The Stratigraphy Boundary of the Anthropocene
Pendahuluan
Geologi Antroposen membutuhkan setidaknya beberapa pendekatan geologis secara formal dan ilmiah terkait titik poin di mana pertama kali aktivitas antropogenik mempengaruhi perubahan transisi skala waktu geologi. Adapun beberapa pandangan atau hipotesis/tesis pemikiran tentang pembuktian faktor utama aktivitas antropogenik yang dibagi mulai dengan intervensi awal manusia, penemuan artefak manusia pertama, revolusi agraria pertama, domestifikasi hewan dan tanaman, penambangan dan globalisasi awal. Selain itu, juga terdapat beberapa pandangan lain seperti halnya Pra Revolusi Industri, Industri Revolusi, dan fenomena the Great Acceleration. Dari beberapa pendekatan tersebut, bagaimana pun juga para ahli geologi harus tetap mengutamakan pembuktian fisik geologi yang stabil sebagai dasar pembuktiannya.
Validitas Geologi atas Antroposen
Zalasiewicz dkk (2019: 243) telah mengembangkan komunitas ilmiah AWG yang berfokus untuk meneliti Antroposen sebagai kasus material stratigrafi geologi. Tidak berbeda dengan pengamatan awal Crutzen dan Stroermer (20002), Zalasiewicz dkk (2019) melihat adanya suatu progres perubahan di Sistem Bumi yang merujuk terhadap aktivitas antropogenik. Antroposen dapat divefikasi sebagai suatu skala waktu geologi baru dengan melihat beberapa potensi dasarnya. Pertama, melalui bukti rentang stratigrafi dari jenis-jenis mineral baru (artifisial), jenis batuan, sedimentasi yang terbentuk karena adanya aktivitas pertanian, dan bahkan perubahan biosfer yang menyebabkan kepunahan massal bagi keberagaman hayati. Kedua, potensi temuan artefak teknologi atau teknofosil sebagai hasil dari aktivitas teknosfer yang juga berhubungan meningkatnya unsur kimia baru. Hal ini berpotensi memacu percepatan kenaikan air laut, perubahan iklim, pemanasan global, dan siklus kriosfer. Oleh karena itu, justifikasi Antroposen tetap harus melalui GSSA dan GSSP dengan catatan ikut menyertakan bukti-bukti fisik stratigrafi yang lambat laun menjadi sedimensi global baru, yang dapat menjelaskan skala intervensi manusia atas perubahan Sistem Bumi selama ini.
Jejak Stratigrafi Awal Manusia
Williams dan Odada (2019: 243-246) menjelaskan bahwa tesis intervensi awal manusia sangat memungkinkan untuk membantu rekonstruksi Antroposen purba. Bukti adanya fosil-fosil purba dan temuan beragam artefak purba peninggalan spesies Homo awal seperti Homo habilis dan Homo rudolfensis yang tersebar di Afrika, termasuk persebarannya dari Afrika ke Eurasia yang telah tercatat secara rapi oleh paleontologi dan geokronologi. Migrasi Homo juga dikenal sebagai titik balik perkembangan peradaban yang mulai menyentuh banyak regional di dunia. Namun, sayangnya bukti ini tidak cukup kuat meskipun bukti kebudayaan zaman batu telah berkembang dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Karakteristik tesis ini secara esensial terletak pada perspektif Antroposen yang lebih menekankan pada perilaku evolusi manusia yang sifatnya diakronik daripada sinkronik. Sedangkan, pada satu sisi, Geologi lebih menekankan pada pendekatan sinkronik. Alasannya, untuk mencegah adanya tumpang tindih penelitian antara riset geologi dengan riset arkeologi. Peristiwa penting perkembangan evolusi Homo ditandai dengan kapasitasnya yang begitu kuat dalam mengembangkan artefak fisik dan alat bantu psikologi untuk dapat bertahan di akhir Pleistosen. Kompleksitas peradaban yang digabung ketika merespons perubahan interglasial iklim Pleistosen-Holosen menjadikan peluang tersendiri atas adanya bukti Antroposen ‘non-formal’.
