The Technosphere and Its Relation to the Anthropocene
Peter Haff et al., (2019: 138-144)
Konsep Teknosfer dianggap memiliki relasi yang inheren dengan Antroposen. Relasi ini terjalin karena munculnya suatu entitas baru yang sebelumnya tidak ada atau diciptakan dari alam, misalnya material plastik. Plastik sebagai artefak manusia meninggalkan jejak fisik yang dapat diinvestigasi melalui teknosfer. Teknosfer sendiri menjadi bagian ‘geosfer’baru dengan otonomi sistemnya secara global. Sistem strukturnya berkelindan dengan manusia, sistem sosial, dan gerak teknologis. Sebagaimana dicontohkan dua skenario yang telah ditemukan terkait persoalan global percepatan teknologi (technological acceleration) dan respons sosial terhadap pemanasan global. Adapun penanda ‘sinyal stratigrafi’ dapat ditelusuri sekitar 2 juta tahun lalu dengan pembuktian artefak manusia atau teknofosil modern sebagaimana objek material terbuat dari plastik yang disinyalir dapat menjadi high-resolution penanda stratigrafi Antroposen.
Sekilas tentang Teknosfer
Teknosfer merupakan suatu sistem global yang mungkin setara dengan geosfer lainnya karena memiliki sistem, struktur, dan siklusnya sendiri. Teknosfer selalu terkait dengan sistem teknologis yang tidak hanya berwujud material tetapi juga dapat berwujud semacam institusional yang selama ini berkelindan dengan aktivitas sosial manusia, mulai dari sistem transportasi sampai sistem birokrasi politik. Sebagai sebuah sistem geologi baru, teknosfer tidak dapat terlepas dari peran keempat ‘geosfer’ lainnya yaitu atmosfer, hidrosfer, litosfer, dan biosfer bekerja. Berpijak pada investigasi ilmiah, teknosfer tidak dapat disamakan dengan aktivitas total antroposentris. Teknosfer sebagai sebuah sistem yang dinamis dapat bekerja tanpa adanya campur tangan manusia, meskipun di satu sisi keterkaitan manusia tidak dapat terlepas dari aspek intensionalitas.
Dua Perspektif: Antroposen Sosial dan Antroposen Geologi
Ada beragam perspektif tentang Antroposen di lingkaran akademisi. Secara umum, terbagi menjadi dua perspektif yakni sosial dan geologi. Geologi Antroposen menginvestigasi struktur fenomena skala waktu geologis berdasarkan potensi penanda stratigrafi, distribusi, komposisi, tekstur, struktur, preservasi, keunikan, dan penanggalan suatu peristiwa tertentu (Steffen et al., 2016). Bukti dari geologi Antroposen berpijak pada temuan fisik geologis tertentu misalnya hirarki bebatuan yang membentuk epos Antroposen. Sedangkan, dunia sosial Antroposen berkebalikan, melihat Antroposen sebagai sebuah intensi dan determinasi manusia terhadap dunia yang membentuk suatu percepatan perubahan sistem bumi dan juga membentuk rekonseptualisasi posisi manusia di dunia (Emmett and Lekan, 2016). Respons kritis yang menolak interpretasi bebas antroposentrisme di Antroposen merujuk pada status manusia sebagai bagian dari produk bumi itu sendiri (Garrett, 2014; Haff, 2014a; Haff, 2014b; Zalasiewicz et al., 2014). Interpretasi ini membawa konsekuensi bahwa manusia tidak berbeda dengan konsepsi fisik yang ada di Sistem Ilmu Bumi di mana efek yang dihasilkan oleh manusia pada akhirnya sama dengan spesies lainnya atau peristiwa fisik geologi sebelumnya. Oleh karenanya, jika manusia diasumsikan sebagai bagian dari produk bumi, maka perubahan struktur bumi sendiri menjadi self-evident bahwa Antroposen ialah suatu sistem waktu geologi yang indepeden dan tidak terjebak pada interpretasi spekulatif bebas yang mengarah pada antroposentrisme.
Teknosfer dapat menjadi contoh bahwa manusia tidak dapat langsung mengontrolnya secara penuh. Seluruh fenomena global yang terjadi termasuk siklus energi teknosfer yang berkembang tidak dapat ditahan laju perubahannya oleh manusia. Kondisi Teknosfer saat ini memberikan perspektif masa depan yang tidak pasti bagi geosfer yang lain, yang berada di dua ambang batas: antara mendominasi sirkulasi siklus geosfer lainnya dan ketergantungan teknosfer pada aktivitas manusia. Hampir seperempat populasi di dunia saat ini telah menempatkan prioritas teknologi secara penuh.
