The Utility of Formalisation of the Anthropocene for Science
Davor Vidas et al., (2019: 31-40)
Antroposen tidak hanya menjadi topik pembahasan hangat di kalangan komunitas ilmiah geologi tetapi juga melintasi beragam disiplin lain. Ilmu sosial dan humaniora melihat Antroposen sebagai titik tolak kemewaktuan manusia yang mengawali pengaruhnya terhadap keadaan, dinamika, dan masa depan sistem Bumi. Perspektif non-geologi menyadari adanya pergeseran trajektori geologi yang lebih mengarah akan potensi dominasi aktivitas manusia terhadap alam. Ada dua tugas AWG yakni menganalisis dan menjustifikasi bukti geologi Antroposen, serta menjelaskan kegunaan formalisasi Antroposen bagi komunitas ilmiah geologi maupun lintas disiplin lainnya. Pada artikel ini, Davor lebih melihat AWG sebagai ruang ilmiah yang dapat memperluas aspek penelitian Antroposen tidak hanya secara geologi tetapi melampauinya atau lebih tepatnya pendekatan alternatif lainnya.
Pertama, sebagai ‘scientific utility’ Antroposen membuka potensi penelitian Antroposen di luar geologi. Kedua, dengan adanya kegunaan ilmiah ini, Antroposen telah dijustifikasi secara tidak langsung dari sudut pandang non-geologi. Tantangan dan penolakan muncul dari sejumlah pihak (Autin and Holbrook, 2012; Gibbard and Walker, 2014; Klein, 2015; Finney and Edwards, 2016) yang menganggap Antroposen tidak secara penuh valid dan dapat dipertanggung jawabkan pada konteks geologi akan tetapi pada akhirnya direspons oleh (Zalasiewicz et al., 2017). Sedangkan pada sudut pandang lain, Antroposen diyakini dapat diteliti sebagaimana realitas geologi lainnya melalui multi-stratigrafi termasuk memperkuat adanya bukti atas temuan unit stratigrafi baru (contohnya: anomali isotop karbon, radionuklida artifisial, plastik, fly-ash, dan partikel non-natural lainnya). Pendukung gagasan Antroposen mengarahkan pada permulaan waktu pasca revolusi industri yang berpuncak pada the great acceleration di pertengahan abad ke-20, yang juga ditandai dengan munculnya perturbasi karbon, nitrogen, fosfor, dan siklus lainnya yang telah mempengaruhi lingkungan.
Pendekatan diakronik yang melihat suatu kejadian dari suatu wilayah tertentu ke wilayah lain telah membuktikan bahwa kenaikan CO2 di Atmosfer telah berlangsung sekitar 7000 tahun yang lalu sejak dimulainya revolusi agrikultur secara massif. Penanda kondisi interglasial Holosen juga memberikan inspirasi tersendiri bagi geologi Antroposen dalam mempertimbangkan beberapa potensinya antara lain: i) dampak fisik (artificial ground / urban strata) yang telah mengendap di lapisan tanah akibat adanya pembangunan fisik oleh manusia; ii) perubahan iklim yang menyebabkan asidifikasi (pengasaman) air laut karena perubahan siklus karbon di mana perubahannya setara dengan kejadian PETM (awal epos Eosen); iii) dampak biologis atas kepunahan massal, invansi, dan redistribusi spesies. Pemetaan potensi jangka-panjang Antroposen akan sangat berguna untuk memperkuat bukti-bukti empiris-geologis yang ada termasuk bagaimana peran aktivitas antropogenik dalam membangun endapan strata baru yang berbeda dengan aktivitas natural geologi sebelumnya. Sehingga mampu memperlihatkan bagaimana jejaring pembeda antara endapan Holosen dan endapan antropogenik Antroposen terbukt (Zalasiewicz, Williams and Waters, 2014)
Wacana Antroposen ikut berkontribusi atas munculnya pendekatan baru di geologi yang dikenal dengan istilah Ilmu Sistem Bumiatau Earth System science (ESS) (Crutzen and Stoermer, 2000). Komunitas ESS sendiri bekerja untuk membuktikan bahwa Antroposen tidak dapat dibantah secara perspektif melainkan hanya perlu dibuktikan secara ilmiah seiring kemunculan bukti-bukti baru. Komunitas ilmiah ini bergerak untuk menyelidiki adanya dampak pergeseran paradigma Antroposen melalui beragam temuan transdisiplin. Pemahaman yang terbentuk berdasarkan konsep stratigrafi untuk mencari base/awal mula sikronisasi global Antroposen. Pendekatan ESS kurang lebih mirip dengan pendekatan waktu antropologis yang meletakan konsep ‘arkeosfer’/ archaeospher (Edgeworth, 2014; Edgeworth et al., 2015). Konsep ini yang secara inheren diakronik dan inter-regional dengan melibatkan hasil dari litostratigrafi dan biostratigrafi. Pendekatan ESS ini dianggap bermasalah karena membangun waktu kalendar bumi yang sulit untuk dibuktikan bahkan melalui penanggalan radiometrik. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan Antropologi justru lebih menemukan adanya ‘Anthropocene deposite’ yang tersebar secara regional-global diakornik, seperti halnya penelitian tipologi terkait temuan bukti artefak/teknofossil.