Tesis Pra-Revolusi Industrial
Wagreich dkk (2019: 246-250) memilih kondisi geologis sebelum revolusi industri berkembang untuk batas transisi Holosen-Antroposen. Hal tersebut dikarenakan beberapa perubahan yang disebebkan karena adanya proses modifikasi ekosistem antropogenik awal, persebaran sisa pembakaran batu bara, munculnya beragam konstruksi arsitektur bangunan, awal dimulainya penjelajahan globalisasi, dan perkembangan sistem pertambangan awal. Pertimbangan tersebut sejalan dengan tesis Foley (2013) yang menawarkan tesis ‘Paleoantroposen’. Tesis tersebut untuk menjelaskan rentang waktu kemunculan pertama genus Homo sampai perkembangan awal Industrial Revolusi (Foley et al. 2013). Spekulasi ini mengarah pada kemungkinan intervensi manusia secara signifikan terhadap perubahan ekosistem yang buktinya dapat ditelusurui sejak manusia mulai menguasai penggunaan api, merombak sistem pertanian, domestifikasi hewan, urbanisasi, sampai pada industrialisasi. Akan tetapi, semua bukti dampaknya hanya bersifat kemewaktuan transgresif atau diakronik yang basisnya regional.
Pada fase Pleistosen akhir, mungkin sekitar 60.000 tahun lalu (Balter 2013) menjelaskan awal mula epos Holosen yang inheren dengan proses kapitalisasi manusia terhadap ekosistem untuk pertama kalinya. Selain karena adanya dampak pembukaan lahan secara masif (deforestasi), dampak perburuan massal, dan pembakaran biomassa. Adanya revolusi agraria juga menjadikan perkembangan peradaban manusia semakin luas yang secara signifikan menyisakan beragam tekno-fossil mulai dari jenis keramik sampai alat bantu berburu-bercocok tanam. Meskipun tesis ini menarik, gagasan Foley dkk (2013) tentang Paleoantroposen hanya dapat diakui informal dan non-kronostratigrafi sebab memungkinkan adanya tumpang tindih data antara perubahan corak agrikultur (revolusi) dan fase awal pertukaran modern (globalisasi), serta mengaburkan batas antara Holosen dan ‘awal mula’ Antroposen.
Glikson (2013) berspekulasi bahwa kemampuan evolusi manusia ketika mulai mampu mengusai kegunaan api sebagai semacam titik balik sekitar 1.8 juta tahun lalu (Pleistosen) menjadikkan kemungkinan dimulainya ‘Early Anthropocene’ atau Antroposen Awal. Jejak sisa-sisa arang pembakaran dapat dilacak pada beberapa situs arkeologi (Glikson 2013). Akan tetapi, bukti ini kemudian memunculkan pertanyaan lebih lanjut untuk melacak kembali bukti-bukti sisa fosil arang yang secara murni karena intervensi manusia yang sifatnya sinkronik-global. Untuk saat ini, intervensi manusia terhadap api hanya dapat menjadi bukti antropologis tentang sejarah peradaban manusia.
Tesis Konstruksi Relung Manusia atau (Human Niche Construction) sebagai suatu pendekatan yang sering diadaptasi oleh para arkeologi (Erlandson 2013; Smith and Zeder 2013) dengan cara menentukan catatan perekayasaan antropogenik via interval waktu tertentu misalnya 11.000 sampai 9.000 tahun lalu. Transisi ini sering dikenal dengan istilah Revolusi Pertanian Neolitik, ditandai adanya transisi dari berburu-meramu menjadi bercocok tanam, buktinya dari catatan fosil kultivar yang tercatatan secara transgresif sekitar 11.000 tahun lalu (Ruddiman 2013). Globalisasi pertanian kemudian mulai menyebar dan berkembang dengan beragam corak tanaman (misalnya jagung di Amerika, beras di Asia, dan juga gandum di sekitar Timur Tengah) serta domestifikasi hewan sebagaimana kalkun dan ilama di Amerika, babi dan ayam di Asia Timur, kambing dan domba di sekitaran wilayah Fertile Crescent atau Hilal Subur/Bulan Sabit Subur (wilayah Mesopotamia, kawasan sungai Nil). Beragam bukti tersebut masih tidak cukup sebagai penanda awal Antroposen. Penanda sinyal titik acuan tersebut semakin mengaburkan kepunahan megafauna Pleistosen/Holosen dan tesis Ruddiman tentang ‘Antroposen Awal’. Hal ini karenakan tanda yang muncul sifatnya terrestial-diakronik dan sangat sedikit bukti di wilayah perairan.
