The Anthropocene: How the Great Acceleration Is Transforming the Planet at Unprecedented Levels
DellaSala dkk (2018: 1–7) https://doi.org/10.1016/B978-0-12-809665-9.09957-2
Penelusuran titik transisi antara kala Holosen menuju kala Antroposen masih menjadi perdebatan hangat di tengah-tengah komunitas ilmiah geologi. Uniknya, pembahasan Antroposen tidak hanya sekedar membicarakan tentang pembuktian skala waktu geologi semata tetapi juga membahas relasi antara manusia sebagai spesies dan alam sebagai lingkungan hidupnya secara historis. Manusia sebagai spesies makhluk hidup terbilang sangat unik tetapi tidak seutuhnya istimewa karena pada mulanya tetap mengalami proses evolusi kehidupan.
Manusia seringkali merayakan kejadian-kejadian spesial mulai dari yang paling membahagiakan hingga yang paling menyedihkan, ulang tahun dan kematian misalnya. Sejarah lini masa Bumi sama seperti perayaan manusia tersebut, ada masa di mana suatu fase kepunahan dan kelahiran baru, fase transisi satu era ke era lain, semua itu terangkum dalam jejak-jejak geologi. Manusia saat ini telah mencapai 7 Milliar populasi jiwa. Kemajuan teknologi dan sains menjadi faktor utama proses keberlangsungan dan kebertahanan hidup manusia sampai hari ini.
Salah satu tugas ahli geologi ialah merekam beragam kejadian besar di planet ini salah satunya transisi dari suatu kala waktu geologi tertentu. Pokok pembahasan bab ini ialah membaca ulang sejarah geologi Antroposen. Strategi yang dilakukan umumnya dengan cara menentukan kapan waktu paling tepat sebagai permulaan geologi Antroposen dengan menggunakan Global Boundary Stratotype Sections and Points (umumnya, disebut paku emas – titik transisi—golden spike). Kesepakatan pencarian titik emas ini memuat kerangka stratigrafi tertentu pada batasan terendah suatu stage yang menggambarkan suatu masa geologi tertentu. Antroposen dapat dikatakan menarik karena manusia sebagai subjek sekaligus objek dari penelitiannya sendiri tetapi tidak dapat terlepas dari akumulasi paku emas sebelumnya (secara historis), semacam tumpukan atau kelipatan kejadian geologi yang pernah terjadi.
Penelusuran ini dapat dimulai di Ethiopia, dua kerabat terdekat manusia yaitu Ardi (Ardipithecus ramidus) dan Lucy (Australopithecus afarensis). Awalnya Lucy (sekitar 3 juta tahun lalu) dianggap sebagai leluhur manusia pertama tetapi kemudian digantikan oleh Ardi (sekitar 4 juta tahun lalu). Afrika menjadi cikal bakal kelahiran ‘kemanusiaan’, di mana semuanya bermula, akan tetapi tidak cukup untuk mengasumsikan bahwa titik paku emas pertama di dorong oleh peradaban Afrika kuno. Sampai sekitar dua juta tahun kemudian, keturunan Ardi dan Lucy semakin cerdas untuk memulai menggunakan peralatan yang paling sederhana semacam kapak batu. Momen manipulasi itu menjadi salah satu kandidat golden spike lain di linimasa Antroposne. Alat bantu yang digunakan secara tidak langsung meningkatkan kemampuan beburu dan meramu. Sekitar 50.000 sampai 11.000 tahun lalu, manusia purba ikut berperan terhadap kepunahan massal megafauna yang di Amerika Selatan, Amerika Utara, dan beberapa wilayah Asia, tetapi tidak di Afrika (Sandom, Faurby, Sandel, & Svenning, 2014)
Fase Neolitikum, pengembangan peralatan berburu melahirkan sistem agrikultur di wilayaH Timur Tengah. Ekspansi lahan terjadi yang mengakibatkan perubahan struktur sedimentasi lahan dan perubahan saluran air untuk mendukung proses domestifikasi hewan dan tanaman. Proses ekstraksi nabati dan hewani semuanya dikelola secara teratur dari bahan mentah menjadi siap saji di atas meja makan.

Figure 1 menjelaskan bagaimana akumulasi historis dari Revolusi Industri (1750-1900) berkontribusi besar terhadap perkembangan teknologi yang mengolah pembakaran bahan bakar fosil (batu bara dan minyak bumi) secara efisien. Pertumbuhan manusia pada tahun 1804 mencapai 1 miliar jiwa bahkan melonjak secara drastis mencapai 7 miliar jiwa pada tahun 2011. Kebertahanan hidup manusia di bumi tidak dapat terlepas dari peran ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung kesehatan dan gaya hidup manusia. Menjadi semacam lompatan evolusioner manusia sebagai spesies yang unik.
Di sisi lain, jejak-jejak Antroposen dapat ditilik semenjak pasca perang dunia kedua, tepatnya setelah ledakan bom atom pertama di Nagasaki Hiroshima yang kemudian menggerakan kemajuan umat manusia. Pilihan membangun dunia baru disertai dengan percepatan teknologi, mekanisasi pertanian, dan yang tidak kalah penting ialah penggunaan plasik skla massal di seluruh dunia. Titik kemajuan baru manusia yang membuka globalisasi baru dapat disebut sebagai The Great Acceleration.
Catatan:
Paragraf sebelumnya telah menjelaskan probabilitas titik temu paku emas atau golden spike untuk geologi Antroposen dengan cara merujuk pada jejak-jejak antropogenik yang mengimplikasikan perubahan iklim, perubahan biodiversitas, kepunahan massal dan kontaminasi kimiawi yang ditarik sepanjang transisi awal kala Holosen. Strategi lain selain dari sudut pandang geologi, para ilmuwan maupun filosof dapat mengambil sudut pandang lain dari ilmu non-geologi misalnya etika, akan tetapi model pendekatan ini jarang digunakan karena tidak memberikan pembuktian ilmiah yang siginifikan. Artinya, mempelajari dan membahas Antroposen perlu memperlibatkan kembali keseluruhan aktivitas antropogenik secara historis dari masa ke masa.
Rujukan:
Sandom, C., Faurby, S., Sandel, B., & Svenning, J.-C. (2014). Global late Quaternary megafauna extinctions linked to humans, not climate change. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences, 281(1787), 20133254.