Hipotesis Antroposen juga telah melampaui kajian umum ilmu alam di mana melahirkan semacam pemahaman baru mengenai relasi antara manusia dan perubahan alam. Relevansi Antroposen semakin menguat ketika munculnya kesadaran atas perubahan ekstrim yang terjadi di bumi akibat aktivitas besar-besaran manusia. Perubahan planet bumi yang paling mendasar dapat diketahui mulai dari hilangnya sebagian besar biodiversitas, kerusakan landskap, polusi, dan perubahan iklim. Penerimaan Antroposen juga akan berdampak pada bagaimana analisis politik bekerja. Pada artikel ini terdapat dua contoh utama yakni dari sudut pandang ilmu kesehatan dan ilmu hukum.
Sudut pandang ilmu hukum membawa persoalan Antroposen tentang bagaimana kemudian para ahli dan akademisi berpegang teguh pada tesis ‘kestabilan’ Antroposen. Perkembangan tujuan utama hukum dan hubungan internasional tidak hanya sekedar mengacu pada indikator stabilitas keamanan tetapi juga mulai memperhatikan pentingnya kajian kelingkungan (Vidas, 2011; Vinuales, 2016; Biber, 2017). Antroposen memiliki potensi jangka pendek-panjang tentang perumusan undang-undang internasional yang tidak hanya mengatasi konflik geopolitik tetapi juga perumusan aturan untuk mengawal kelestarian ekosistem laut (DeConto and Pollard, 2016). Itu artinya, Antroposen berperan juga sebagai aturan normatif dan narasi kultural.
Contoh lain dari ilmu kesehatan utamanya kebijakan kesehatan publik yang melihat relasi antara kondisi lingkungan manusia berbanding lurus dengan tingkat kesehatannya. Richard Horton (2013) merumuskan konsep planetary health yang menggabungkan unsur pendekatan planetary boundaries dengan ide Antroposen dan diwujudkan dengan membentuk Komisi Kesehatan Keplanetan beserta laporan ilmiah berjudul ‘Safeguarding Human Health in the Anthropocene’. Laporan Lancet tentang kesehatan dan Antroposen membuktikan setidaknya terdapat pengaruh besar atas besaran perturbasi karbon, perubahan siklus nitrogen, kerusakan lahan, polusi udara, dan perubahan iklim global yang berkorelasi dengan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat dunia (Whitmee et al., 2015). Hasil penelitian (Landrigan et al., 2018) juga membuktikan bahwa polusi global membawa korelasi negatif terhadap ketahanan tubuh manusia yang disebabkan karena adanya karbon hitam dan polutan organik persisten yang mencemari lingkungan secara langsung.