Observasi tesis Ruddiman tentang Antroposen Awal setidaknya membantu improvisasi atas penyelidikan konsentrasi peningkatan level metana dan karbon di Atmosfer. Tesis ini menyelidiki bahwa sejak awal Holosen sekitar 7000 tahun lalu telah terjadi peningkatan karbon dan disusul dengan peningkatan metana sekitar 5000 tahun lalu. Hal tersebut didasarkan dengan hipotesisnya terkait persebaran dan perkembangan revolusi pertanian pada masa itu. Secara tidak langsung, pengaruh deforestasi akan meningkatkan CO2 serta model pertanian dan perternakan baru yang mulai berkembang di Asia dan Afrika mampu meningkatkan konsentrasi CH4di atmosfer. Sayangnya, meskipun penelitian Ruddiman membuktikan adanya potensi penanggalan waktu awal Antroposen yang dapat dideteksi di dalam inti es, tetapi saja tidak cukup memberikan bukti yang dapat menggantikan epos Holosen karena peristiwa perubahan iklimnya sudah tercatat di tiga sub-divisi Holosen (peristiwa ~8.2 ka ‘Northgrippian’ dan ~4.2 ka ‘Meghalayan’).
Beralih pada temuan polutan antropogenik yang ditemukan dari inti es Kutub Utara yang berasal dari konsentrai logam-berat, merekognisi temuan riset beberapa geolog terkait kemungkinan penanda awal Antroposen yang disebabkan oleh aktivitas tambang dan peleburan logam (Bobrov et al. 2011; Gałuszka, Migaszewski, and Zalasiewicz 2014; Radivojević et al. 2010). Krachler et al. (2009) juga menyertakan bukti bahwa terdapat kontaminasi di belahan Bumi Utara yang disebabkan karena aktivitas peleburan biji sulfida oleh peradaban kuno. Jejak polutan logan telah ditemukan di beberapa arsip geologis ‘Antroposen awal’ (Marx, Rashid, and Stromsoe 2016), termasuk danau, inti es, ombrotrophic peat bogs, sedimentasi muara dan pantai. Beberapa bukti geologis tersebut pada akhirnya tetap harus mengikuti batasan dari subdivisi Holosen (Walker et al. 2012). Artinya, di masa depan sangat memungkinkan muncul temuan mayor terkait perturbasi karbon, nitrogen, dan siklus fosfor sebagai keberlanjutan dari hasil tambang dan peleburan logam berat.
Munculnya semangat penjelajahan pada konteks awal era modern melahirkan kolonialisasi dan globalisasi awal yang dikenal sebagai (Pertukaran Kolumbus). Peristiwa itu telah memberikan ruang bagi perubahan aktivitas antropogenik secara geologis (Lewis and Maslin 2015) atau terhadap dampak sosial ekonomi (Fischer-Kowalski, Krausmann, and Pallua 2014). Pertukaran Kolumbis pada akhirnya hanya memperkuat aspek kolonialisasi dunia baru (Rubino et al. 2016) daripada membuktikan adanya satu titik sinkronik geologi Antroposen secara kronostratigrafi (Zalasiewicz et al. 2015).