Karakteristik perilaku Teknosfer bersifat mandiri secara intrinsik karena kemunculannya sebagai sebuah sistem mekanisntik tidak bergantu pada intervensi manusia secara penuh. Manusia mungkin menjadi bagiannya dalam konteks ‘bertujuan untuk perkembangan mekanisme’ tetapi tidak bersifat teleologis. Artinya, bukti efisiensi penjelasan ‘sebab-akibat’ yang secara umum dipahami tidak dapat diterapkan pada konstruksi fisikal (gambaran non-antroposentris) dari suatu sistem Teknosfer yang terbentuk. Ada aktivitas yang bertujuan dan aktivitas yang memiliki peristiwa konstitutif di mana keduanya tidak dapat diletakan hanya pada satu entitas yakni manusia sebagai agen intrinsik-bertujuan nya. Secara kesuluruhan aktivitas kolektif manusia membantu mendukung sistem intrinsik-bertujuan yang ada pada Teknosfer. Tidakan kolektif manusia hanya mengubah posisi dirinya sebagai subjek atas objek teknologis menjadi subjek sebagai bagian dari agensi teknosfer. Oleh karena itu, muncul dua trajektori Teknosfer yang membentuk percepatan teknologi maka hanya akan memberikan ruang adaptasi bagi manusia untuk memproyeksikan bagaimana teknosfer di masa depan akan bekerja.
Teknosfer sudah selayaknya komoditas yang termanifestasikan pada perangkat, metode, dan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia untuk mempercepat atau mengefisiensikan suatu kerja tertentu. Akibat dari efektivitas teknosfer ini, mengakibatkan siklus energi yang bekerja pada teknosfer tidak dapat dihindari. Persoalan manusia dikemudian hari ialah bagaimana strategi yang dilakukan untuk mengantisipasi kejadian yang tak-disadari terhadap lingkungan dan disrupsi sosial. Teknosfer juga menjadi semacam termostat sosial yang mengukur skala tindakan kolektif manusia yang berpengaruh terhadap kejadian global termasuk juga pemanasan global dan kerusakan ekologis lainnya. Perspektif non-antroposentris di sini menempatkan teknosfer sebagai sebuah sistem yang independen di mana juga memiliki nilai metabolismenya, nilai disipasi energi. Teknosfer juga tidak peduli dengan lingkungan yang tidak ramah dengan kehidupan manusia. Sebagaimana siklus geosfer yang lainnya, Teknosfer memiliki sistem metabolismenya sendiri termasuk sistem pengelolaan limbah yang secara langsung akan mempengaruhi status makanan, air, dan transportasi masyarakat secara luas.
Penutup
Teknosfer memperkuat bukti bahwa teknologi dengan sendiri menjadi bagian dari evolusi geologi yang mengendap dan bahkan membangun sistem-agensinya sendiri. Pandangan umum atas sebab-akibat pada kerangka Antroposen tidak dapat dipertahankan secara penuh karena bagaimanapun juga banyak sekali aspek / entitas yang membangunnya. Jika hanya meletakan manusia sebagai penyebab dari Antroposen maka simpulan tersebut sangatlah terburu-buru. Antroposen sosial tidak dapat dijadikan acuan untuk ratifikasi Antroposen sebab kerangka sebab-akibat Antroposen tidak sekedar berpijak pada prinsip teleologis tetapi juga dibutuhkan penedekatan analitik dan kapabilitas operatif. Kedua pendekatan ini untuk menjelaskan bahwa tidak ada teknologi yang sangat murni dapat menjadi jawaban atas keragaman wajah Antroosen. Hal yang perlu dilakukan manusia saat ini ialah merekognisi teknologi sebagai agensi yang berbeda dari agensi yang kita miliki.
Referensi
Emmett, R. and Lekan, T. (2016) ‘Whose Anthropocene’, Revisiting Dipesh Chakrabarty’s “Four Theses.” RCC Perspectives Transformations in Environment and Society.
Garrett, T. J. (2014) ‘Long‐run evolution of the global economy: 1. Physical basis’, Earth’s Future. Wiley Online Library, 2(3), pp. 127–151.
Haff, P. K. (2014a) ‘Humans and technology in the Anthropocene: Six rules’, The Anthropocene Review. SAGE Publications Sage UK: London, England, 1(2), pp. 126–136.
Haff, P. K. (2014b) ‘Technology as a geological phenomenon: Implications for human well-being’, Geological Society, London, Special Publications. Geological Society of London, 395(1), pp. 301–309.
Steffen, W. et al. (2016) ‘Stratigraphic and Earth System approaches to defining the Anthropocene’, Earth’s Future. Wiley Online Library, 4(8), pp. 324–345.
Zalasiewicz, J. et al. (2014) ‘The technofossil record of humans’, The Anthropocene Review. SAGE Publications Sage UK: London, England, 1(1), pp. 34–43.