Penutup-Catatan
Beragam catatan di atas menunjukan bahwa potensi formalisasi Antroposen memiliki kebergunaan bagi masyarakat luas atau sebagai pisau-analisis illmiah non-geologi (sosial-humaniora). Kedua potensi tersebut mendapatkan kritik sebagaimana Antroposen hanya jatuh pada konsepsi agenda politik atau ideologi tertentu di dalam geologi (Baskin, 2015). Menurut saya, tidak menjadi masalah apabila konsep Antroposen sangat relevan untuk merespons kondisi masyarakat tertentu atau bahkan menjadi semacam paradigm-shift bagi komunitas ilmiah tertentu. Potensi pertama nyatanya lebih terlihat sebab dapat membantu meningkatkan kepekaan masyarakat atas perubahan yang terhadap di bumi saat ini. Lagipula, kita semua tahu bahwa proses formalisasi atau ratifikasi Antroposen juga tidak dapat terlepas dari campur tangan politis. Bagi kebijakan kesehatan publik Antroposen sangat menyakinkan untuk melihat pentingnya manajeman kesehatan. Artinya, relevansi Antroposen dengan kehidupan masyarakat tidak hanya sebagai respons politik tetapi juga membangun kesadaran sosial. Putusan-putusan politik akan sangat berpengaruh terkait bagaimana wacana Antroposen kemudian terbentuk. Saat ini, pilihan implikasi kebijakan politik di antara ‘Holocene preserving’ atau ‘Anthropocene introducting’. Keduanya sama-sama memiliki implikasi politis dan normatif tertentu. Kembali pada aturan formal geologi, Antroposen mau tidak mau tetap wajib mengikuti prosedur ‘aturan stratigrafi’ untuk segera membangun komponen hirarki ‘golden spike’ yang komprehensif. Proses ini harus dilakukan secara ketat dan ilmiah jika ingin segera diratifikasi atau pilihannya ‘setidaknya’ Antroposen menjadi bagian dari kosa kata ilmiah informal atau mungkin menjadi semacam ‘narasi kebudayaan’.
Referensi
Autin, W. J. and Holbrook, J. M. (2012) ‘Is the Anthropocene an issue of stratigraphy or pop culture’, GSA Today, 22(7), pp. 60–61.
Baskin, J. (2015) ‘Paradigm dressed as epoch: the ideology of the Anthropocene’, Environmental Values. White Horse Press, 24(1), pp. 9–29.
Biber, E. (2017) ‘Law in the Anthropocene epoch’, Geo. LJ. HeinOnline, 106, p. 1.
Crutzen, P. J. and Stoermer, E. F. (2000) ‘Global change newsletter’, The Anthropocene, 41, pp. 17–18.
DeConto, R. M. and Pollard, D. (2016) ‘Contribution of Antarctica to past and future sea-level rise’, Nature. Nature Publishing Group, 531(7596), pp. 591–597.
Edgeworth, M. (2014) ‘The relationship between archaeological stratigraphy and artificial ground and its significance in the Anthropocene’, Geological Society, London, Special Publications. Geological Society of London, 395(1), pp. 91–108.
Edgeworth, M. et al. (2015) ‘Diachronous beginnings of the Anthropocene: The lower bounding surface of anthropogenic deposits’, The Anthropocene Review. SAGE Publications Sage UK: London, England, 2(1), pp. 33–58.
Finney, S. C. and Edwards, L. E. (2016) ‘The “Anthropocene” epoch: Scientific decision or political statement’, Gsa Today, 26(3), pp. 4–10.
Gibbard, P. L. and Walker, M. J. C. (2014) ‘The term ‘Anthropocene’in the context of formal geological classification’, Geological Society, London, Special Publications. Geological Society of London, 395(1), pp. 29–37.
Klein, G. D. (2015) ‘The ANTHROPOCENE: what is its geological utility?(Answer: It has none!)’, in Episodes Forum, p. 218.
Landrigan, P. J. et al. (2018) ‘The Lancet Commission on pollution and health’, The lancet. Elsevier, 391(10119), pp. 462–512.
Vidas, D. (2011) ‘The Anthropocene and the international law of the sea’, Philosophical Transactions of the Royal Society A: Mathematical, Physical and Engineering Sciences. The Royal Society Publishing, 369(1938), pp. 909–925.
Vinuales, J. E. (2016) ‘Law and the Anthropocene’, Jorge E. Vinuales,’Law and the Anthropocene’, C-EENRG Working Paper, 4.
Whitmee, S. et al. (2015) ‘Safeguarding human health in the Anthropocene epoch: report of The Rockefeller Foundation–Lancet Commission on planetary health’, The Lancet. Elsevier, 386(10007), pp. 1973–2028.
Zalasiewicz, J. et al. (2017) ‘Making the case for a formal Anthropocene Epoch: an analysis of ongoing critiques’, Newsletters on Stratigraphy. E. Schweizerbart’sche Verlagsbuchhandlung, 50(2), pp. 205–226.
Zalasiewicz, J., Williams, M. and Waters, C. N. (2014) ‘Can an Anthropocene Series be defined and recognized?’, Geological Society, London, Special Publications. Geological Society of London, 395(1), pp. 39–53.