Beberapa temuan di atas secara umum mengarah telah membuktikan adanya jejak antroposen yang terekam di sedimentasi tanah, akan tetapi mengapa kemudian basis jejak Antropogenik di tanah tidak cukup menjadi bukti geologi Antroposen? Hal ini dapat dijelaskan melalui empat persoalan fundamental yang muncul. Pertama, penanda stratigrafi pada tanah selama ribuan tahun lalu sifatnya transgresif sehingga sulit menjadi dasar penentuan GSSP. Kedua, terlalu banyak karakteristik strtaigrafi tanah termasuk persebaran tanah secara regional, adanya sisa artefak, kandungan kimiawi dan bioturbasi pada tanah. Ketiga, strata tanah tidak selamanya mampu bertahan dalam jangka waktu tertentu. Keempat, kemungkinan adanya sifat tanah yang erosif. Oleh karena itu, tesis pra-revolusi industri belum cukup memadai sebagai titik skala waktu geologi Antropoen.
Tesis Revolusi Industri
McNeill (2019: 251-254) mencatat kemungkinan tesis revolusi sebagai titik potensial geologi Antroposen. Revolusi industri telah membawa perubahan yang sangat signifikan terhadap peradaban manusia terutama temuan mesin uap. Revolusi Industri juga telah membuka jalan terhadap penggunaan energi secara besar-besaran dalam rangka mendukung sistem sosial-masyarakat dan sistem ekonomi kapital baru. Industrialisasi semakin berkembang yang berdampak pada tingkat spesialisasi kerja, pertukaran, produksi, dan konsumsi. Pengaruh sistem kerja mesin up mengunci ketergantungan konsumsi batu bara.
Menurut Wrigley (2010) jantungnya Revolusi Industri adalah revolusi energi sebagaimana revolusi pertanian neolitik yang dimulai di Syria sekitar 11.000 tahun lalu, Revolusi Industri telah memperbesar kuantitas penggunaan energi yang berasal dari bahan bakar fosil dan batu bara (Wrigley 2010). Perubahan dari energi kimia dari bahan bakar fosil menjadi energi mekanik sepanjang awal industrialisasi. Pada abad ke 18, mesin uap telah bekerja sangat efektif dan menyebabkan peningkatan kebutuhan akan batu bara. Sebab adanya pembakaran batu bara dan aktivitas limbah produksi industri mengakibatkan besarnya kontaminasi air, udara, dan tanah secara lokal. Selain itu, semua aktivitas industrialisasi beserta pembakaran batu bara ikut melepas karbondioksida dan gas rumah kaca lainnya di atmosfer.

Revolusi Industri memang telah mendapatkan perhatian khusus sejak istilah Antroposen dideklarasikan oleh Paul Crutzen pada awal abad ke-21. Pertimbangan ini berdasarkan adanya bukti (lih. Figure 1), yang memperlihatkan adanya dampak yang sangat siginifikan kenaikan emisi CO2 secara global. Revolusi Industri memang sangat berpotensi menjadi preferensi terkait titik awal Antroposen melalui kerangka pembuktian GSSP. Pada rentang waktu akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19 telah meyisakan bukti empiris munculnya SPCs yang disebabkan oleh adanya proses pembakaran batu bara atau minyak dalam skala massif. Akan tetapi, temuan kenaikan SPCs baru diverifikasi secara independen oleh (Rose 2015) dan (Swindles et al. 2015) sekitar tahun 1950an tidak dapat terlepas dari hasil akumulasi emisi pada masa revolusi industri. Data mengenai SPCs sangatlah berpotensi untuk menjelaskan bukti empiris Antroposen karena buktinya yang sangat mendekati level sinkronik. Oleh karena itu, pendefinisian Antroposen dapat diambil dari dua titik yakni di sekitar waktu Revolusi Industrial akhir abad ke-18 dan pertengahan abad ke-20 ditandai dengan munculnya The Great Acceleration.
