. Bahkan, klaim ini ditunjukkan secara langsung (lih. Futureearth.org) yang tidak pernah mempertimbangkan pendekatan dialektis material untuk menghadapi krisis Antroposen.
Sebagai sebuah penutup, saya rasa ambisi dan klaim besar Sariano ini masih belum cukup memadai (inadequate) karena hanya menawarkan intergrasi ilmu alam dan ilmu sosial untuk pendekatan ESS, relasi antara logika masyarakat kapitalisme yang berdampak pada krisis Antroposen, dan terakhir, saya masih merasa ‘terganggu’ dengan istilah perspektif epistemik yang ditawarkan, belum selesai! Karena, bagaimanapun, Ilmu Alam punya laju pendekatannya sendiri, meskipun melalui pendekatan positivisme, kita berhutang banyak dengan positivisme, dan untuk pendekatan dialektis secara epistemik akan cukup sulit diterima apabila kesepakatan komunitas ilmiahnya tidak mengizinkan—problem kuasa pengetahuan. Menurut saya, lebih baik Sariano menjelaskan bahwa bagaimana ilmu sosial Antroposen itu bekerja dan agar tidak lagi bergantung dengan komunitas ilmiah di bawah ESS atau penyelenggara diskusi Antroposen di bawah ilmu alam. Meskipun saya tahu, niatan Sariano baik mengambil jalan integrasi.