Tesis The Great Acceleration
Waktu kemunculan Revolusi Industri mungkin lebih tepatnya menjadi dasar bangunan bagi peristiwa The Great Acceleration (Percepatan Luar Biasa) yang terjadi hampir segala lini kehidupan manusia yang berkembang secara global. The Great Acceleration menandai percepatan pengaruh manusia sekitaran pertengahan abad ke-20 yang telah dikelompokkan oleh beberapa ilmuwan sebagai suatu penanda bagi epos Antroposen di sekitaran tahun 1950an (McNeill and Engelke 2016; Steffen, Crutzen, and McNeill 2007). The Great Acceleration dijelaskan dalam beberapa indikator tren pada bagan (Lih. Figure 2 dan Figure 3). Steffen dkk (2015) membagi dua model indikator tersebut berdasarkan tren sosio-ekonomi dan tren Sistem Bumi. Keduanya sama-sama menunjukkan adanya satu titik potong (tahun 1950) yang menandai peningkatan pada setiap aspek/indikator yang dirujuk dan saling memiliki tautan satu sama lain (Steffen et al. 2015).



Malm dan Hornborg (2014) mengkritik bahwa tidak semua manusia yang ada di dunia ini bertanggung jawab atas peristiwa ‘Antroposen’—sejauh merujuk pada The Great Acceleration (Malm and Hornborg 2014). Kritik Malm dan Hornborg (2014) kemudian direspons oleh Steffen dkk (2015) dengan memberikan detail lebih lanjut bahwa tren The Great Acceleration ini tergantung pada ketiga grup negara: negara maju (OECD), negara besar dengan percepatan pertumbuhan ekonomi (BRICS), dan negara di luar OECD/BRICS, termasuk negara tertinggal/miskin (Lih. Figure 4). Di sisi lain, data tersebut tidak mengacu pada perspektif sosial terkait model ekonomi kapitalistik tetapi hanya sekedar memberikan gambaran term data stratigrafis. Keberagaman bukti yang muncul dari indikator The Great Acceleration sangat mungkin menjadi data pembuktian geologi Antroposen sebab pada titik itulah ledakan aktivitas sosial-ekonomi masyarakat dunia sangat terlihat sejak tahun 1950an (Zalasiewicz et al. 2017). Pada satu sisi, Steffen (2019: 260-266) mengajukan proyeksi tren berdasarkan skenario akselerasi sosio-ekonomi, peningkatan konsentrasi emisi gas rumah kaca, perubahan iklim global, perubahan sistem biosfer (tren homogenisasi flora dan fauna), peningkatan pemutihan karang global dan acaman kepunahan massal.
Hirarki Antroposen
Kala Antroposen untuk saat ini masuk ke dalam daftar skala waktu geologi non-formal. Meskipun demikian, Antroposen tetap memiliki hirarkinya berdasarkan klasifikasi kronostratigrafi (strata) dan geokronologinya (Lih. Figure 5). Pada Figure 5 menjelaskan adanya kemungkinan posisi Antroposen pasca ratifikasi. Proses ratifikasi juga membutuhkan verifikasi data berdasarkan GSSA atau GSSP yang telah disepakati. Persoalan berikutnya ialah bagaimana penjelasan ‘pasti’ mengenai Antroposen sekali lagi bergantung pada apa yang akan terjadi di masa depan. Banyaknya pembuktian yang telah diajukan oleh AWG sebagai komunitas ilmiah Antroposen dan non-AWG dalam proses investigasi, penelitian, dan kritik ilmiah sudah cukup kuat sebagai suatu proses filosofis daripada proses geologis. Setidaknya, muncul kesadaran baru tentang apa yang telah terjadi dan kemungkinan yang akan terjadi dengan kondisi masyarakat dunia saat ini dengan segala kehendak antropogeniknya.

Penutup: Peluang Masa Depan Antroposen
Mengamini Antroposen sebagai sebuah epos baru bukan berarti kita harus sepakat dengan diskursus baru geologi. Akan tetapi, hal itu semacam keputusan epistemik kita untuk lebih memahami kembali tentang perubahan sistem bumi yang secara geologis nyata telah mengalami perubahan secara signifikan sejak transisi Holosen. Perubahan ini telah dibuktikan secara ilmiah meskipun hampir mendekati titik global-sinkronik sejak pertengahan abad ke-20. Penanda ini tidak dapat terlepas dari adanya Great Acceleration pertumbuhan manusia, industrialisasi, dan globalisasi. Interval waktu Antroposen mungkin hanya sejauh sepanjang rentang sejarah tentang kemanusiaan. Informasi biostratigrafi yang ada pula tidak dapat terlepas dari kompleksitas sejarah trans-global antropogenik yang kini telah mulai mendominasi wilayah darat dan laut. Bahkan, usaha AWG yang bekerja layaknya komunitas arkeologi dalam rangka meneliti artefak/teknofosil patut diapresiasi sebagai alternatif untuk menentukan kronologi waktu Antroposen.
Telepas dari itu semua, pemahaman epistemik Antroposen tidak hanya dinyatakan secara geologi, bahkan beragam disiplin ilmu non-geologi ikut serta dalam perumusan definisi Antroposen. Meskipun kemudian pada akhirnya, kita harus berani menegaskan bahwa problem Antroposen ialah tantangan terhadap formalisasi baru dalam stratigrafi geologi, yang artinya harus sangat membutuhkan ketelitian ilmiah atas pertimbangan nama ‘Antroposen’, sehingga istilah itu tidak digunakan secara ‘serampangan’ atau name dropping.
Referensi
Balter, Michael. 2013. “Archaeologists Say the ‘Anthropocene’Is Here—but It Began Long Ago.”
Bobrov, V. A., A. A. Bogush, G. A. Leonova, V. A. Krasnobaev, and G. N. Anoshin. 2011. “Anomalous Concentrations of Zinc and Copper in Highmoor Peat Bog, Southeast Coast of Lake Baikal.” P. 1152 in Doklady Earth Sciences. Vol. 439. Springer.
Erlandson, Jon M. 2013. “Shell Middens and Other Anthropogenic Soils as Global Stratigraphic Signatures of the Anthropocene.” Anthropocene 4:24–32.
Fischer-Kowalski, Marina, Fridolin Krausmann, and Irene Pallua. 2014. “A Sociometabolic Reading of the Anthropocene: Modes of Subsistence, Population Size and Human Impact on Earth.” The Anthropocene Review 1(1):8–33.
Foley, Stephen F., Detlef Gronenborn, Meinrat O. Andreae, Joachim W. Kadereit, Jan Esper, Denis Scholz, Ulrich Pöschl, Dorrit E. Jacob, Bernd R. Schöne, and Rainer Schreg. 2013. “The Palaeoanthropocene–The Beginnings of Anthropogenic Environmental Change.” Anthropocene 3:83–88.
Gałuszka, Agnieszka, Zdzisław M. Migaszewski, and Jan Zalasiewicz. 2014. “Assessing the Anthropocene with Geochemical Methods.” Geological Society, London, Special Publications 395(1):221–38.
Glikson, Andrew. 2013. “Fire and Human Evolution: The Deep-Time Blueprints of the Anthropocene.” Anthropocene 3:89–92.
Grinevald, Jacques, John McNeill, Naomi Oreskes, Will Steffen, Collin P. .. Summerhayes, and Jan Zalasiewicz. 2019. “History and Development of the Anthropocene as a Stratigraphic Concept.” Pp. 1–40 in The Anthropocene as a Geological Time Unit: A Guide to the Scientific Evidence and Current Debate, edited by C. N. Waters, C. P. Summerhayes, J. Zalasiewicz, and M. Williams. Cambridge: Cambridge University Press.
Krachler, Michael, Jiancheng Zheng, David Fisher, and William Shotyk. 2009. “Global Atmospheric As and Bi Contamination Preserved in 3000 Year Old Arctic Ice.” Global Biogeochemical Cycles 23(3).
Lewis, Simon L., and Mark A. Maslin. 2015. “Defining the Anthropocene.” Nature 519(7542):171–80.
Malm, Andreas, and Alf Hornborg. 2014. “The Geology of Mankind? A Critique of the Anthropocene Narrative.” The Anthropocene Review 1(1):62–69.
Marx, Samuel K., Shaqer Rashid, and Nicola Stromsoe. 2016. “Global-Scale Patterns in Anthropogenic Pb Contamination Reconstructed from Natural Archives.” Environmental Pollution 213:283–98.
McNeill, John Robert, and Peter Engelke. 2016. The Great Acceleration: An Environmental History of the Anthropocene since 1945. Harvard University Press.
Radivojević, Miljana, Thilo Rehren, Ernst Pernicka, Dušan Šljivar, Michael Brauns, and Dušan Borić. 2010. “On the Origins of Extractive Metallurgy: New Evidence from Europe.” Journal of Archaeological Science 37(11):2775–87.
Rose, Neil L. 2015. “Spheroidal Carbonaceous Fly Ash Particles Provide a Globally Synchronous Stratigraphic Marker for the Anthropocene.” Environmental Science & Technology 49(7):4155–62.
Rubino, M., D. M. Etheridge, C. M. Trudinger, C. E. Allison, P. J. Rayner, I. Enting, R. Mulvaney, L. P. Steele, R. L. Langenfelds, and W. T. Sturges. 2016. “Low Atmospheric CO 2 Levels during the Little Ice Age Due to Cooling-Induced Terrestrial Uptake.” Nature Geoscience 9(9):691–94.
Ruddiman, William F. 2013. “The Anthropocene.” Annual Review of Earth and Planetary Sciences 41:45–68.
Smith, Bruce D., and Melinda A. Zeder. 2013. “The Onset of the Anthropocene.” Anthropocene 4:8–13.
Steffen, Will, Wendy Broadgate, Lisa Deutsch, Owen Gaffney, and Cornelia Ludwig. 2015. “The Trajectory of the Anthropocene: The Great Acceleration.” The Anthropocene Review 2(1):81–98.
Steffen, Will, Paul J. Crutzen, and John R. McNeill. 2007. “The Anthropocene: Are Humans Now Overwhelming the Great Forces of Nature.” AMBIO: A Journal of the Human Environment 36(8):614–21.
Swindles, Graeme T., Elizabeth Watson, T. Edward Turner, Jennifer M. Galloway, Thomas Hadlari, Jane Wheeler, and Karen L. Bacon. 2015. “Spheroidal Carbonaceous Particles Are a Defining Stratigraphic Marker for the Anthropocene.” Scientific Reports 5(1):1–6.
Walker, Mike J. C., Max Berkelhammer, Svante Björck, Les C. Cwynar, David A. Fisher, Antony J. Long, Jone J. Lowe, Rewi M. Newnham, Sune O. Rasmussen, and Harvey Weiss. 2012. “Formal Subdivision of the Holocene Series/Epoch: A Discussion Paper by a Working Group of INTIMATE (Integration of Ice‐core, Marine and Terrestrial Records) and the Subcommission on Quaternary Stratigraphy (International Commission on Stratigraphy).” Journal of Quaternary Science 27(7):649–59.
Wrigley, Edward Anthony. 2010. Energy and the English Industrial Revolution. Cambridge University Press.
Zalasiewicz, Jan, Will Steffen, Reinhold Leinfelder, Mark Williams, and Colin Waters. 2017. “Petrifying Earth Process: The Stratigraphic Imprint of Key Earth System Parameters in the Anthropocene.” Theory, Culture & Society 34(2–3):83–104.
Zalasiewicz, Jan, Colin N. Waters, Mark Williams, Anthony D. Barnosky, Alejandro Cearreta, Paul Crutzen, Erle Ellis, Michael A. Ellis, Ian J. Fairchild, and Jacques Grinevald. 2015. “When Did the Anthropocene Begin? A Mid-Twentieth Century Boundary Level Is Stratigraphically Optimal.” Quaternary International 383:196–203.